About Me

Thesalonika Olga Valitha Briliane | 23 y.o | Indonesian | Swiftie | @__tukangmaido | Love Green, Like Mango | Jesus Christ

Minggu, 13 Juli 2014

Tanpa Dirimu, Aku Bukan Diriku Yang Sekarang *chapter 6





Sejak malam itu aku tidak pernah berhenti berpikiran negative tentangmu. Kau yang sedang berkontak dengannya. Kau yang sedang bersamanya. Kau yang masih mencintainya...

Dan di minggu malam, tepat keesokan harinya, aku mendapati diriku menemukan Private Message di BBMmu bertuliskan inisial namanya. Hatiku seperti ditancapi pedang secara perlahan.

Inikah yang kau katakan tidak ada apapun diantara kalian? Inikah yang kau katakan aku bisa memercayaimu? Inikah yang kau katakan sudah tidak ada apapun diantara kalian? Fuck off.

Aku meluapkan semuanya malam itu. Rasa kecewaku yang begitu besar benar-benar menguasaiku. Airmata seperti telah lelah untuk keluar dan mataku kering. Tapi hatiku seperti banjir darah. Pedang yang ada disana seperti bermain petak umpet. Masuk perlahan, berputar, ditarik perlahan, dan kembali masuk. Hatiku berteriak. Tapi aku seperti terlalu lelah untuk mendengarkannya.

“Bisa kau jelaskan apa ini? :)” aku mengirimkan chat itu bersama dengan Screen Capture yang menjadi bukti nyata. “A-E-M” dan dibawahnya tertuliskan “7 menit yg lalu”.

Menunggu balasanmu terasa seperti setahun.

Kau mengatakan itu hanya tantangan. Apakah aku bisa memercayainya? Hatiku terlalu lelah untuk bisa mengatakan YA. Berapa kali kepercayaan itu kau patahkan, sayang? Haruskah kali ini aku kembali membangun kepercayaan untukmu hanya agar kau bisa memecahkannya kembali seperti yang biasa kau lakukan?

Aku lelah. Pundakku terkulai di tempat tidur. Semua hal terasa mengganggu.

Di hari-hari terakhir aku menjalin hubungan denganmu, sekitar bulan April tahun 2012, setiap hari terasa seperti menggoreskan satu kenangan. Dan akhirnya semua kenangan pahit itu telah berhasil aku tutup dan aku simpan di sudut. Semua kepingan telah aku bereskan dan aku tutup rapat bersama dengan semua rasa janggal itu. Semua rasa yang tidak pernah aku bayangkan dapat aku miliki ketika aku bersamamu.


Semua penjelasanmu terasa seperti angin lalu. berapa kali aku harus mendengarkan penjelasan yang sama? Ataukah aku dapat menyebutnya kebohongan yang sama?

All this time I was wasting, hoping you would come around

Berapa kali lagi aku harus memercayaimu, sayang? Haruskah aku menyerah sekarang? Setelah semua yang aku perjuangkan selama ini?

I’ve been giving out chances everytime

Berapa kali aku harus kembali terluka untuk membuatmu menyadari cinta yang aku miliki terlalu besar?

But all you do is let me down     

Pernahkah kau sekali saja memikirkan tentang hatiku, sayang?

Hati yang telah memercayaimu sejak pertama kali merasakan kehadiranmu didalamnya.
Hati yang pernah mencintaimu sepenuhnya.
Hati yang kau siksa sebelum akhirnya dapat memilikimu seutuhnya.
Hati yang pernah kau siksa dengan ketidakpedulianmu dan ketidakhadiranmu dalam hidupnya.
Hati yang kau pukul dan kau bunuh dalam satu helaan nafas.
Hati yang telah terbiasa merasakan kehampaan tanpa hadirmu.
Hati yang tanpa lelah terus menjerit mengiyakan saat kau menawarkan kata kembali, meskipun aku terus menghiraukannya.
Hati yang kembali kau bangkitkan secara perlahan, meskipun aku terus menolak.
Hati yang kembali percaya. Tapi kini kembali kau bunuh. Lagi.

Apa aku masih bisa percaya lagi? Semua kenyataan ini terlalu terburu-buru. Tapi— hey! Mau sampai kapanpun, cepat atau lambat aku memang harus mengakui kenyataan bukan? Sepahit apapun kenyataan itu aku harus mengakui dan menerimanya. Kau pernah mengajarkan padaku bahwa tidak semua kenyataan itu mudah untuk diterima.

Semalaman aku tidak bisa tidur. Kepalaku pusing dan mataku perih. Hatiku berdenyut dan dadaku terasa sesak setiap kali aku menarik nafas. Serbuan dari jutaan kenangan selalu menyerangku tiap kali aku memaksa untuk memejamkan mata. Kenangan pahit yang dulunya berhasil aku tutup terasa seperti kotak Pandora yang terbuka. Membuat segalanya melesat ke segala ruang dalam otakku, memaksaku untuk mengingat semua rasa sakit itu. Rasanya ditinggalkan. Rasanya kehilangan. Semua perasaan yang tidak ingin aku rasakan lagi. Semua perasaan brengsek yang sudah aku hapuskan dari dalam hidupku. Semua kenyataan yang selalu aku hindari.

Otakku kembali mengingatkan aku akan hari-hari kosong yang aku lalui dengan terus berlari menghindari kenyataan. Tidak pernah berdiam diri. Selalu menyambar segala kesempatan untuk menyibukkan diri akan acara apapun. Membuat diriku seaktif mungkin. Dengan begitu segala perhatianku akan teralihkan dengan rutinitas dan segala hal yang menggangguku akan terlupakan.

Tapi sekarang? Apa yang akan aku gunakan untuk mengalihkan perhatian? Semua pria yang mendekatiku telah aku buang. Semua hubunganku dengan pria-pria yang sempat dekat denganku telah aku belokkan menjadi persahabatan atau bahkan lostcontact. Semua kegiatan telah habis bersih karena status LULUS yang telah aku sandang.

Aku memiringkan kepala, berusaha menghapus segala ingatan haram itu dari otakku. Aku tertidur. Entah bagaimana hal itu harus terjadi. Aku harus tidur karena besok akan menjadi hari penentuanku di sekolah tentang nama baik yang sedang aku dan teman-temanku pertaruhkan. Besok adalah rapat besar. Rapat yang aku nantikan sejak malam prompnite akan diadakan besok. Rapat ini akan menentukan kemana nama baik kami dibawa. Bukan. Nama baikku. Mereka bersalah, aku tidak. Itu permasalahannya disini. Sangat rumit. Aku tidak akan menceritakannya.

Rasanya detik itu juga aku ingin merobek retinaku yang tanpa ampun memutar semua kenangan itu seperti film dan tidur dengan lelap. Tapi aku mendapati diriku tidur dengan mimpi yang sama. Setelah bertahun-tahun, mimpi itu kembali hadir. Punggung yang berbalik lalu menghadap ke arahku. Langkah kaki yang semakin menjauh. Mulutku yang terus berteriak. Memohon. Mengemis. Agar mereka semua tetap tinggal. Tapi aku mendapati mereka telah ditelan ke dalam kegelapan.

Dan aku terbangun.


3 Juni 2014.

Hari selasa. Yang itu artinya itu adalah hari padat. Aku bangun, mandi dan berangkat ke sekolah untuk mengurus lanjutan acara terakhirku.

Tinggal satu acara, Wisuda Angkatan, yang didalamnya aku menjabat sebagai Sekretaris. Dan aku bersyukur karena itu adalah acara besar, sementara ketua panitiaku sama seperti sampah tidak berguna, dan guru-guru yang selalu bertengkar tanpa memikirkan segala kebutuhan, dan aku ada disana sebagai motor penggerak acara, yang itu artinya tidak ada istirahat bagiku dan otakku untuk memikirkan hal lain.

“Kau tahu apa yang mereka katakan?” Argo menanyakan pertanyaan retoris kepadaku sebagai pembuka berita siang itu. Aku hanya terus menatapnya tanpa mengalihkan pandangan menuntutku.
“Aku bertanya kepada mereka dengan nada paling sopan ‘Permisi pak, saya mau bertanya rapat dimulai pukul berapa? Dan ini anak-anak panitia wisuda jadi dilibatkan atau tidak?’” dia  terdiam kepadaku, menatapku nanar. Semakin meyakinkanku bahwa berita ini dapat membuatku meledak di penghujung kalimatnya. Aku tetap berusaha tenang menantikan lanjutan beritanya.
“Kau tahu apa yang dikatakannya? ‘Anak-anak? Tidak perlu.’” Dia menirukan aksen salah satu guru kami dengan lihai. Terlihat dari air mukanya bahwa dia geram dan ingin segera meninju guru itu sambil menanyakan dimana salah kami kepada mereka.

Aku hanya diam. Posisi berdiri yang aku ambil sejak 30 menit yang lalu tetap aku tempati. Tanganku terlipat di depan dada, sedangkan yang satunya naik untuk memijat pelipisku. Apa yang terjadi dalam hidupku? Semua kekacauan datang dalam hitungan detik. Sanggupkah aku melalui ini semua, Tuhan?

Sudah cukup. Topengku telah terkikis habis dan aku belum sempat membangun yang baru.

“Lalu kenapa kita masih disini?” aku sengaja berteriak agar suaraku sampai ke dalam aula dan ke dalam telinga para pemangku jabatan itu. “Jelas-jelas mereka tidak membutuhkan kita, kan? Lalu untuk apa kita disini? Sebaiknya kita segera pergi dan pulang ke rumah masing-masing jika MEREKA memang merasa kita hanya merepotkan!”

“Tenanglah, Illia.” Fatih berkata dengan nada memerintah. Terlihat dari raut mukanya dia juga kehabisan kesabaran. “Well, mungkin kita bisa menawarkan untuk memberikan mereka keleluasaan untuk mempersiapkan konsep. Tugas kita hanya menagih pembayaran wisuda kepada siswa. Lagipula—”

“What you say?” aku mendapati suaraku melengking karena emosi yang berusaha aku tahan walaupun gagal. Wajahnya terlihat kaget dan waspada, membuatku diliputi penyesalan telah membentaknya seperti itu. “Kalau tugas kita hanya seperti itu untuk apa kita dibentuk?”
Aku berpaling kepada Argo, ketua panitiaku. “Kau ingat surat yang kau buat pertama kali? Surat pemberitahuan wisuda? Yang dilampiri rincian anggaran?” dia mengangguk tanpa melihatku. Tatapannya seperti ingin menyentuh tanah dan minta ditelan bulat-bulat.
“Kau ingat seperti apa kepala suratnya? Kau ingat? Tidak ada logo sekolah kita disana! Surat itu dibuat atas nama panitia! Bukan atas nama sekolah! Semua ini dirancang atas nama kita! Jadi kalau ada sesuatu yang terjadi, yang pertama kali harus menanggungnya adalah kau sebagai ketua panitianya!” aku menunjuknya dengan jari telunjukku yang bergetar lalu menyentuh pelipisku dan mengetuk-ngetuknya, menegaskan agar dia memakai otaknya kali ini. Mataku menyipit. Emosi benar-benar membuatku meluapkan segalanya.

“Dan kau, Fatih.” Aku berpaling kepadanya. Matanya bertemu mataku. Emosi bertemu emosi. Kemarahan bertemu kemarahan. Tapi setidaknya aku tidak menemukan kepedihan disana.
“Jika memang tugas kita hanya menagih pembayaran kepada para siswa, kenapa tidak sekalian melimpahkan semuanya kepada mereka? Kenapa harus kita yang langsung bertemu sang ‘objek’ sedangkan mereka menikmati hasilnya? Tidak merasakan tatapan tidak mengenakkan dari beberapa siswa. Aku lebih memilih sekalian membubarkan kepanitiaan ini. Terlebih lagi mengingat surat keputusan atas kepanitiaan kita belum dibuat sampai detik ini, itu menyatakan secara tidak langsung bahwa kita tidak resmi.”

Mereka berdua terdiam. Teman-temanku dan anak-anak pengurus OSIS kelas X dan XI yang ada di sekitar sana, yang semula sedang mengobrol satu sama lain, kini ikut terdiam. Mereka melihatku dengan takut karena suaraku yang tinggi. Ekspresi wajahku tidak terdefinisi. Aku merasakan tanganku berkeringat. Keningku berkerut. Dadaku naik-turun, berusaha memompa udara untuk masuk secepat mungkin ke dalam paru-paruku. Seketika aku merasakan migrainku menyerang. Sial. Kemana perginya otak kedua orang ini? Apa mereka belum sadar mereka diperalat? Bahkan aku yang telah sadar tapi memanfaatkan kesibukan ini untuk urusan pribadiku saja rasanya ingin cepat pergi dari sini

Tanganku kembali bersilang dan memijat tulang hidungku. “Brengsek.” Aku memaki dengan keras. Argo dan Fatih masih terdiam.

Tentu saja aku sadar dimana aku sekarang. Aku sedang berada di luar ruang rapat besar. Dimana didalamnya ada beberapa guru dan sudah pasti mereka bisa mendengar aku marah-marah dan mendengar makianku. Tapi aku tidak peduli lagi. Apapun resikonya akan aku tanggung. Yang perlu aku lakukan sekarang hanyalah menarik perhatian mereka agar aku bisa menanyakan dimana kesalahan kami dan meluruskan kerja sama ini secepatnya.

Belum lagi permasalahan keluarga yang sedang genting-gentingnya dirumah. Sang anak ‘kesayangan’ sedang membangun kediaman baru yang secara tidak langsung mengakibatkan dampak negatif terhadap rumahku karena posisinya yang melekat di sisi rumahku. Mama yang setiap hari bertambah sensitif karena hal itu. Setiap malam yang aku dengar hanyalah makian yang semakin kasar di dalam rumah. Semua yang aku lakukan selalu salah. Ditambah suara tangisan dari mama yang menggema setiap malam ketika sedang terhubung dengan Adik-Nenekku lewat line telepon. Semuanya rumit. Setiap hari yang aku lakukan hanya mengibaskan tangan setiap kali mama mulai memaki dan aku menghabiskan malam itu di teras atau ruang setrika (yang sekarang aku jelma menjadi ruang kerja).

Bercerita? Mana mungkin? Hanya alkohol yang bisa mengerti aku. Aku tidak membutuhkan dosis tinggi. Vodka mix atau beer eceran yang cukup untuk memberikan kehangatan dan ketenangan. Itulah yang aku butuhkan di setiap malam. Toh juga percuma aku bercerita, tidak akan ada yang mengerti. Tidak akan ada yang peduli. Mereka hanya bisa mendengar, bukan mendengarkan. Mereka hanya bisa melihat, bukan mengamati. Mereka hanya bisa tahu, bukan mengerti. Dan itu hanya menambah rasa terbebani di dalam diriku.

Pikiranku kembali tersedot ke malam itu. Aku bertengkar dengan mama dan akhirnya memutuskan untuk pergi ke puncak di dekat rumahku. Sebotol vodka mix ada di tanganku. Sparkling wine. Aku menenggaknya sambil memikirkan semua masalah ini dan aku mulai tenang. Cairan bening berwarna putih dan kuning berbaur di sekitar mulutku. Mataku menangis tapi aku berpura-pura tidak merasakannya. Kenapa semua ini terjadi begitu saja? Begitu cepat. Tanpa jeda. Kemanapun aku melangkah rasanya seperti masalah selalu membuntutiku dan aku tidak bisa melepaskan diri dari mereka.

Berkali-kali aku sempat berpikir untuk mencari pisau dan merobek nadiku dan mengakhiri ini semua sekaligus.
Setiap kali aku menyeberang atau melihat mobil lewat, yang ada di dalam pikiranku hanyalah berlari dan menyerbunya. Berharap dengan begitu aku dapat menyelesaikan ini semua.
Dan kali itu aku juga tidak luput akan keinginan untuk melompat dari jurang itu. Dorongan alkohol yang remang-remang aku rasakan membuat keinginanku semakin kuat.

Pikiranku kembali kepadaku dan membuat migrainku semakin parah. Aku duduk di samping Fatih dan mengusap wajah dengan dua tangan. “Maaf.” Gumamku. Keheningan di sekitarku membuatku semakin gelisah. Tidak ada lagi yang mengobrol seperti tadi. Helaan nafasku semakin terasa kentara karena ditunjang dengan keheningan yang ada. Semua perhatian tersedot ke arah kami bertiga. Rasanya ingin sekali aku menangis disana jika aku tidak memikirkan wibawaku dihadapan semua anak buahku. Rasa terbuang ini membuatku muak.

Jam 1 siang. Teman-temanku panitia katalog masuk ke dalam aula dan mengikuti rapat. Sementara panitia wisuda memilih untuk menunggu di luar ruangan. Bukan berharap dipanggil. Kami hanya berusaha menguatkan teman-teman kami yang sedang berjuang di dalam sana.

Nama baikku juga sedang aku perjuangkan diam-diam disini. Tapi mengingat luapan emosiku tadi, semuanya terasa seperti menyentuh angka 0 dan -1.

Tiba-tiba namaku terpanggil. “Illia tidak hadir? Tidak masuk hari ini?” suara dari orang yang sejak dulu sudah aku anggap ayah sendiri. Yang tidak dapat aku pungkiri beberapa hari yang lalu sempat marah besar secara pribadi kepadaku dan Faiz meskipun itu bukan kesalahanku. Suara itu membuat perutku bergejolak dan mengangkat tangan secara otomatis, lupa bahwa sekarang aku ada di luar ruangan. “Illia mana?” beliau memanggil namaku sekali lagi. Namaku. Bukan Argo sebagai ketua panitia. Bukan Fatih sebagai aktivis yang ada di dalam ruangan. Aku.

Aku terperanjat dan berdiri. Kepalaku mengintip ke balik pintu dan menarik perhatian dari guru yang memanggilku. “Kemarilah, nak. Sedang apa kau di luar sana?” beliau bertanya penuh kebingungan. Kebingungan atau basa-basi?

“Tadi ada yang mengatakan kepada salah satu dari kami bahwa kami tidak dibutuhkan, pak. Jadi kami memilih untuk menunggu di luar ketimbang kami dirasa mengganggu.” Aku menancapkan tiga suku kata terakhir kepada guru yang tadi dapat dikatakan mengusir kami yang duduk di samping beliau. Guru itu hanya melihatku dan melotot. Yang aku balas dengan tatapan menantang. Daguku terangkat. Terdengar sedikit dengungan karena pernyataan yang aku lontarkan.

Dari pemanggilan nama itulah aku memulai rutinitasku seperti biasanya. Menjelaskan kepada guru-guru yang membutuhkan penjelasan tentang survey-survey pasar yang telah panitia lakukan belakangan ini. Bertanya-jawab dengan beberapa orang tentang konsep yang sedang kami rancang untuk acara kami. Memberikan saran dan masukan yang dominan selalu diterima dengan baik oleh mereka.

Tuhan, jika engkau memang menciptakan dan menghendaki manusia berbuat jujur, kenapa selalu ada kebohongan dan topeng kemunafikan yang membuat kejujuran itu terlihat sebagai onggokan sampah tak terpakai diantara kami?

Sampai akhirnya saat yang kami nantikan sejak tadi tiba. Penyelesaian konflik batin antara siswa dengan beberapa staff dalam sekolah.

Baru saja kelima panitia katalog dan satu desainer berjalan ke depan dan hadirin sudah berkonfrontasi sambil menunjuk-nunjuk mereka tanpa ampun. Sebesar inikah masalahnya? Batinku terkoyak mendengar kata “ya” terlintas perlahan dalam otakku.

Semua penjelasan dari sang ketua panitia membuat guru-guru diam. Entah karena memberikan kesempatan untuk berbicara ataukah karena mereka benar-benar meresapi. Tapi aku mendapati salah satu peserta rapat berdiri dan meluapkan emosinya. Matanya melotot, menandakan emosi yang tidak terbendung. Bibirnya mengeluarkan bentakan yang setahuku tidak pernah aku dengar selama aku mengenal beliau.

Guru agama yang duduk di sampingku berdiri dan angkat bicara. Beliau, yang terkenal sebagai orang paling sabar yang pernah mengajar di sekolahku, bahkan ikut bersuara.

“...saya pribadi benar-benar kecewa atas apa yang telah kalian buat. Apakah saya belum pernah mengajarkan kalian apa itu norma dan moral?...” kilasan kata-kata yang aku dengar benar-benar membuat aku tertunduk. Kapan ini berakhir, Tuhan?

Salah satu guru tertua ikut berbicara. Aku tahu, ketika beliau berbicara pastilah pokok permasalahan akan terbahas tuntas dalam sekejap. Aku menguatkan hatiku untuk menatap wajah beliau yang penuh guratan emosi. Wajahnya tidak tampak cantik seperti biasanya. Wajahnya melukiskan, apa istilahnya? Luka?

“Saya tahu, nak. Kalian-kalian itu adalah murid-murid kami yang paling baik, cantik, ganteng, cerdas, anak-anakku...” benarkah itu yang kau pikirkan tentang kami, ibu? Dalam sekejap aku kembali tertunduk dan langsung menangis dalam diam. Tanganku kembali bersilang di dada dan memijat tulang hidungku. Lebih karena ingin menyembunyikan airmata yang mulai menetes deras.
“Dan anda, Siswanto. Pernahkah anda berpikir dalam pembuatan desain itu? Anda sebagai anak Ambalan seharusnya tahu benar tentang simbol sekolah yang tidak boleh sembarangan diolah...” sisa kata-katanya terlalu miris untuk aku ingat. Tangisku semakin deras dan aku terisak. Disampingku, Nanda menghadap ke arahku dan mengusap-usap pundakku, berusaha menenangkanku.
“...saya tahu, mbak, mas, kalian itu top-topnya OSIS. Saya tahu. Itulah kenapa kalian ada disini sekarang.” Mendengar organisasi itu disebut, hatiku kembali terkoyak. Haruskan menghubung-hubungkan permasalahan ini dengan organisasi yang telah membangkitkan namaku di seantero kota?

Semua kata-kata kekecewaan diwakilkan oleh satu puisi karangan para guru. Puisi yang benar-benar menggambarkan emosi dan perang dingin selama beberapa hari ini. Puisi yang seakan berusaha merobek pertahanan terakhirku untuk tidak berlari ke depan, menyambar mic, dan bertanya kepada mereka semua apa hubungan antara masalah ini dengan panitia wisuda yang jelas-jelas tidak ada sangkut pautnya? Kenapa kami ikut disalahkan? Padahal kami bahkan tidak tahu menahu tentang permasalahan ini sebelum permasalahannya meledak!

Tapi aku kembali terdiam. Topengku kembali terpasang. Aku mendapati diriku tetap duduk manis sambil menahan isak yang semakin dalam memikirkan ini semua. Persetan dengan orang-orang yang melihatku dengan tatapan cih-air-mata-buaya dan memalingkan muka.

Ya, well, jujur dari dalam hatiku aku menghormati mereka. Sungguh. Meskipun tidak sedikit dari mereka sangat menjengkelkan dan menyusahkan. Tapi aku selalu menghormati mereka sebagai guruku dan menaruh salut tersendiri dengan cara mereka mengajar kami. Toh juga tidak mungkin jika tidak ada yang menjengkelkan dalam sekelompok manusia, bukan? Itu semua mengajariku toleransi.

Tapi masalah ini benar-benar menguras pemikiranku tentang mereka. Meskipun pada akhirnya aku tetap berusaha menaruh hormatku terhadap mereka yang bahkan aku lihat sedang berkonfrontasi sambil berdiri dan raut wajah penuh pancaran murka.

Aku sampai dirumah saat petang. Seperti dugaanku, tanpa komunikasi denganmu pun hariku akan tetap berjalan dengan cepat jika dialih-fokuskan. Semoga ini dapat berlangsung lama.

Setidaknya itu harapanku, sebelum akhirnya aku membuka BBM dan kau mengomentari salah satu Private Message yang aku buat.

“Aku bukan milik siapa-siapa, Il. Aku milik Tuhanku.”

Nonsense. Kau –mungkin- memang bukan milik siapapun, tapi hatimu miliknya. Bukan begitu?

Segala percakapan mulai mengalir. Percakapan yang menyudutkanku. Secara kebetulan anjing yang dipeliharanya mati tepat di malam kami bertengkar. Aku tidak dapat menyalahkannya kalau rasa duka itu masih ada di hari kedua. Tapi mengabaikanku itu hal lain.

Aku mendapat perasaan kau hanya menghindari topik ini. Tidak memiliki jawaban, sayang? Takut segalanya terbongkar sekarang? Saat dia hanya menggantungkanmu dan kau butuh tempat berlari sementara—aku. Kau takut tempat berlarimu hilang?


“DPnya mantanmu bagus tuh. Haha” aku mulai memancingmu. Tidak. Aku langsung menumpahkan segala kenyataan di depanmu.

“Gak peduli.”

Lalu? Aku harus bagaimana agar kau peduli? Kau tidak peduli karena kau sedang berduka atau kau memang menghindari kenyataan, Adi?

Ini konyol. Siapa yang seharusnya terluka disini? Haruskah aku kembali berpura-pura baik-baik saja seperti biasanya dan diam sambil menahan sakit?

Seperti biasa, aku selalu tertidur saat hari telah berganti dan terbangun dengan mata berdenyut karena lelah. Rutinitasku (minus berkontak denganmu) berjalan seperti biasa. Topeng yang aku kenakan begitu sempurna. Tidak akan ada yang mengetahui bahwa sebenarnya aku sedang mengalami guncangan-guncangan itu. Tidak boleh ada yang tahu. Ke-tahu-an mereka akan hal ini hanya akan menambah rasa kecewaku karena kesalahan mereka dalam memahami permasalahan yang ada.

Setidaknya di hari Rabu itu ada sedikit pelipur lara. Semua guru yang menjalankan diam seribu bahasa kepada kami, panitia wisuda, telah mulai mengikutsertakan kami dan mengajak kami berbicara. Berani bertaruh rasanya seperti akan melayang karena ada beban yang terlepas dalam diriku. Sungguh rasanya luar biasa, bahkan setelah melewati pagi yang menegangkan dan diobati dengan keputusan untuk cuti selama satu hari (yang ditolak mentah-mentah oleh Argo, meskipun akhirnya aku tetap pergi setelah memastikan semua agenda hari itu telah dibereskan). Tapi sore harinya aku kembali ke sekolah dan membantu tiga panitia yang masih tinggal di sekolah serta bapak-ibu guru yang masih ada disana. Argo dan Fatih tidak ada disana, aku mendapatkan laporan mereka telah pulang beberapa menit setelah aku pulang. Apa-apaan ini?

Lagi-lagi aku pulang petang. Malam menyambutku saat aku menginjakkan kaki di teras rumah. Tanpa menunggu apapun aku berganti pakaian dan tertidur. Terlalu lega untuk memikirkan masalah lain, baik itu suasana rumah ataupun dirimu.


5 Juni 2014

Tapi keesokan harinya aku mendapatkan kejutan lain.

Kau. Bersamanya. Berdua. Kemanapun kaki kalian melangkah. Di lingkup sekolah. Dan menyadari aku ada disana. Menatap kalian dengan rasa tidak percaya dan berusaha tidak peduli.

Hatiku menjerit. Tapi logikaku berkata tegas. He’s not yours anymore, Illia.

Ya. Dia bukan milikku lagi. Well, dia dulunya milikku tapi wanita jalang itu merebutnya dariku. Terima kasih, sahabat. Jika ada kata-kata yang dapat aku katakan kepadamu, terima kasih adalah hal pertama yang akan aku katakan. Jika kau menginginkan bonus, aku tidak keberatan untuk menampar wajahmu dan meninju senyum munafikmu itu.

Memikirkan dan menanti rapat yang akan diadakan pukul satu siang sudah cukup memacu adrenalinku. Ditambah semua persiapan wisuda yang dibutuhkan. Dan ditambah sentuhan terakhir; melihat kalian terus menerus bersama sepanjang hari. Otakku kacau. Kesibukan terus menemaniku hari itu. Dan diam-diam aku sangat berterima kasih karenanya. Dengan begitu setidaknya aku tidak sempat memikirkan kalian yang sedang berduaan disana tanpa peduli bagaimana perasaanku tentang itu semua.

Brengsek.

Hatiku terus memaki detik demi detik. Tanpa ampun. Semua kesibukan berbaur dengan suasana hatiku yang tidak dapat aku toleransi lagi. Pekerjaanku kacau. Dan semua itu ditutup dengan rapat besar bersama beberapa pengurus OSIS, Ambalan dan Paskibra.

Di tengah rapat aku selalu mondar-mandir kesana-kemari untuk menjelaskan kepada beberapa pihak yang terlibat namun kurang mengerti, seperti biasa. Hampir tidak terhitung saat aku juga maju ke depan untuk menanyakan dan berdiskusi langsung kepada para guru yang memimpin rapat tentang konsep-konsep yang kurang sejalur dan agak mengganjal.

Ketika tiba giliranku untuk mendiskusikan masalah kesekretariatan tentang daftar tamu undangan, aku maju ke depan dan berdiskusi dengan Sekretaris dari pihak sekolah. Aku duduk dengan santai dan mendiskusikan siapa-siapa yang akan kita undang di acara wisuda tahun ini selama beberapa menit.

Dan ketika aku berdiri untuk undur diri kembali ke tempat dudukku di belakang, rasanya seperti ada palu gada yang diayunkan ke tengkukku sekeras mungkin. Aku kaget setengah mati melihatmu bersama dengannya, di hadapanku, di parkiran motor. Bisa kalian tebak? Ya. Mereka pulang bersama.

Kau melihatku. Tatapan tanpa emosi. Datar. Dingin. Tatapan yang selalu membuat sesuatu bangkit dari dalam diriku. Seperti sekarang.

Mataku kembali panas. Tapi aku mengerjap. Sedetik kemudian aku mendapati diriku mengatakan “Terima kasih, pak. Selamat siang.” Dan kembali berjalan ke tempat duduk. Topeng yang hebat, Illia. Ketika aku duduk, aku mendengar suara motor yang melaju kencang dari sisi kananku dan aku hanya memejamkan mata.


Kau memang seperti Lucifer. Kejam. Arogan. Selalu mendapatkan apa yang kau inginkan.

0 suara netizen:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More