About Me

Thesalonika Olga Valitha Briliane | 23 y.o | Indonesian | Swiftie | @__tukangmaido | Love Green, Like Mango | Jesus Christ

Senin, 03 November 2014

Tanpa Dirimu, Aku Bukan Diriku Yang Sekarang Chapter 9



“Apakah kepatuhan dan konsistensi justru membuatnya bosan? Apabila banyak orang yang menjadikan kebosanan sebagai antiklimaks yang mengawali rangkaian sikap atau perilaku buruk, lantas dimanakah nilai sebuah pengabdian?”  - Barbitch.

Aku berusaha menepis pemikiran itu. Semua pemikiran buruk yang selalu tertanam kuat-kuat dalam helaan nafasku setiap detiknya. Kau yang selalu memikirkannya. Kau yang selalu merindukannya. Kau yang selalu berkontak dengannya. Menanti pertemuan kalian dari hari ke hari. Mencintai tanpa henti...

Aku berusaha menepis itu semua. Tapi gagal. Sekalipun aku mengelak fakta mengatakan sebaliknya. Kenyataan telah membelot dan aku kalah. Mulai dari status hubungan di jejaring sosial itu (antara kau dan dia) yang terbit di saat kita sedang ada dalam satu hubungan. Ditambah lagi postingan-postingan di jejaring sosial itu dari si perempuan. Sekarang semua hal itu jadi masuk akal.

***

“Bodoh. Aku perempuan paling bodoh di dunia. Jatuh cinta kepada yang tidak boleh dicintai. Tahu bahwa harus berhenti mencintai. Mampu untuk berhenti mencintai. Namun tak mau. Semata karena hatiku mengatakan demikian.” – After The Rain.

Izinkan aku mencintaimu, sayang. Walaupun aku tahu hatimu miliknya.

Ini jeritan bukan rengekan. Jeritan si gadis patah hati yang terpekur di sudut kantin sekolah. Tangisnya memilukan seperti darah segar yang dikucur air garam. Seperti luka menganga yang kembali ditusuk oleh taring drakula. Hisap darahnya! Hisap darahnya! Jangan sia-siakan apapun yang dapat kau renggut dari gadis ini. Setelah itu baru kau boleh pergi.

Kau telah mengambil apa yang paling berharga, sayang. Kau tahu?

Hatiku. Hatiku yang malang. Aku miris melihatnya setiap hari tergores tanpa henti, karenamu!
Aku memberikannya kepadamu karena ku kira di kesempatan kedua kau akan menjaganya, walaupun aku tahu hal itu tetap saja hanyalah sebuah harapan kosong. Kau mengecewakanku, sayang. Kau tahu?

***

“Boleh aku bertanya terbuat dari apakah hati itu? Tak peduli seberapa rindu menghantamnya, seberapa duka menggerusnya, hati masih tetap bersikeras berdenyut. Memanggil-manggil nama yang kucinta.” – After The Rain.

Sejak dahulu memang hanya kau. Yang paling keji dan paling kusayang. Hanya kau yang tahu bagaimana caranya membuatku mabuk kepayang hanya dalam satu poros mata ke mata. Mata yang indah. Tidak akan pernah kulupakan bagaimana rasanya menatap mata itu sepuasnya saat kita bersama. Memang hanya kau yang tahu bagaimana cara membelaiku dengan lembut di tempat yang tepat. Bagaimana menarikku jatuh ke dalam pelukan dan mengecup telingaku dengan lembut.

Aku suka caramu menginginkanku. Liar. Tanpa keraguan sedetikpun. Caramu memandangku dengan buas seperti singa kelaparan. Aku menyukai semua caramu, sayang. Aku merindukannya..

Apakah kau masih ingat bagaimana kau memelukku diantara rak-rak buku di toko buku dekat sekolah? setiap sudutnya kini menggoreskan kenangan di otakku. Bagaimana dengan tempat baru yang kau perlihatkan kepadaku? Di salah satu mall lantai 5 itu. Kau tunjukan pemandangan kota yang membuatku menganga dan rasanya aku tidak ingin berlalu dari sana secepat itu. Kau ingat? Dulu saat hujan, di sekolah, kita bersama, kau ada dalam pelukanku. Aku ingin menikmatinya lebih dari itu sekarang. Dan aku benar-benar menyesal menolak keinginanmu untuk melakukannya di lantai dua. Kau masih ingat? Dulu di Fakultas Teknik Lingkungan di salah satu Universitas tempat aku akan mengikuti tes, kau mengecup bibir ini untuk pertama kali. Aku hanya tersenyum pahit mengingatnya sekarang. Hanya berharap bisa mengulang semuanya kembali.

Jika kau tahu, rasa rindu ini bukan hanya karenamu. Tapi karena caramu memperlakukanku. Tertawa karena candamu dan jatuh ke pelukanmu secara bersamaan. Bisakah kita mengulangnya? Aku merindukan bagaimana rasanya menatapmu secara langsung dengan jarak dekat tanpa pemisah.

Aku bahkan merindukan pertengkaran kita. Saat kita pulang dari mall itu, dan kau memancing emosiku keluar. Semua tumpah. Ditengah banyak orang. Dan kau terdiam, menyadari kesalahan yang kau buat. Hatiku kembali pahit, sayang. Kau tahu?

***

“Tapi kau memang benar, kau lelaki tertampan yang pernah membuatku ingin membunuh berjuta perempuan yang menggilaimu.” – I Love You, Bodoh.

Tampan? Jangan bermimpi, ferret. Bahkan semua orang mengatakan aku sudah buta memilihmu. Tapi mereka orang lain. Aku jatuh cinta kepadamu, bukan mereka. Tapi entah kenapa aku tidak pernah puas memandang wajahmu setiap kali kita bertemu. Aku tidak pernah puas merasakan genggaman tanganmu yang terjalin di jariku dengan kuat. Aku masih ingat betul genggaman itu akan mengeras ketika emosi menderamu seketika.

Aku tidak akan pernah puas. Dan ini semua cukup sampai disini. Tidak akan ada lagi kata kedua atau seterusnya. Tidak akan ada lagi belaian lembut di pinggang yang menyapa setiap kali kita bertemu. Tidak akan ada lagi mata yang menatapku tajam ketika aku melakukan kesalahan. Mata yang menatapku nanar ketika kau memohon untuk kembali ke dalam hidupku dulu, di teras rumahku.

Apakah dulu kau serius untuk memintaku, sayang? Apa itu semua benar? Ataukah itu juga satu dari sejuta kebohonganmu? Yang akhirnya terkuak satu persatu. Menyakitkan jika aku memikirkan alasan dibalik semua kebohongan ini, sayang. Kau tahu?

***

“Tak bisa kuhindari lagi, perkataannya melumpuhkanku. Aku tak pernah menyadari sebelumnya, bahwa satu-satunya hal yang membuatku bahagia adalah keberadaannya.” – Dear Bodoh.

Dan dia pergi. Tanpa alasan yang pasti, dia membuangku. Seperti kuman tidak terpakai yang akan menularkan virus kematian kepada semua orang yang mendekatiku. Seperti onggokan sampah si gadis patah hati yang tidak terpakai lagi.

Aku akui kami jarang berkontak. Bahkan komunikasi kami jauh lebih langka dibandingkan panda cina. Tapi setidaknya kami memiliki satu sama lain. Aku merasa memiliki satu sama lain.

Tapi semua berubah ketika kau mengatakan ini semua sudah berakhir. Semua ini hanya permainan yang tidak perlu ditamatkan dan kau langsung menekan tombol exit karena permainan yang terlalu sulit untuk dilalui. Kau membuangku. Hidupku. Hatiku. Semuanya. Kenangan kita, apakah kau simpan? 30% hatimu yang kau bilang masih tetap tersimpan disana untukku meskipun telah setahun kita berpisah, apakah sekarang masih ada? Gelang dariku, berwarna biru berbentuk resliting, apakah benar kau masih menyimpannya di kamarmu, sayang? Ataukah kau membuangnya karena dia telah mengetahui hubungan kita dan kau lebih memilihnya?

Kau memang Lucifer. Kau selalu tahu bagaimana cara bertindak untuk mencapai tujuanmu. Kau membuatku terbang setiap kali kita bertemu dan membuatku kembali jatuh cinta kepadamu setelah hampir 2 tahun bahkan kita tidak bicara secara intens. Kau tahu benar bagaimana caranya menutupi kebohongan dengan musik yang indah dan membuai. Membuatku terlena dan terlelap. Tanpa sadar kau telah memainkan peran yang sangat luar biasa di banyak panggung sandiwara. Kau paling tahu bagaimana membuat seluruh pertahananku goyah. Pertahanan yang telah aku bangun selama hampir 2 tahun untuk menutup luka yang bahkan tidak bisa aku hilangkan. Semua karenamu. Dan kau kembali menghancurkan semua perban yang kubalutkan. Hingga tidak ada yang tersisa selain lubang hitam tanpa dasar yang mengerikan disana.

Hanya kau, Lucifer, yang tahu bagaimana cara mengiris batinku. Belum ada orang yang berani selancang ini kepadaku. Menyakitiku tanpa ampun. Menutup mata dari rengekanku. Menutup telinga dari jeritanku. Aku mengiba. Aku memohon. Hentikan semua! Tapi kau justru kembali.. perlahan lahan.. membuatku kembali terbuai.. kembali percaya.. dan kembali menghempaskan segalanya!

Salahkah jika aku ingin memutar waktu kembali dan menolakmu ketika kau memohon untuk kembali masuk ke dalam hidupku? Aku hanya berharap memiliki hidup yang normal tanpa ada bekas luka yang berusaha aku sembunyikan. Luka yang membuatku melindungi diriku dari segala bentuk ancaman luka yang baru. Membuat hidupku menjadi tidak sebebas dulu.

Tapi ini semua sudah terlanjur. Yang aku inginkan sekarang hanyalah kau yang selalu disini. Menggelikan ketika aku mendapati kenyataan bahwa luka yang kau sebabkan membutuhkan obat yang ternyata adalah dirimu sendiri. Kau. Hanya kau yang aku butuhkan.

Salahkah jika aku menginginkan kau setia, sayang? Ya. Aku tahu aku salah menginginkannya.

Aku tahu sejak awal aku mengatakan “Ya” ketika aku meminta untuk kembali kepadaku yang kesekian kalinya, hatimu akan tetap menjadi miliknya, selamanya. Tidak akan ada kesempatan untukku merebut ataupun menggesernya dari dalam hatimu. Hanya dia yang kau cinta. Aku menyadarinya, tapi aku hanya diam. Aku egois, sayang. Aku tahu. aku hanya berharap ada sedikit kesempatan untukku merubah kenyataan. Tapi apa yang aku dapatkan? Hey ada luka baru disana! Dan disana! Ah, disana juga ada!

Kau memang Lucifer. Iblis yang mampu memikat sang Ratu surgawi dengan kelembutan belaiannya pada harpa nirwana.

“Hari demi hari pecut yang kau cambukkan kepadaku semakin terasa menyakitkan. Membuatku semakin buta dan liar untuk terus berlari tanpa tujuan. Berlari. Terus. Tanpa henti. Sama seperti dulu. Menutup mata, hati dan pikiranku dari apapun yang mungkin bisa membuat luka itu kembali berdarah.” – Tanpa Dirimu, Aku Bukan Diriku Yang Sekarang Chapter 8.

Hingga akhirnya, kini aku tahu. kau membuangku karena dia. Dia telah kembali. Atau mungkin telah datang. Entah itu ratu yang lama, yang mencari singgasananya yang telah kurenggut. Ataukah dia sang ratu baru yang telah kau incar selama ini namun baru bisa kau takhlukkan. Dialah ratumu sekarang. Dan aku telah tersingkir. Bahkan tidak cukup pantas walau hanya menjadi selir.

Semua berakhir hanya karena satu pesan singkat. Semua sosial media diputus-hubungan. Sms yang tidak kau balas. Telepon yang dijawab dengan hujatan. Inikah caramu membuangku, sayang? Sebegitu hinanya aku sekarang di matamu?

Tapi ketika telah ada ratu baru yang memanjakanmu, apa yang dapat aku perbuat? Aku tidak berkutik. Dialah bahagiamu.

Dan aku kembali disini untuk berlari dan menutup semua celah seperti dulu. Memulai dari awal lagi. Kembali merangkak keluar dari jurang yang dalam. Tempatmu membuangku. Sendiri.


“Udahan aja” 10.25; 26 Oktober 2014.

Tanpa Dirimu, Aku Bukan Diriku Yang Sekarang Chapter 8



Taylor Swift – You’re Not Sorry

All this time I was wasting
Hoping you would come around

Ketika kau telah dicintai dan mencintai sedemikian rupa, rasa cinta itu akan terus membekas di dalam dirimu. Ketika rasa sakit dan luka telah ditancapkan ke dalam hatimu, luka itu tidak akan pernah hilang. Yang dapat kau lakukan hanyalah berusaha merawatnya agar cepat sembuh dan menutup bekasnya.

Tapi terkadang ada luka yang kecil dan luka yang besar. Terkadang ada luka yang dangkal dan luka yang sampai mengeluarkan darah tiada henti. Ada.

Luka yang dalam. Luka yang menimbulkan sebuah lubang hitam di tempat luka itu tercipta. Lubang yang tidak akan pernah hilang. Tidak akan pernah tertutup.

I’ve been giving out chances everytime
But all you do is let me down

Luka yang kau buat, mulai dari yang terkecil hingga tiada terkira, semuanya masih berbekas. Menimbulkan pesakitan yang tidak mungkin dapat aku perlihatkan ke permukaan. Membuat aku terus bergerak dengan tertatih meskipun aku berhasil menyamarkannya. Mulai dari yang terkecil. Dan digores lagi. Dan digores lagi. Dan lagi. Membuat setiap partikel pertahanan yang telah aku susun menjadi tidak bermakna dan terkoyak.

And it’s taking me this long, baby
But I figured you out

Di hari-hari terakhir aku menjalin hubungan denganmu, sekitar bulan April tahun 2012, setiap hari terasa seperti menggoreskan satu kenangan. Dan akhirnya semua kenangan pahit itu telah berhasil aku tutup dan aku simpan di sudut. Semua kepingan telah aku bereskan dan aku tutup rapat bersama dengan semua rasa janggal itu. Semua rasa yang tidak pernah aku bayangkan dapat aku miliki ketika aku bersamamu.

And you’re thinking we’ll be fine again
But not this time around

Kau memang seperti Lucifer. Kejam. Arogan. Selalu mendapatkan apa yang kau inginkan.

You don’t have to call anymore
I won’t pick up the phone
This is the last straw
Don’t wanna hurt anymore

Aku berhasil keluar dari kerajaanmu. Aku berhasil kabur. Dengan menyamar dan bersembunyi. Aku menutup semua celah yang ada dan mengurung diri di dalam penjaraku sendiri. Menutup semua kemungkinan aku akan tersakiti lagi. Tidak pernah memberi mereka kesempatan untuk menyakitiku barang segores.

Setiap pagi aku terbangun dengan jeritan sangkakala dari dalam diri Lucifer dan tertidur dengan ninabobo dari shinigami (read: dewa kematian). Hidupku seperti orang yang tidak ingin melihat dunia. Seperti anak kecil yang tidak pernah mengerti bagaimana nikmatnya lollipop dan es krim. Seperti orang yang tidak pernah kehausan dan tidak mengerti betapa nikmatnya air pegunungan. Seperti wanita yang tidak pernah mengerti rasa dilindungi dan dikhawatirkan.

And you can tell me that you’re sorry
But I don’t believe you baby
Like I did before

Kesendirian seperti menjadi sahabat terdekatku. Aku menyukai kesendirian dan mulai terbiasa dengannya.

You’re not sorry, oh no

Hingga akhirnya aku mencoba untuk membuka mataku. Mencoba untuk meninggalkan malam dan menyambut datangnya siang.

Looking so innocent
I might believe you if I didn’t know

Tapi yang aku dapati justru rasa kosong yang bahkan lebih parah daripada kesendirian. Tidak. Aku telah terbiasa dengan kesendirian sampai akhirnya aku tidak bisa menerima orang lain. Aku tidak bisa merelakan ketika kesendirian pergi meninggalkanku.

Komitmen membuatku takut. Jatuh ke pelukan sang Raja dan terbius oleh matanya yang menatap tajam? Lalu mendapati senyum sinisnya mengembang dan dia lepaskan pelukannya. Membuatku jatuh dalam jurang tanpa dasar.

Could’ve loved you all my life
If you hadn’t left me waiting in the cold

Brengsek.

Apa sebenarnya yang kalian inginkan dariku? Bahkan ketika asaku telah padam kalian kembali membakarnya. Tapi ketika ia kembali menyala kalian menyiramkan air ke atasnya dan membuat asaku memdesis kesakitan. Tidak. Aku tidak akan kembali membuka semua celah itu. Aku telah cukup mengerti bagaimana kebersamaan dapat sebegitu menyakitkan. Trauma? Tak dapat dipungkiri itulah istilah yang tepat.

And you got your share of secrets
And I’m tired of being last to know

Apa yang kau inginkan sayang? Membuatku hancur tanpa ampun? Sampai sekecil apa? Sampai kepingan dari setiap kenangan itu pun musnah tertelan kegelapan?

And now you’re asking me to listen
Cause it worked each time before

Hari demi hari pecut yang kau cambukkan kepadaku semakin terasa menyakitkan. Membuatku semakin buta dan liar untuk terus berlari tanpa tujuan. Berlari. Terus. Tanpa henti. Sama seperti dulu. Menutup mata, hati dan pikiranku dari apapun yang mungkin bisa membuat luka itu kembali berdarah.

You had me crawling for you honey

Ninabobo dari shinigami mulai terdengar. Semakin malam semakin memilukan.

And it never would’ve gone away, no

Suara seorang anak terdengar dari lubuk hati yang paling dalam. Gadis yang mendambakan belaian kasih sayang. Kasih sayang yang tulus, yang tidak mengharapkan apapun. Karena dia sudah tidak memiliki apapun lagi untuk diberikan kepada mereka yang mengharap imbalan.

You used to shine so bright

Hatinya telah hancur dan tersapu bersama dengan kepahitan. Lututnya tertekuk dengan rapuh. Seakan satu tepukan dan dia akan gugur.

But I watched all of it fade

Matanya menerawang kosong seperti tanpa warna. Binarnya yang dahulu telah hilang digantikan dengan guratan luka. Gadis yang terluka. Gadis yang mengharapkan kasih sayang tanpa imbalan.

There’s nothing left to beg for

Gadis yang menjadi pengumbar kata sayang. Menipu semua orang yang memberikan hati mereka sebagai tumbal. Si kupu-kupu malam.


But you’re not sorry..

Tanpa Dirimu, Aku Bukan Diriku Yang Sekarang Chapter 7



Setiap pagi aku terbangun dengan jeritan sangkakala dari dalam diri Lucifer dan tertidur dengan ninabobo dari shinigami (read: dewa kematian). Hidupku seperti orang yang tidak ingin melihat dunia. Seperti anak kecil yang tidak pernah mengerti bagaimana nikmatnya lollipop dan es krim. Seperti orang yang tidak pernah kehausan sehingga tidak mengerti betapa nikmatnya air pegunungan. Seperti wanita yang tidak pernah mengerti rasa dilindungi dan dikhawatirkan.

8 Juni 2014

3 hari aku lalui tanpa komunikasi dengannya. Ingin? Sebenarnya tidak. Sangat. Aku serius ketika aku mengatakan bahwa aku telah bergantung kepadanya selama beberapa bulan terakhir ini tentang perhatian dan rasa sayang. Kuat? Mungkin. Entahlah. Beberapa hari ini (untunglah) aku selalu dikuatkan oleh orang-orang yang peduli kepadaku. Lelucon mereka membuatku tetap tertawa selama beberapa jam hingga tidak terasa waktu tidur telah tiba dan aku terlelap.

Tapi kepura-puraan ini membuatku muak. 2 tahun ini membuatku menjadi pribadi yang vokal dan tidak pernah menutupi apa yang aku inginkan atau rasakan. Ketika aku menginginkan sesuatu (atau mungkin seseorang) aku selalu mengatakan aku menginginkannya dan akan mendapatkannya. Aku harus mendapatkannya entah dengan cara apapun. Untuk masalah pemeliharaan? Itu dapat dipikirkan nanti. Ketika aku merasakan sakit, aku akan mengatakan itu sakit. Ketika aku senang, aku akan berterima kasih. Ketika aku bosan, aku tidak repot-repot untuk menutupinya. Ketika aku cinta dan membutuhkan, aku akan menunjukannya dan tidak membuat orang yang aku maksud bertanya-tanya.

“Jangan pernah malu menjadi wanita yang vokal. Memang pada umumnya wanita adalah makhluk yang selalu memendam semuanya sendiri, tapi kalau kita vokal memangnya kenapa? Ada masalah? Tidak, kan? Toh itu juga membuat kita lebih lega.” Seseorang menasihatiku.

Aku bahkan lupa bagaimana rasanya tidak mendapatkan apa yang aku inginkan. Aku lupa bagaimana rasanya berpura-pura (selain berpura-pura bahwa segalanya berjalan sempurna dan ‘hei-lihatlah-aku-putri-kerajaan-yang-bahagia-tanpa-masalah’). Dan hal itu membuatku tidak bisa menahan diri.

Aku memulai percakapan. Bukan karena aku ingin memancing pembicaraan, tapi memang karena aku perlu menanyakan sesuatu. Suasana hatiku kalut. Dan aku rasa kau memiliki jawaban atas permasalahan ini. Terbukti dari chat terakhirmu yang sengaja tidak aku balas karena aku rasa memang sudah tidak ada lagi yang perlu dibicarakan.

Aku tidak pernah memancing pembicaraan dengan tujuan menepis kata rindu jauh-jauh dari otakku. Jika aku merindukanmu, aku akan mengatakannya tanpa tedeng aling-aling, tidak seperti percakapan-basa-basi yang sedang aku lakukan saat itu.

Di sisi lain, tanpa aku sadari, aku telah menjalin komunikasi lagi dengan seseorang dari masa lalu. Si pria-dengan-kejujuran-dimatanya yang telah berhasil aku tinggalkan dengan susah payah berkat bantuanmu. Semua terjadi begitu saja. Well, seperti yang aku katakan, semua terjadi begitu saja.

Kau pergi. Aku kembali sendiri. Kepanitiaan wisuda membutuhkan tambahan orang. Aku tidak sempat mencari orang lain. Aku menghubunginya. Aku menjadi satu kepanitiaan dengannya. Kami kembali berkontak. Dan itu terjadi tepat setelah kau dan aku bertengkar.

Kau tahu? Semua ini rasanya seperti kebetulan. Dalam sekejap kami berkomunikasi dan dia langsung memintaku untuk menjadi kekasihnya ketika kebetulan kau dan aku sedang tidak dalam keadaan yang baik. Aku mendapatkan kesan dia tidak ingin aku pergi untuk yang kedua kalinya. Well, mungkinkah dia telah merasakan bagaimana kehilangan seseorang yang tidak pernah dia anggap untuk ada?

Sebagian dari hatiku bersorak gembira. “Hey! Bukankah itu yang kau inginkan sedari dulu? Terimalah dan hiduplah bahagia meskipun hanya seminggu!”. Tapi hatiku yang lain kembali menghardik semacam “Yang benar saja! Aku sudah tidak mencintainya!”. Aku hanya memutar bola mata dan kembali bekerja. Ini konyol! Bahkan aku sudah tidak merasakan apapun ketika aku bertukar pesan dengannya.

“Cieeh disemangatin! :D” di malam hari Vivi mengirimiku pesan disertai sebuah Screen Capture berisikan Private Message milik pria-dengan-kejujuran-dimatanya yang berisikan (dengan jelas dan gamblang) nama lengkapku. Aku membelalak. Konyol!

Aku membuka akunnya dan terlihat jelas di riwayatnya ada sekitar selusin Private Message dengan namaku didalamnya. Aku tertawa. Semua Private Messagenya benar-benar gila. Dan aku mendapati diriku langsung membalasnya lengkap dengan namanya tertera disana. Aku tahu dia telah terlelap. Tapi setidaknya (dengan segala permasalahan yang sedang terjadi) aku tidak ingin ada masalah baru seperti kehilangan panitia yang susah payah aku rekrut hanya karena ‘kau-mengacuhkanku-jadi-aku-pergi-lagi’ lalu ‘oke-bye’. No.

Tapi belum ada lima menit dan kau kembali mengontakku. Apa maumu, sayang? Beberapa hari yang lalu aku mendapati dirimu mencampakkanku dan kini kau mengetik kata “Ciye” dengan mudahnya karena aku kembali berkontak dengan orang dari masalaluku? Lalu kau sendiri seperti apa?

Lagi-lagi kami bertengkar. Bodoh. Ini benar-benar bodoh. Ketika kau bertingkah, kau bertanya “apa maumu?” dan ketika aku yang bertingkah, kau jugalah yang bertanya “apa maumu?”. Lalu? haruskah selalu aku yang mencari kepastian di sini untuk kita berdua, sayang? Jika memang kau bosan, jangan pernah mencari alasan agar aku yang mengakhiri ini semua. Jangan. Itu menyiksaku.

Aku ingin ini semua terus berlanjut, tentu saja. Hidupku sekarang hanya memiliki satu tujuan dan satu arah, yaitu dirimu. Tapi jika kau sendiri sudah tidak menginginkan ini semua, bagaimana bisa aku mewujudkan pengharapan besar itu seorang diri? Bahkan kepedulianmu terhadapku semakin lama semakin tipis dan terasa mendekati angka -1!

“Kau ingin melepasku, Adi? Kau tidak ingin mempertahankan ini semua?”

Semua kata itu terketik dan terkirim begitu saja tanpa melibatkan hatiku dalam pengambilan keputusan. Dan aku tahu jika jawaban dari pertanyaan itu datang, jawaban itu adalah akhir dari segalanya.

“Aku sangat ingin”

Menggantung. Hanya itukah yang dapat kau katakan untuk menyelamatkan ini semua? Bisakah kau lebih peduli akan aku disini yang ingin kau pertahankan seperti dulu ketika aku masih bersamanya? Kini dia kembali dan itu adalah satu-satunya hal yang bisa menarik perhatianmu sedikit mengarah kepadaku? Haruskah aku kembali kepadanya agar kau bisa kembali seperti dulu, sayang? Haruskah aku mencambukmu agar kau bangun dan menyadari kita sudah ada di mulut kematian?

“Kau tidak ingat bagaimana dulu kau memintaku untuk kembali padamu di teras rumahku? Bagaimana kau memohon untuk itu” karena aku masih ingat bagaimana kau terlihat sangat rapuh di hadapanku waktu itu. Mungkin kau sendiri tidak menyadari bagaimana kelihatannya dirimu, but I do. I always do. Aku masih ingat bagaimana aku berjuang keras untuk mengendalikan diriku agar tidak memelukmu dan mengatakan YA saat itu juga untuk menghapus semua pesakitanmu saat itu.

“Kau tidak ingat saat kau menghapus airmataku ketika aku menangis setelah upacara dulu?” ketika aku menangis karena dia dan kau yang ada disana. Menghiburku. Menemaniku. Memelukku.. Menghapus airmataku dan menenangkanku. Mengatakan bahwa kau ada disana dan semuanya akan baik-baik saja.

“Kau tidak ingat ketika kau mengatakan kau akan pergi dari sini, saat kita ada di Matahari lantai 5?” karena aku tidak akan pernah lupa. Semua hal. Setiap detik yang aku lalui bersamamu sejak kau mengatakan kau akan pindah ke luar pulau untuk bekerja. Setiap pertemuan kita terasa lebih berharga daripada apapun yang aku miliki. Retinaku masih bisa mencetak dengan jelas semua hal yang kita lalui dan bicarakan hari itu disana. Ketika kau memelukku. Tangan kita terjalin tanpa celah. Kedekatan yang kita rasakan. Hembusan nafasmu yang hangat di pipiku. Jemarimu yang terus bermain tanpa ampun di rambut dan bibirku. Tak dapat dipungkiri itu semua membangunkan semua sel-sel terdalam dari diriku dan membuatku dapat kembali hidup setelah sekian lama aku tertidur dalam pelarian tak kasat mata.

Aku kembali merasakanmu saat itu. Merasakan kehadiran yang ternyata memang menjadi satu tolok ukur kerinduan tanpa batas akan hadirmu di hidupku. Setelah dua tahun aku selalu berlari darimu dan mengira itu telah berhasil. Tapi hanya butuh waktu berdua bersamamu selama beberapa menit untuk menghancurkan semua ideologiku tentang “hey-aku-berhasil-dan-pergilah-kau-dari-hidupku”. Tidak. Aku menginginkanmu untuk melengkapi semua kekurangan yang aku rasakan selama ini. Sesuatu yang hilang dan tak pernah tergantikan.

Banyak yang telah datang. Mereka jauh lebih baik darimu. Mereka benar-benar mendekati kata sempurna. Mereka selalu ada dan selalu menjagaku. Tapi aku hanya terasa lengkap ketika aku merasakanmu. Aneh? Ya. Aku sendiri heran mendapati diriku jadi keluar dari jangkauan kewarasan seseorang.

Akal sehatku berteriak kencang. Ini gila! Dan ini membuatku takut. Ketika aku tidak lagi bisa merasakan kehadiranmu, apa yang dapat aku lakukan untuk mengisi rasa kosong itu? Haruskah aku berlari lagi? Haruskah aku kembali menjadi seperti putri tidur yang menunggu dibangunkan oleh sang pangeran dengan ‘true-love-kiss’nya? Ketakutan yang membelengguku membuatku semakin takut kehilanganmu. Dan ketika ketakutanku menjadi kenyataan, aku tidak bisa mengelak bahwa aku tidak bisa melepaskan diri lagi. Dulu mungkin aku bisa, tapi sekarang? Entah. Gagasan untuk mengakhiri ini dengan bunuh diri terasa menggiurkan.

Sekarang terserah apa maumu, sayang. Aku lelah. Datanglah ketika kau membutuhkanku. Pergilah jika kau ingin bersenang-senang dengannya. Dengannya yang selalu bertahta di hatimu. Dia yang selalu kau cintai. Karena memang hanya dialah yang bisa menjadi seperti yang kau inginkan.

Aku memang wanita paling bodoh di dunia. Mungkin aku bisa berlari. Aku bisa meninggalkanmu seperti dulu, menutup hatiku, mencari penggantimu dan menikmati hidup tanpa menoleh lagi ke belakang. Tapi hatiku menolak gagasan itu mentah-mentah. Membuatku kelabakan dan tertekan akan dorongan kuat untuk mencintaimu dan membencimu dalam satu hitungan. Satu helaan nafas, satu detik, satu waktu yang terlewat. Semua terasa semakin berharga. Segala pesakitan itu aku rasakan semakin nyata. Ketika kau datang dan pergi dengan sendirinya. Membuatku bertanya siapa aku bagimu. Membuatku memikirkan semuanya dari awal.

Jika dulu kita tidak saling mengenal, apakah ini semua akan terjadi? Jika dulu kau tidak mendekatiku, apa hatiku akan sama dengan hati yang lain? Hati tanpa cacat. Hati tanpa dendam.

Pertengkaran dari hari ke hari terasa semakin biasa aku hadapi dan membuatku semakin kebal terhadap semua ini. Semakin kebal atau mati rasa? Entah. Topeng yang aku kenakan semakin tebal dari hari ke hari. Semua orang mengira aku baik-baik saja. Ya, aku memang baik-baik saja.


Aku baik-baik saja ketika aku tahu aku memilikimu. Tapi itu tidak lagi terjadi.

Minggu, 13 Juli 2014

Butterfly in My Darkness


Hias pekatnya malam
Penuh gemerlap nan elok
Hadir tanpa sambutan

Kupu-kupu malam
Tanpa kejujuran
Lambang laknat dan dosa

Topeng terpasang di setiap denyut kehidupan
Tanpa cela, tanpa cacat
Mengikuti roda berputar tanpa arah

Hati putih, siapa yang tahu?
Kemilau yang tertutup topeng hitam
Hanya malam yang memperlihatkan

Mereka bersembunyi bersama luka
Diiringi tangisan terpendam
Dendam yang bertalu dalam jiwa
Mengubah nurani sang malaikat

Sang penggoda malam
Bermain dengan bintang dan bulan
Sang penggoda malam
Tanpa melihat siang terluka

Cabikan dunia tak ternilai
Hujatan tertelan gulita
Kupu-kupu malam bermain
Hanya itu yang bisa mereka lakukan

Kupu-kupu malam
Hiasi kelamnya dunia
Menutup kepahitan dengan dosa
Menutup luka dengan hiburan

Hati berdarah, siapa yang tahu?
Pelampiasan masa lalu yang tertoreh
Luka menganga
Memecut mereka terbang pergi

Kupu-kupu malam
Terus terbang dan sembunyi
Bermain dengan malam

Mencari naungan
Menutup airmata
Tak terlihat
Menyimpan hasrat

Kupu-kupu malam
Mengharap pertolongan
Mengubur pengharapan
Tuhan masih melihatnya

“She’s just like a butterfly. Awesome to see, but hard to catch.” – Annonymous.

Tanpa Dirimu, Aku Bukan Diriku Yang Sekarang *chapter 6





Sejak malam itu aku tidak pernah berhenti berpikiran negative tentangmu. Kau yang sedang berkontak dengannya. Kau yang sedang bersamanya. Kau yang masih mencintainya...

Dan di minggu malam, tepat keesokan harinya, aku mendapati diriku menemukan Private Message di BBMmu bertuliskan inisial namanya. Hatiku seperti ditancapi pedang secara perlahan.

Inikah yang kau katakan tidak ada apapun diantara kalian? Inikah yang kau katakan aku bisa memercayaimu? Inikah yang kau katakan sudah tidak ada apapun diantara kalian? Fuck off.

Aku meluapkan semuanya malam itu. Rasa kecewaku yang begitu besar benar-benar menguasaiku. Airmata seperti telah lelah untuk keluar dan mataku kering. Tapi hatiku seperti banjir darah. Pedang yang ada disana seperti bermain petak umpet. Masuk perlahan, berputar, ditarik perlahan, dan kembali masuk. Hatiku berteriak. Tapi aku seperti terlalu lelah untuk mendengarkannya.

“Bisa kau jelaskan apa ini? :)” aku mengirimkan chat itu bersama dengan Screen Capture yang menjadi bukti nyata. “A-E-M” dan dibawahnya tertuliskan “7 menit yg lalu”.

Menunggu balasanmu terasa seperti setahun.

Kau mengatakan itu hanya tantangan. Apakah aku bisa memercayainya? Hatiku terlalu lelah untuk bisa mengatakan YA. Berapa kali kepercayaan itu kau patahkan, sayang? Haruskah kali ini aku kembali membangun kepercayaan untukmu hanya agar kau bisa memecahkannya kembali seperti yang biasa kau lakukan?

Aku lelah. Pundakku terkulai di tempat tidur. Semua hal terasa mengganggu.

Di hari-hari terakhir aku menjalin hubungan denganmu, sekitar bulan April tahun 2012, setiap hari terasa seperti menggoreskan satu kenangan. Dan akhirnya semua kenangan pahit itu telah berhasil aku tutup dan aku simpan di sudut. Semua kepingan telah aku bereskan dan aku tutup rapat bersama dengan semua rasa janggal itu. Semua rasa yang tidak pernah aku bayangkan dapat aku miliki ketika aku bersamamu.


Semua penjelasanmu terasa seperti angin lalu. berapa kali aku harus mendengarkan penjelasan yang sama? Ataukah aku dapat menyebutnya kebohongan yang sama?

All this time I was wasting, hoping you would come around

Berapa kali lagi aku harus memercayaimu, sayang? Haruskah aku menyerah sekarang? Setelah semua yang aku perjuangkan selama ini?

I’ve been giving out chances everytime

Berapa kali aku harus kembali terluka untuk membuatmu menyadari cinta yang aku miliki terlalu besar?

But all you do is let me down     

Pernahkah kau sekali saja memikirkan tentang hatiku, sayang?

Hati yang telah memercayaimu sejak pertama kali merasakan kehadiranmu didalamnya.
Hati yang pernah mencintaimu sepenuhnya.
Hati yang kau siksa sebelum akhirnya dapat memilikimu seutuhnya.
Hati yang pernah kau siksa dengan ketidakpedulianmu dan ketidakhadiranmu dalam hidupnya.
Hati yang kau pukul dan kau bunuh dalam satu helaan nafas.
Hati yang telah terbiasa merasakan kehampaan tanpa hadirmu.
Hati yang tanpa lelah terus menjerit mengiyakan saat kau menawarkan kata kembali, meskipun aku terus menghiraukannya.
Hati yang kembali kau bangkitkan secara perlahan, meskipun aku terus menolak.
Hati yang kembali percaya. Tapi kini kembali kau bunuh. Lagi.

Apa aku masih bisa percaya lagi? Semua kenyataan ini terlalu terburu-buru. Tapi— hey! Mau sampai kapanpun, cepat atau lambat aku memang harus mengakui kenyataan bukan? Sepahit apapun kenyataan itu aku harus mengakui dan menerimanya. Kau pernah mengajarkan padaku bahwa tidak semua kenyataan itu mudah untuk diterima.

Semalaman aku tidak bisa tidur. Kepalaku pusing dan mataku perih. Hatiku berdenyut dan dadaku terasa sesak setiap kali aku menarik nafas. Serbuan dari jutaan kenangan selalu menyerangku tiap kali aku memaksa untuk memejamkan mata. Kenangan pahit yang dulunya berhasil aku tutup terasa seperti kotak Pandora yang terbuka. Membuat segalanya melesat ke segala ruang dalam otakku, memaksaku untuk mengingat semua rasa sakit itu. Rasanya ditinggalkan. Rasanya kehilangan. Semua perasaan yang tidak ingin aku rasakan lagi. Semua perasaan brengsek yang sudah aku hapuskan dari dalam hidupku. Semua kenyataan yang selalu aku hindari.

Otakku kembali mengingatkan aku akan hari-hari kosong yang aku lalui dengan terus berlari menghindari kenyataan. Tidak pernah berdiam diri. Selalu menyambar segala kesempatan untuk menyibukkan diri akan acara apapun. Membuat diriku seaktif mungkin. Dengan begitu segala perhatianku akan teralihkan dengan rutinitas dan segala hal yang menggangguku akan terlupakan.

Tapi sekarang? Apa yang akan aku gunakan untuk mengalihkan perhatian? Semua pria yang mendekatiku telah aku buang. Semua hubunganku dengan pria-pria yang sempat dekat denganku telah aku belokkan menjadi persahabatan atau bahkan lostcontact. Semua kegiatan telah habis bersih karena status LULUS yang telah aku sandang.

Aku memiringkan kepala, berusaha menghapus segala ingatan haram itu dari otakku. Aku tertidur. Entah bagaimana hal itu harus terjadi. Aku harus tidur karena besok akan menjadi hari penentuanku di sekolah tentang nama baik yang sedang aku dan teman-temanku pertaruhkan. Besok adalah rapat besar. Rapat yang aku nantikan sejak malam prompnite akan diadakan besok. Rapat ini akan menentukan kemana nama baik kami dibawa. Bukan. Nama baikku. Mereka bersalah, aku tidak. Itu permasalahannya disini. Sangat rumit. Aku tidak akan menceritakannya.

Rasanya detik itu juga aku ingin merobek retinaku yang tanpa ampun memutar semua kenangan itu seperti film dan tidur dengan lelap. Tapi aku mendapati diriku tidur dengan mimpi yang sama. Setelah bertahun-tahun, mimpi itu kembali hadir. Punggung yang berbalik lalu menghadap ke arahku. Langkah kaki yang semakin menjauh. Mulutku yang terus berteriak. Memohon. Mengemis. Agar mereka semua tetap tinggal. Tapi aku mendapati mereka telah ditelan ke dalam kegelapan.

Dan aku terbangun.


3 Juni 2014.

Hari selasa. Yang itu artinya itu adalah hari padat. Aku bangun, mandi dan berangkat ke sekolah untuk mengurus lanjutan acara terakhirku.

Tinggal satu acara, Wisuda Angkatan, yang didalamnya aku menjabat sebagai Sekretaris. Dan aku bersyukur karena itu adalah acara besar, sementara ketua panitiaku sama seperti sampah tidak berguna, dan guru-guru yang selalu bertengkar tanpa memikirkan segala kebutuhan, dan aku ada disana sebagai motor penggerak acara, yang itu artinya tidak ada istirahat bagiku dan otakku untuk memikirkan hal lain.

“Kau tahu apa yang mereka katakan?” Argo menanyakan pertanyaan retoris kepadaku sebagai pembuka berita siang itu. Aku hanya terus menatapnya tanpa mengalihkan pandangan menuntutku.
“Aku bertanya kepada mereka dengan nada paling sopan ‘Permisi pak, saya mau bertanya rapat dimulai pukul berapa? Dan ini anak-anak panitia wisuda jadi dilibatkan atau tidak?’” dia  terdiam kepadaku, menatapku nanar. Semakin meyakinkanku bahwa berita ini dapat membuatku meledak di penghujung kalimatnya. Aku tetap berusaha tenang menantikan lanjutan beritanya.
“Kau tahu apa yang dikatakannya? ‘Anak-anak? Tidak perlu.’” Dia menirukan aksen salah satu guru kami dengan lihai. Terlihat dari air mukanya bahwa dia geram dan ingin segera meninju guru itu sambil menanyakan dimana salah kami kepada mereka.

Aku hanya diam. Posisi berdiri yang aku ambil sejak 30 menit yang lalu tetap aku tempati. Tanganku terlipat di depan dada, sedangkan yang satunya naik untuk memijat pelipisku. Apa yang terjadi dalam hidupku? Semua kekacauan datang dalam hitungan detik. Sanggupkah aku melalui ini semua, Tuhan?

Sudah cukup. Topengku telah terkikis habis dan aku belum sempat membangun yang baru.

“Lalu kenapa kita masih disini?” aku sengaja berteriak agar suaraku sampai ke dalam aula dan ke dalam telinga para pemangku jabatan itu. “Jelas-jelas mereka tidak membutuhkan kita, kan? Lalu untuk apa kita disini? Sebaiknya kita segera pergi dan pulang ke rumah masing-masing jika MEREKA memang merasa kita hanya merepotkan!”

“Tenanglah, Illia.” Fatih berkata dengan nada memerintah. Terlihat dari raut mukanya dia juga kehabisan kesabaran. “Well, mungkin kita bisa menawarkan untuk memberikan mereka keleluasaan untuk mempersiapkan konsep. Tugas kita hanya menagih pembayaran wisuda kepada siswa. Lagipula—”

“What you say?” aku mendapati suaraku melengking karena emosi yang berusaha aku tahan walaupun gagal. Wajahnya terlihat kaget dan waspada, membuatku diliputi penyesalan telah membentaknya seperti itu. “Kalau tugas kita hanya seperti itu untuk apa kita dibentuk?”
Aku berpaling kepada Argo, ketua panitiaku. “Kau ingat surat yang kau buat pertama kali? Surat pemberitahuan wisuda? Yang dilampiri rincian anggaran?” dia mengangguk tanpa melihatku. Tatapannya seperti ingin menyentuh tanah dan minta ditelan bulat-bulat.
“Kau ingat seperti apa kepala suratnya? Kau ingat? Tidak ada logo sekolah kita disana! Surat itu dibuat atas nama panitia! Bukan atas nama sekolah! Semua ini dirancang atas nama kita! Jadi kalau ada sesuatu yang terjadi, yang pertama kali harus menanggungnya adalah kau sebagai ketua panitianya!” aku menunjuknya dengan jari telunjukku yang bergetar lalu menyentuh pelipisku dan mengetuk-ngetuknya, menegaskan agar dia memakai otaknya kali ini. Mataku menyipit. Emosi benar-benar membuatku meluapkan segalanya.

“Dan kau, Fatih.” Aku berpaling kepadanya. Matanya bertemu mataku. Emosi bertemu emosi. Kemarahan bertemu kemarahan. Tapi setidaknya aku tidak menemukan kepedihan disana.
“Jika memang tugas kita hanya menagih pembayaran kepada para siswa, kenapa tidak sekalian melimpahkan semuanya kepada mereka? Kenapa harus kita yang langsung bertemu sang ‘objek’ sedangkan mereka menikmati hasilnya? Tidak merasakan tatapan tidak mengenakkan dari beberapa siswa. Aku lebih memilih sekalian membubarkan kepanitiaan ini. Terlebih lagi mengingat surat keputusan atas kepanitiaan kita belum dibuat sampai detik ini, itu menyatakan secara tidak langsung bahwa kita tidak resmi.”

Mereka berdua terdiam. Teman-temanku dan anak-anak pengurus OSIS kelas X dan XI yang ada di sekitar sana, yang semula sedang mengobrol satu sama lain, kini ikut terdiam. Mereka melihatku dengan takut karena suaraku yang tinggi. Ekspresi wajahku tidak terdefinisi. Aku merasakan tanganku berkeringat. Keningku berkerut. Dadaku naik-turun, berusaha memompa udara untuk masuk secepat mungkin ke dalam paru-paruku. Seketika aku merasakan migrainku menyerang. Sial. Kemana perginya otak kedua orang ini? Apa mereka belum sadar mereka diperalat? Bahkan aku yang telah sadar tapi memanfaatkan kesibukan ini untuk urusan pribadiku saja rasanya ingin cepat pergi dari sini

Tanganku kembali bersilang dan memijat tulang hidungku. “Brengsek.” Aku memaki dengan keras. Argo dan Fatih masih terdiam.

Tentu saja aku sadar dimana aku sekarang. Aku sedang berada di luar ruang rapat besar. Dimana didalamnya ada beberapa guru dan sudah pasti mereka bisa mendengar aku marah-marah dan mendengar makianku. Tapi aku tidak peduli lagi. Apapun resikonya akan aku tanggung. Yang perlu aku lakukan sekarang hanyalah menarik perhatian mereka agar aku bisa menanyakan dimana kesalahan kami dan meluruskan kerja sama ini secepatnya.

Belum lagi permasalahan keluarga yang sedang genting-gentingnya dirumah. Sang anak ‘kesayangan’ sedang membangun kediaman baru yang secara tidak langsung mengakibatkan dampak negatif terhadap rumahku karena posisinya yang melekat di sisi rumahku. Mama yang setiap hari bertambah sensitif karena hal itu. Setiap malam yang aku dengar hanyalah makian yang semakin kasar di dalam rumah. Semua yang aku lakukan selalu salah. Ditambah suara tangisan dari mama yang menggema setiap malam ketika sedang terhubung dengan Adik-Nenekku lewat line telepon. Semuanya rumit. Setiap hari yang aku lakukan hanya mengibaskan tangan setiap kali mama mulai memaki dan aku menghabiskan malam itu di teras atau ruang setrika (yang sekarang aku jelma menjadi ruang kerja).

Bercerita? Mana mungkin? Hanya alkohol yang bisa mengerti aku. Aku tidak membutuhkan dosis tinggi. Vodka mix atau beer eceran yang cukup untuk memberikan kehangatan dan ketenangan. Itulah yang aku butuhkan di setiap malam. Toh juga percuma aku bercerita, tidak akan ada yang mengerti. Tidak akan ada yang peduli. Mereka hanya bisa mendengar, bukan mendengarkan. Mereka hanya bisa melihat, bukan mengamati. Mereka hanya bisa tahu, bukan mengerti. Dan itu hanya menambah rasa terbebani di dalam diriku.

Pikiranku kembali tersedot ke malam itu. Aku bertengkar dengan mama dan akhirnya memutuskan untuk pergi ke puncak di dekat rumahku. Sebotol vodka mix ada di tanganku. Sparkling wine. Aku menenggaknya sambil memikirkan semua masalah ini dan aku mulai tenang. Cairan bening berwarna putih dan kuning berbaur di sekitar mulutku. Mataku menangis tapi aku berpura-pura tidak merasakannya. Kenapa semua ini terjadi begitu saja? Begitu cepat. Tanpa jeda. Kemanapun aku melangkah rasanya seperti masalah selalu membuntutiku dan aku tidak bisa melepaskan diri dari mereka.

Berkali-kali aku sempat berpikir untuk mencari pisau dan merobek nadiku dan mengakhiri ini semua sekaligus.
Setiap kali aku menyeberang atau melihat mobil lewat, yang ada di dalam pikiranku hanyalah berlari dan menyerbunya. Berharap dengan begitu aku dapat menyelesaikan ini semua.
Dan kali itu aku juga tidak luput akan keinginan untuk melompat dari jurang itu. Dorongan alkohol yang remang-remang aku rasakan membuat keinginanku semakin kuat.

Pikiranku kembali kepadaku dan membuat migrainku semakin parah. Aku duduk di samping Fatih dan mengusap wajah dengan dua tangan. “Maaf.” Gumamku. Keheningan di sekitarku membuatku semakin gelisah. Tidak ada lagi yang mengobrol seperti tadi. Helaan nafasku semakin terasa kentara karena ditunjang dengan keheningan yang ada. Semua perhatian tersedot ke arah kami bertiga. Rasanya ingin sekali aku menangis disana jika aku tidak memikirkan wibawaku dihadapan semua anak buahku. Rasa terbuang ini membuatku muak.

Jam 1 siang. Teman-temanku panitia katalog masuk ke dalam aula dan mengikuti rapat. Sementara panitia wisuda memilih untuk menunggu di luar ruangan. Bukan berharap dipanggil. Kami hanya berusaha menguatkan teman-teman kami yang sedang berjuang di dalam sana.

Nama baikku juga sedang aku perjuangkan diam-diam disini. Tapi mengingat luapan emosiku tadi, semuanya terasa seperti menyentuh angka 0 dan -1.

Tiba-tiba namaku terpanggil. “Illia tidak hadir? Tidak masuk hari ini?” suara dari orang yang sejak dulu sudah aku anggap ayah sendiri. Yang tidak dapat aku pungkiri beberapa hari yang lalu sempat marah besar secara pribadi kepadaku dan Faiz meskipun itu bukan kesalahanku. Suara itu membuat perutku bergejolak dan mengangkat tangan secara otomatis, lupa bahwa sekarang aku ada di luar ruangan. “Illia mana?” beliau memanggil namaku sekali lagi. Namaku. Bukan Argo sebagai ketua panitia. Bukan Fatih sebagai aktivis yang ada di dalam ruangan. Aku.

Aku terperanjat dan berdiri. Kepalaku mengintip ke balik pintu dan menarik perhatian dari guru yang memanggilku. “Kemarilah, nak. Sedang apa kau di luar sana?” beliau bertanya penuh kebingungan. Kebingungan atau basa-basi?

“Tadi ada yang mengatakan kepada salah satu dari kami bahwa kami tidak dibutuhkan, pak. Jadi kami memilih untuk menunggu di luar ketimbang kami dirasa mengganggu.” Aku menancapkan tiga suku kata terakhir kepada guru yang tadi dapat dikatakan mengusir kami yang duduk di samping beliau. Guru itu hanya melihatku dan melotot. Yang aku balas dengan tatapan menantang. Daguku terangkat. Terdengar sedikit dengungan karena pernyataan yang aku lontarkan.

Dari pemanggilan nama itulah aku memulai rutinitasku seperti biasanya. Menjelaskan kepada guru-guru yang membutuhkan penjelasan tentang survey-survey pasar yang telah panitia lakukan belakangan ini. Bertanya-jawab dengan beberapa orang tentang konsep yang sedang kami rancang untuk acara kami. Memberikan saran dan masukan yang dominan selalu diterima dengan baik oleh mereka.

Tuhan, jika engkau memang menciptakan dan menghendaki manusia berbuat jujur, kenapa selalu ada kebohongan dan topeng kemunafikan yang membuat kejujuran itu terlihat sebagai onggokan sampah tak terpakai diantara kami?

Sampai akhirnya saat yang kami nantikan sejak tadi tiba. Penyelesaian konflik batin antara siswa dengan beberapa staff dalam sekolah.

Baru saja kelima panitia katalog dan satu desainer berjalan ke depan dan hadirin sudah berkonfrontasi sambil menunjuk-nunjuk mereka tanpa ampun. Sebesar inikah masalahnya? Batinku terkoyak mendengar kata “ya” terlintas perlahan dalam otakku.

Semua penjelasan dari sang ketua panitia membuat guru-guru diam. Entah karena memberikan kesempatan untuk berbicara ataukah karena mereka benar-benar meresapi. Tapi aku mendapati salah satu peserta rapat berdiri dan meluapkan emosinya. Matanya melotot, menandakan emosi yang tidak terbendung. Bibirnya mengeluarkan bentakan yang setahuku tidak pernah aku dengar selama aku mengenal beliau.

Guru agama yang duduk di sampingku berdiri dan angkat bicara. Beliau, yang terkenal sebagai orang paling sabar yang pernah mengajar di sekolahku, bahkan ikut bersuara.

“...saya pribadi benar-benar kecewa atas apa yang telah kalian buat. Apakah saya belum pernah mengajarkan kalian apa itu norma dan moral?...” kilasan kata-kata yang aku dengar benar-benar membuat aku tertunduk. Kapan ini berakhir, Tuhan?

Salah satu guru tertua ikut berbicara. Aku tahu, ketika beliau berbicara pastilah pokok permasalahan akan terbahas tuntas dalam sekejap. Aku menguatkan hatiku untuk menatap wajah beliau yang penuh guratan emosi. Wajahnya tidak tampak cantik seperti biasanya. Wajahnya melukiskan, apa istilahnya? Luka?

“Saya tahu, nak. Kalian-kalian itu adalah murid-murid kami yang paling baik, cantik, ganteng, cerdas, anak-anakku...” benarkah itu yang kau pikirkan tentang kami, ibu? Dalam sekejap aku kembali tertunduk dan langsung menangis dalam diam. Tanganku kembali bersilang di dada dan memijat tulang hidungku. Lebih karena ingin menyembunyikan airmata yang mulai menetes deras.
“Dan anda, Siswanto. Pernahkah anda berpikir dalam pembuatan desain itu? Anda sebagai anak Ambalan seharusnya tahu benar tentang simbol sekolah yang tidak boleh sembarangan diolah...” sisa kata-katanya terlalu miris untuk aku ingat. Tangisku semakin deras dan aku terisak. Disampingku, Nanda menghadap ke arahku dan mengusap-usap pundakku, berusaha menenangkanku.
“...saya tahu, mbak, mas, kalian itu top-topnya OSIS. Saya tahu. Itulah kenapa kalian ada disini sekarang.” Mendengar organisasi itu disebut, hatiku kembali terkoyak. Haruskan menghubung-hubungkan permasalahan ini dengan organisasi yang telah membangkitkan namaku di seantero kota?

Semua kata-kata kekecewaan diwakilkan oleh satu puisi karangan para guru. Puisi yang benar-benar menggambarkan emosi dan perang dingin selama beberapa hari ini. Puisi yang seakan berusaha merobek pertahanan terakhirku untuk tidak berlari ke depan, menyambar mic, dan bertanya kepada mereka semua apa hubungan antara masalah ini dengan panitia wisuda yang jelas-jelas tidak ada sangkut pautnya? Kenapa kami ikut disalahkan? Padahal kami bahkan tidak tahu menahu tentang permasalahan ini sebelum permasalahannya meledak!

Tapi aku kembali terdiam. Topengku kembali terpasang. Aku mendapati diriku tetap duduk manis sambil menahan isak yang semakin dalam memikirkan ini semua. Persetan dengan orang-orang yang melihatku dengan tatapan cih-air-mata-buaya dan memalingkan muka.

Ya, well, jujur dari dalam hatiku aku menghormati mereka. Sungguh. Meskipun tidak sedikit dari mereka sangat menjengkelkan dan menyusahkan. Tapi aku selalu menghormati mereka sebagai guruku dan menaruh salut tersendiri dengan cara mereka mengajar kami. Toh juga tidak mungkin jika tidak ada yang menjengkelkan dalam sekelompok manusia, bukan? Itu semua mengajariku toleransi.

Tapi masalah ini benar-benar menguras pemikiranku tentang mereka. Meskipun pada akhirnya aku tetap berusaha menaruh hormatku terhadap mereka yang bahkan aku lihat sedang berkonfrontasi sambil berdiri dan raut wajah penuh pancaran murka.

Aku sampai dirumah saat petang. Seperti dugaanku, tanpa komunikasi denganmu pun hariku akan tetap berjalan dengan cepat jika dialih-fokuskan. Semoga ini dapat berlangsung lama.

Setidaknya itu harapanku, sebelum akhirnya aku membuka BBM dan kau mengomentari salah satu Private Message yang aku buat.

“Aku bukan milik siapa-siapa, Il. Aku milik Tuhanku.”

Nonsense. Kau –mungkin- memang bukan milik siapapun, tapi hatimu miliknya. Bukan begitu?

Segala percakapan mulai mengalir. Percakapan yang menyudutkanku. Secara kebetulan anjing yang dipeliharanya mati tepat di malam kami bertengkar. Aku tidak dapat menyalahkannya kalau rasa duka itu masih ada di hari kedua. Tapi mengabaikanku itu hal lain.

Aku mendapat perasaan kau hanya menghindari topik ini. Tidak memiliki jawaban, sayang? Takut segalanya terbongkar sekarang? Saat dia hanya menggantungkanmu dan kau butuh tempat berlari sementara—aku. Kau takut tempat berlarimu hilang?


“DPnya mantanmu bagus tuh. Haha” aku mulai memancingmu. Tidak. Aku langsung menumpahkan segala kenyataan di depanmu.

“Gak peduli.”

Lalu? Aku harus bagaimana agar kau peduli? Kau tidak peduli karena kau sedang berduka atau kau memang menghindari kenyataan, Adi?

Ini konyol. Siapa yang seharusnya terluka disini? Haruskah aku kembali berpura-pura baik-baik saja seperti biasanya dan diam sambil menahan sakit?

Seperti biasa, aku selalu tertidur saat hari telah berganti dan terbangun dengan mata berdenyut karena lelah. Rutinitasku (minus berkontak denganmu) berjalan seperti biasa. Topeng yang aku kenakan begitu sempurna. Tidak akan ada yang mengetahui bahwa sebenarnya aku sedang mengalami guncangan-guncangan itu. Tidak boleh ada yang tahu. Ke-tahu-an mereka akan hal ini hanya akan menambah rasa kecewaku karena kesalahan mereka dalam memahami permasalahan yang ada.

Setidaknya di hari Rabu itu ada sedikit pelipur lara. Semua guru yang menjalankan diam seribu bahasa kepada kami, panitia wisuda, telah mulai mengikutsertakan kami dan mengajak kami berbicara. Berani bertaruh rasanya seperti akan melayang karena ada beban yang terlepas dalam diriku. Sungguh rasanya luar biasa, bahkan setelah melewati pagi yang menegangkan dan diobati dengan keputusan untuk cuti selama satu hari (yang ditolak mentah-mentah oleh Argo, meskipun akhirnya aku tetap pergi setelah memastikan semua agenda hari itu telah dibereskan). Tapi sore harinya aku kembali ke sekolah dan membantu tiga panitia yang masih tinggal di sekolah serta bapak-ibu guru yang masih ada disana. Argo dan Fatih tidak ada disana, aku mendapatkan laporan mereka telah pulang beberapa menit setelah aku pulang. Apa-apaan ini?

Lagi-lagi aku pulang petang. Malam menyambutku saat aku menginjakkan kaki di teras rumah. Tanpa menunggu apapun aku berganti pakaian dan tertidur. Terlalu lega untuk memikirkan masalah lain, baik itu suasana rumah ataupun dirimu.


5 Juni 2014

Tapi keesokan harinya aku mendapatkan kejutan lain.

Kau. Bersamanya. Berdua. Kemanapun kaki kalian melangkah. Di lingkup sekolah. Dan menyadari aku ada disana. Menatap kalian dengan rasa tidak percaya dan berusaha tidak peduli.

Hatiku menjerit. Tapi logikaku berkata tegas. He’s not yours anymore, Illia.

Ya. Dia bukan milikku lagi. Well, dia dulunya milikku tapi wanita jalang itu merebutnya dariku. Terima kasih, sahabat. Jika ada kata-kata yang dapat aku katakan kepadamu, terima kasih adalah hal pertama yang akan aku katakan. Jika kau menginginkan bonus, aku tidak keberatan untuk menampar wajahmu dan meninju senyum munafikmu itu.

Memikirkan dan menanti rapat yang akan diadakan pukul satu siang sudah cukup memacu adrenalinku. Ditambah semua persiapan wisuda yang dibutuhkan. Dan ditambah sentuhan terakhir; melihat kalian terus menerus bersama sepanjang hari. Otakku kacau. Kesibukan terus menemaniku hari itu. Dan diam-diam aku sangat berterima kasih karenanya. Dengan begitu setidaknya aku tidak sempat memikirkan kalian yang sedang berduaan disana tanpa peduli bagaimana perasaanku tentang itu semua.

Brengsek.

Hatiku terus memaki detik demi detik. Tanpa ampun. Semua kesibukan berbaur dengan suasana hatiku yang tidak dapat aku toleransi lagi. Pekerjaanku kacau. Dan semua itu ditutup dengan rapat besar bersama beberapa pengurus OSIS, Ambalan dan Paskibra.

Di tengah rapat aku selalu mondar-mandir kesana-kemari untuk menjelaskan kepada beberapa pihak yang terlibat namun kurang mengerti, seperti biasa. Hampir tidak terhitung saat aku juga maju ke depan untuk menanyakan dan berdiskusi langsung kepada para guru yang memimpin rapat tentang konsep-konsep yang kurang sejalur dan agak mengganjal.

Ketika tiba giliranku untuk mendiskusikan masalah kesekretariatan tentang daftar tamu undangan, aku maju ke depan dan berdiskusi dengan Sekretaris dari pihak sekolah. Aku duduk dengan santai dan mendiskusikan siapa-siapa yang akan kita undang di acara wisuda tahun ini selama beberapa menit.

Dan ketika aku berdiri untuk undur diri kembali ke tempat dudukku di belakang, rasanya seperti ada palu gada yang diayunkan ke tengkukku sekeras mungkin. Aku kaget setengah mati melihatmu bersama dengannya, di hadapanku, di parkiran motor. Bisa kalian tebak? Ya. Mereka pulang bersama.

Kau melihatku. Tatapan tanpa emosi. Datar. Dingin. Tatapan yang selalu membuat sesuatu bangkit dari dalam diriku. Seperti sekarang.

Mataku kembali panas. Tapi aku mengerjap. Sedetik kemudian aku mendapati diriku mengatakan “Terima kasih, pak. Selamat siang.” Dan kembali berjalan ke tempat duduk. Topeng yang hebat, Illia. Ketika aku duduk, aku mendengar suara motor yang melaju kencang dari sisi kananku dan aku hanya memejamkan mata.


Kau memang seperti Lucifer. Kejam. Arogan. Selalu mendapatkan apa yang kau inginkan.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More