About Me

Thesalonika Olga Valitha Briliane | 23 y.o | Indonesian | Swiftie | @__tukangmaido | Love Green, Like Mango | Jesus Christ

Minggu, 13 Juli 2014

Tanpa Dirimu, Aku Bukan Diriku Yang Sekarang *chapter 5





He’s a boy.
He saw.
He liked.
He talked.
He chased.
He catched.
He got.
He loved.
He kissed.
He took everything.
He get bored.
He found new.
He left.
I died inside.

 I’m a girl. 
I will smile.
I will be chased.
I will fall.
I will be treated.
I will be hurted.
I will forgiving.
I will be cheated.
I will forgiving.
I will waiting.
I will hoping.
I will be broke.
I will forgiving.
But at least, I will get up.


But don’t think like Imma fool. If you want to know, boy, I’ll tell you something. Imma different kinda girl. So, don’t play the stupid things with me or you will get the truth that the loser of the game is only you.
Don’t think that I’m like the other girls. Easy to catch. Easy to get. Easy to toss.
I just remind you, maybe you will face up the truth that you can’t have me and the white flag will be getting up before you realize that you lose, loser.

“She’s just like a butterfly. Awesome to see, but hard to catch.” – Annonymous.


30 Mei 2014
“Kau harus melihatnya!” semua orang menarikku berdiri dari kursi itu. Tapi aku hanya bergeming.
Berita yang aku dengar rasanya telah berlalu selama beberapa jam, padahal baru sekitar 3 detik yang lalu aku mendengar semua kenyataan itu.
3 detik. Jantungku serasa kehilangan detaknya. Aku bisa merasakan tanganku yang tiba-tiba dingin. Aku bahkan berani bertaruh wajahku mungkin saat itu telah pucat pasi. Apakah ini kenyataan yang harus aku hadapi?

Setelah sekian lama kita bersama. Setelah aku percaya dia telah berubah menjadi orang yang lebih baik. Yang aku terima untuk menjadi kenyataan hanya dia dan mantannya (yang notabenenya adalah orang yang dulunya adalah sahabatku) sedang berjalan di red carpet prompnite, bersama, bergandengan dengan mesra, berfoto dan mengobrol.

“Mami don’t cry!” salah satu sahabatku berteriak. Aku hanya tertawa dan menepiskan tanganku seperti mengatakan “Imma fine”. Tapi perbuatan itu ternyata hanya membuat air mataku tumpah.

“Apa perlu aku datangi dia dan wanita itu lalu menamparnya untukmu?” sahabatku yang lain menanyakan. Oh, yes dear. It sounds great. Cepatlah lakukan itu untukku. Tampar mereka berdua!
“Tidak perlu. Jika itu membuat mereka senang, biarkan saja.”
“Jangan bodoh! Mereka memang senang, tapi aku mendapati sahabatku disini sekarang sedang hancur! Bangsat!” sahabatku mengumpat. Belum pernah aku melihat mereka segusar itu.

“Sudahlah, mi. Jangan sedih.” Aku hanya diam. Tangisku makin tidak terkendali. “Jangan menangis terus. Aku tidak ingin riasanmu luntur, please!” aku bahkan tidak ingat aku telah memakai make-up beberapa menit yang lalu di lantai dua gedung sekolah. “Apa kau... benar-benar mencintainya?” lebih dari yang kau pikirkan, dear. Lebih dari yang dapat kau bayangkan.

Ketika kau telah dicintai dan mencintai sedemikian rupa, rasa cinta itu akan terus membekas di dalam dirimu. Ketika rasa sakit dan luka telah ditancapkan ke dalam hatimu, luka itu tidak akan pernah hilang. Yang dapat kau lakukan hanyalah berusaha merawatnya agar cepat sembuh dan menutup bekasnya. Tutuplah dengan rapat dan jangan sampai terlihat. Tutup dengan apapun yang kau punya.


Aku memutuskan untuk menutup diri. Aku keluar dari lingkungan sekolah, lebih karena jengah merasakan atmosfer ruangan yang telah berubah. Aku mengambil dompet dan dua ponselku lalu pergi mencari minuman di toko dekat sekolah. Aku duduk disana dengan posisi paling nyaman dan aku menghela nafas. Andaikan yang ada di dalam genggamanku adalah vodka, aku yakin hatiku akan merasa lebih baik. Tapi ada orang bodoh semacam dua sahabatku yang dengan bodohnya justru menjemputku keluar dan menarikku ke dalam dengan cara menyita ponsel dan dompetku. Aku masuk. Dan mendapati atmosfer ganjil itu kembali memerangkapku disana. Teman-temanku berpasang-pasang. Tidak dapat dipungkiri hal itu hanya membuatku jengah. Aku iri? Tidak. Tapi ketidakpedulian mereka terhadapku yang membuatku muak. Salah satu dari mereka bahkan ada di pojok dan seakan siap berpagut. Membuatku memutar bola mata dan mendengus.

“Mami makan?” temanku menawariku. Yang aku balas hanya dengan senyuman dan gelengan.

Beberapa menit aku lalui hanya dengan berdiri, berjalan mengitar, dan akhirnya aku putuskan untuk berdiri di kamar mandi wanita hanya untuk mencharge ponselku selama hampir satu jam. Persetan dengan mereka yang melirikku dengan kecurigaan dan pandangan menyindir ataupun bertanya-tanya. I’m a student in here. I paid for this event. And truly I don’t care about what they are going to say about me anymore.

Aku melirik ponselku, sudah jam 10 malam ketika aku memutuskan untuk pergi dari sana dan mencari stopkontak baru di koperasi dan akhirnya berganti pakaian.

Aku menanggalkan tampilan ‘wanita’ku dan kembali menjadi seorang ‘perempuan’ sebelum akhirnya aku memutuskan untuk menghilang ke koperasi, membuat semua orang kebingungan mencariku. Pukul setengah 11 malam, aku memutuskan untuk pergi dari sana. Aku keluar dari koperasi dan mendapati teman-temanku bergerombol di sisi kananku. Aku mengambil arah ke kiri dan menghilang ke dalam gelap. Ketidakpedulianku terhadap mereka berbanding lurus dengan tingkat ketidakpedulian mereka terhadap perasaanku hari ini. Persetan dengan kata-kata egois, childish, or whatever bullshit they’d said.

Di gerbang aku bertemu dengan Rycho, yang sejak tadi aku cari keberadaannya. Aku memukulnya habis-habisan. Aku histeris di tempat seperti orang gila sebelum akhirnya aku tertawa seperti orang gila dan mengajak orang gila di hadapanku ini untuk menarikku pergi dan mengantarkanku ke restaurant fastfood terdekat.

Kami berhenti di tengah perjalanan dan aku turun dari motor. Aku menceritakan semua kepadanya detik itu juga. Airmataku hampir tumpah tapi aku menahannya. Tidak mungkin aku menangis dihadapan Rycho, aku bisa jadi bulan-bulanannya setelah ini!

“Lebih baik kau pulang. Kau itu perempuan. Segalau apapun suasana hatimu sekarang, ini sudah malam. Tidak mungkin kau pulang lebih larut daripada ini!” dia memarahiku habis-habisan begitu tahu rencanaku untuk menghabiskan malam itu diluar rumah. Terkadang aku heran siapa yang bertindak sebagai kakak di dalam kehidupan kami berdua.
Aku hanya diam. Dia tahu aku tidak akan pulang meskipun saat itu dia sendiri yang akan mengantarkan aku pulang. Sifat keras kepalaku sudah dipahaminya sejak pertama kali kami berteman.
“Aku harus kembali.” Dia memakai helm. “Banyak pekerjaan yang masih tertinggal di sekolah.” Dia menaikkan standart motor dan menegakkan motornya. “Cepatlah pulang dan jangan berbuat gila.” Terdengar suara mesin yang menyala. “Aku akan mengabarimu nanti ketika aku sudah di rumah.” Dia memutar motornya dan melaju. Tapi tiba-tiba aku melihat dia berhenti mendadak dan berbalik badan. “Dan jangan mencoba untuk menangisi hidupmu lagi!” lalu dia pergi.

Terkadang aku lebih menyukai persahabatan dengan laki-laki ketimbang perempuan. Mereka benar-benar pendengar yang luar biasa. Dan mereka jarang bergosip.

Aku menunggu sampai Rycho menghilang dan aku menuju minimarket terdekat. Kakiku langsung tahu alur mana yang harus aku ambil. Jangan kau kira aku akan langsung menuju fastfood itu dan membeli float atau softdrink untuk temanku malam itu.

Tertera tulisan “RUSAK” besar-besar di depan mesin pendingin minuman itu. Aku mengumpat dalam hati. Itu artinya tidak akan ada minuman dingin hari ini. Hatiku menimang-nimang selagi tanganku dengan lihai mencari apa yang aku butuhkan. Sudah lama sejak terakhir aku mencari temanku yang satu ini. Pikiranku berputar saat pertama kali aku mencoba minuman ini. 17 Agustus 2012. Hari dimana aku tahu aku tidak akan bertemu dengan pujaan hatiku sesering biasanya lagi karena event yang kami kerjakan telah berakhir. Orang yang berhasil membuatku bangkit dari keterpurukan patah hati. Dan aku mendapati hari itu adalah satu dari sejuta hari terindah dalam hidupku.

Bit Apple dengan botol kaca berhasil menarik perhatianku dari kaleng putih dan lambang bintang di atasnya. Badanku langsung berputar menuju kasir, membayar dan keluar dari sana. Menghindari tatapan curiga dari kasir itu.
Dan aku menyesali keterburu-buruanku.
Salah satu teman seangkatanku (beda kelas) sedang memarkir motornya tepat dihadapanku dan memandang bingung ke arahku dan ke tanganku yang sedang menggenggam botol kaca. Aku tersenyum dan melangkah cepat. Dia hanya tersenyum dan menyapa tapi aku hanya berlalu, meskipun aku tahu dia dengan terang-terangan menoleh dan melihatku dengan curiga sampai aku menghilang di belokan.

Kakiku melangkah cepat sampai membuat tasku berayun. Sial. Bahkan ketika aku sedang ingin sendiri seakan semua orang mengenalku.

Dalam waktu beberapa menit aku telah duduk di sudut favoritku. Aku langsung menancapkan charger di stopkontak dan membanting tasku ke meja. Helaan nafas pertama yang terlalu keras membuat pasangan di belakangku menoleh ke arahku. Aku tidak peduli. Saat itu aku tidak peduli akan apapun. Bahkan ketika aku masuk ke dalam restaurant itu dan mendapatkan tatapan menyelidik dari sekelilingku.

Tanktop putih ketat, yang aku akui membuat bra ku terlihat jelas di baliknya. Jaket jeans setengah pinggang, membuat lekuk pinggang dan pinggulku terlihat jelas. Celana jeans pensil ketat. Sandal jepit. Tas ransel besar. Rambut berantakan. Eyeliner yang masih tersisa. Tangan menggenggam botol kaca asing dengan tulisan grafity menyelubunginya. Selama sepersekian detik aku dapat merasakan tatapan dari sudut yang menusuk tengkukku. Aku menoleh dan melihat seorang pria sedang melihat ke arahku sambil memainkan rokoknya. Shit.

Aku mengikat rambutku menjadi bentuk ekor kuda. Ponselku sejak tadi sudah bergetar tanpa henti karena telepon dari teman-temanku yang mengajak pulang. Aku memasukkan ponsel berwarna hijau itu ke dalam tas. Caraku membuka botol bit apple itu berhasil membuat pasangan di belakangku kembali menoleh. Meja yang kutempati sekarang memiliki bekas congkelan tutup botol dipojokannya yang aku yakin akan menjadi kenangan tersendiri untukku suatu saat nanti jika aku kembali kemari.
3 tegukan langsung, dan aku berani bertaruh pasangan di belakangku membuat suara aneh dan sekarang sudah benar-benar melihat tanpa ragu ke arahku.

Jam di tanganku menunjukan pukul 11 malam lebih 15 menit. Tapi membayangkan rumah menjadi tempat tujuanku selanjutnya ada di daftar keinginanku yang paling bawah. Aku membuka ponsel hitamkuku yang sedang aku charge. Bbm dari teman-temanku. Read. Tapi tidak akan aku reply. Otakku kosong. Aku seperti kehilangan arah. Kehilangan arah atau kehilangan seseorang?

Pandanganku beralih ke pemandangan di depanku. Terlihat jelas keramaian kota di malam hari. Aku suka melihat pemandangan semacam ini. Terutama jika dari atas. Rasanya seperti hidupku ikut mengalir dan tidak berhenti di tempat. Rasanya seperti bisa berjalan beriringan dengan waktu dan tidak terhenti di suatu masa. Rasanya seperti tidak perlu menunggu untuk menyembuhkan suatu luka. Poof, beberapa detik saja luka itu sudah hilang.

Tapi ketika aku menutup mataku semua kelebatan tentang kita kembali menyerbu, sayang. Aku memejamkan mataku dengan berlebihan dan menenggak minuman di tanganku.
Kau mendengarku, sayang? Pernahkah kau memikirkan perasaanku kepadamu sejak pertama kali kita saling mengenal?

Dulu kau yang memperkenalkan aku kepada cinta dan segala keindahan di dalamnya. Kau yang memaksaku akrab dengan perasaan yang indah dan agung itu. Kau membuatku tidak dapat berpisah dengan cinta. Kau membuat kami berdua dekat seperti kakak-adik yang tidak dapat terpisahkan.

Lalu suatu hari, dengan satu pesan singkat, kau mengambil cinta dari sisiku. Kau membuat aku kehilangan teman bermain. Kau membuatku kehilangan kakak terbaik dalam hidupku. Dulu ketika aku menolak untuk mengenal cinta, kau merayuku dan mengatakan bahwa kami akan menjadi teman yang luar biasa. Tapi kini? Apa yang kau perbuat? Kau merenggutnya dariku dan membuat aku kesepian, sayang.

Suatu hari aku bertemu dengan seseorang yang menyadarkanku bahwa hidup bukan saja berisi cinta. Ada banyak impian yang harus ditata dan diwujudkan. Ada banyak hal yang harus dikejar dan dinantikan. Cinta hanya bumbu kecil didalamnya. Seperti garnish, jika semua sudah lengkap, masukkan cinta ke dalamnya. Dan hidupmu akan sempurna.

Tapi tidak. Aku tidak akan pernah percaya lagi kepada apa yang dikatakan orang lain. Sejak kau memutuskan untuk memberikan cinta kepada orang lain, aku menutup diriku dari semua kata-kata manis yang masuk ke dalam hidupku. Aku jengah dengan kebohongan.

Tapi aku terus menjalani hidupku. Aku berusaha bangkit meskipun bayangan hitam di dalam dadaku terus mengejarku tanpa ampun. Hari demi hari aku memasang topeng yang sama. Segala kelelahan di dalam hatiku berusaha aku alihkan dengan perhatian-perhatian dari mereka kepadaku. Sampai akhirnya aku mulai terbiasa melihat kau bersamanya dan aku menemukan orang yang dapat aku percaya. Kami mulai dekat. Dia membantuku menutup luka yang kau buat. Pesakitan yang aku rasakan semakin lama semakin tidak terasa lagi. Tapi akhirnya kami sama-sama memutuskan untuk berpisah karena perbedaan yang mendasar. Iman.

Aku terjatuh untuk kedua kalinya. Sejak itu aku tidak pernah menjalani hubungan secara serius. Mereka datang dan pergi tanpa ampun. Aku tidak peduli. Luka yang kau buat rasanya tidak pernah tertutup lagi sejak dia pergi. Satu tahun aku lalui dengan terus berlari. Sangat banyak yang menawarkan tempat tinggal untuk singgah, bahkan pulang. Tapi aku memutuskan untuk terus berlari. Aku takut kau akan menemukanku dan menertawakanku karena lukaku yang belum sembuh. Aku takut bertemu denganmu dan segala kepahitan itu akan aku rasakan kembali. Itulah kenapa aku terus berlari dari hari ke hari. Dari bulan ke bulan. Sampai akhirnya di bulan ke-13 aku menemukan tempat tinggal. Tapi tanpa aku sadari, tempat tinggalku terlalu dekat denganmu! Dan akhirnya kau berhasil menemukanku disana.

Namun baru beberapa minggu berlalu aku mendapati diriku telah kembali berlari. Aku sudah terbiasa berlari dalam kesendirian dan aku tidak bisa untuk terus diam. Terus diam di satu hati hanya akan membuatku mengingat semua kenangan saat aku tinggal di dalam hidupmu. Itu menyiksaku.

Sampai akhirnya dia datang. Memberi janji-janji manis yang tentu saja aku tepis seperti biasanya. Tapi kejujuran di dalam matanya berhasil aku temukan. Dan itulah yang membuatku benar-benar jatuh hati kepadanya. Bayanganmu kini telah hilang. Seluruh hidupku diwarnai olehnya dan dirombak menjadi lebih berarti. Meskipun tidak dapat dipungkiri aku selalu tersakiti dalam hubungan itu. Aku tahu. Aku sadar. Tapi entah kenapa kata-katanya terasa tepat. Setidaknya dia tidak pernah mengingkari kenyataan dan selalu jujur kepadaku. Sekalipun kejujuran itu benar-benar seperti tombak untukku. Tapi dengan kejujuran itu hubungan kami terasa lebih nyata. Sifatnya yang apa-adanya tanpa ada kebohongan diantara kami berdua membuatku selalu menjadi diriku sendiri. Meskipun itu artinya aku selalu tersakiti melihat dia selalu menjalin hubungan dengan wanita lain. (read: When It Was You)

Tapi baru beberapa hari kami dekat dan kau datang. Tanpa dosa kau datang dan memohon agar kita kembali bersatu. Aku benar-benar tidak mengerti. Semua terasa kembali menjadi semu. Setelah setahun aku berjuang dan kini kau kembali menarik aku dengan mudahnya?

Luka yang kau buat, mulai dari yang terkecil hingga tiada terkira, semuanya masih berbekas. Menimbulkan pesakitan yang tidak mungkin dapat aku perlihatkan ke permukaan. Membuat aku terus bergerak dengan tertatih meskipun aku berhasil menyamarkannya. Mulai dari yang terkecil. Dan digores lagi. Dan digores lagi. Dan lagi. Membuat setiap partikel pertahanan yang telah aku susun menjadi tidak bermakna dan terkoyak.



Bulan demi bulan aku terus berusaha untuk tetap mengatakan TIDAK. Aku berusaha menolak meskipun di dalam hati aku menjeritkan kata YA. Aku selalu diam dan menahan diri. Setiap kali aku merasakan hatiku mulai berpaling kembali ke arahmu, yang aku lakukan hanyalah mengingat pria lain dan mengalihkan fokus. Hingga tanpa sadar aku telah menjatuhkan diri terlalu dalam kepada pria itu.

Kau memang yang selalu ada. Kau memang yang selalu membuat aku kembali bersinar. Kau yang membuatku tenang setiap kali dia pergi kepada wanita lain. bahkan kau tidak pernah protes ketika aku menyakitimu. Perjuanganmu yang sedemikian rupa yang membuatku luluh. Segala pertahananku runtuh sedikit demi sedikit setiap detiknya. Perlahan tapi pasti aku kembali melihat ke arahmu. Segala rasa sakit yang aku tumpuk selama aku bersamanya terasa seperti terkubur dan tertelan ke dalam lubang bekas lukamu.

Semua terasa seperti saat pertama kali aku berteman dengan cinta. Segala luka yang ada seperti hilang. Yang ada hanyalah bekas keputihan.

Memang di beberapa waktu aku masih sering mengalami traumatis pribadi. Di beberapa moment, aku teringat ketika kau sedang bersamanya. Aku teringat bagaimana kau membuat luka itu ada disana dan mengendap sedemikian rupa. Hal itu membuatku merasakan rasa sakit itu lagi dan takut setengah mati hal itu akan terulang. Tapi aku berusaha menepisnya.

Aku percaya kini kau akan menjagaku. Aku percaya kau tidak akan mengulangi kesalahan di masa lalu kita. Aku percaya kepadamu lagi karena aku juga percaya kau telah berubah menjadi orang yang lebih baik. Kepercayaan yang sejak dulu tidak pernah aku berikan kepada siapapun selain kepadamu dan kepadanya.

Tapi kini aku kembali mendapati diriku menangis di surut ruangan. Dengan cairan putih suci di tanganku. Tatapanku menerawang. Hidupku berantakan dalam sekejap. Haruskah setelah ini aku memercayaimu lagi, ferret? No, let me repeat. Bisakah aku memercayaimu, lagi?

Inikah alasanmu kenapa kau tidak mau bertemu denganku di muka umum? Kau takut dia mengetahui hubungan kita? Inikah alasanmu kenapa selama ini kau tidak pernah menyebut namaku di jejaring sosial? Kau takut dia membacanya?

Pikiranku kembali melayang ke beberapa tahun lalu.
“I love you o***:*”

Status yang kau buat untukku tepat saat kita berpacaran.

Aku memaki. Cukup keras untuk menyebabkan pasangan di belakangku mendesis kesal karena tingkahku yang sejak tadi tidak terkendali.

Semua luka yang berusaha aku tutup terasa kembali menganga. Puncaknya pada hari ini. Ketika aku mempersiapkan semuanya untukmu. Berusaha sebaik mungkin untukmu. Tidak dapat dipungkiri, aku bahkan hampir menitikkan airmata ketika mengatakan kepada Nena bahwa aku takut terlihat memalukan saat prompnite nanti dan membuatmu menjauh. Aku berusaha sebaik mungkin dan yang aku dapatkan adalah aku bersarang di pojokan restaurant fastfood.
Mengenaskan.

“Mami kapan mau pulang?” pikiranku yang telah menjelajah seakan tersedot dan aku tersentak. Aku mendapati Gitta dan Lina berdiri di hadapanku. Di dalam keterkejutanku, Isna mengambil minuman yang ada di tanganku dan mengendusnya.

“Aku bahkan tidak menemukan alcohol disini. Bagaimana menurutmu?” dia menyodorkan botol itu kepada Agung. “Buang ya?” isna bertanya tanpa dosa kepadaku.

“Tentu saja kau tidak akan menemukan alcohol di dalam bit apple, bodoh! Aku masih cukup sadar bahwa alcohol berbahaya untukku malam ini!—”

“Kalau begitu kenapa kau membeli minuman seperti ini?” Yona muncul dibelakangku.

“Itu kan bukan minuman beralkohol. Dan aku menyukainya. Rasanya lebih enak ketimbang softdrink yang lain. Dan apa yang kalian lakukan disini?” aku bertanya dengan alis bertautan.

“Sial. Well, ayo kita pulang.” Isna mengajak mereka pulang dan membawa botolku menjauh.

“Sampai jumpa.” Aku hanya menjawab seadanya. “Dan kembalikan minumanku.”

“Inikah yang kau lakukan? Dipojokan dan minum lalu mengusir orang-orang yang peduli padamu?” Gitta mulai duduk dihadapanku.

Aku meraih kembali botolku dan meminumnya untuk menenangkan diri. “Absolutely, yes. And if you want to know, bastard. I worked for this. Aku bekerja untuk ini dan ini adalah uangku. Aku tidak meminta uang darimu atau ibumu untuk ini. Jadi jangan mengomentarinya dan jangan memprotesnya.” Aku kembali diam. Kalimat terakhir yang dilontarkan oleh Gitta berhasil menyita pikiranku. Peduli? Oh yeah?

“Mami, ayo pulang. Kasian Yona. Ibunya sejak tadi sudah menelepon dan dia tertahan karena kau yang belum mau pulang.” Lina memohon. Matanya mencuri pandang ke arah Yona dan dia setengah tertawa.

Pikiranku tentang teman-temanku yang sedari tadi bingung mencariku dan benar-benar khawatir kepadaku, takut terjadi sesuatu terhadapku, takut aku bertemu dengan orang jahat, takut tidak bisa menemukanku, takut aku melakukan hal gila, semuanya menguap secepat alkohol yang dipanaskan dengan suhu 373 Kelvin.

Ah, ya. Peduli. Benar-benar sahabatku tercinta. Yang kalian pedulikan memang aku, kan? Persetan.

“Kalian bisa pulang.” Aku menjawab seadanya.

“Dan meninggalkanmu sendiri disini?” Yona bertanya.

“Ya.”

“Dan kau akan pulang bersama dengan...” Gitta menunggu aku melanjutkan kalimatnya.

“Lintas malam masih beroperasi.”

“Mami, please! Kau wanita dan pakaianmu bahkan berantakan! Aroma alcohol tercium dari mulutmu setiap kali kau berbicara! Dan kau ingin pulang dengan lintas malam?” Lina membelalak tidak percaya.

“Taksi masih berkeliaran.” Aku masih tenang. Tanganku mengangkat botol itu ke mulutku dan aku menenggaknya. Wajahku dan pandanganku tetap berpaling dari mereka. Kalian menambah luka dan rasa kecewa saja, kalian tahu?

“Dan uangnya?” isna kini ikut bicara.

“I had my money! Jangan kira aku semiskin itu jika bahkan sekarang bit apple ada di tanganku!” nadaku sedikit menyindir. Alisku bertautan mengejek. Di dalam hati aku berusaha mengingat berapa uang yang tersisa di dalam dompetku malam itu.

Mereka diam. Saling mengedarkan pandangan satu sama lain seakan berkata 'bagaimana-kalau-kita-seret-saja-dia-dan-kita-bisa-tidur-nyenyak'.

“Oh, ayolah guys. I’m not a girl anymore. I’m mature enough to go home with myself. Aku bukan lagi seorang perempuan. Aku seorang wanita sekarang.” Aku menekankan beberapa kata dalam kalimatku untuk menegaskan situasi ‘aku-ingin-sendiri’ saat itu.

“Mami,” Gitta memanggilku. Aku bergeming. “,ayo pulang.” Aku mengambil botolku dan kembali menegak isinya. “Pulang, ya? Ayo pulang. Kau bisa membonceng Isna. Simpan uangmu.” Aku melihat mata teman-temanku. Dan aku melihat simpatik yang besar di mata Gitta.

Kenangan kembali menyerbu.

Di sudut yang sama. Tapi di lantai satu. Aku menghabiskan dua botol vodka mix dan sekaleng bintang. Ditemani oleh Gitta. Aku mulai mengoceh panjang lebar saat selesai menghabiskan botol kedua. Gitta disana hanya diam dan merayuku untuk berhenti. Tapi aku tidak mengabulkannya.

Tapi itu sudah sangat lama berlalu. Dan tidak sepatutnya aku disini harus mengingat hal itu kembali.
Aku tahu betul apa yang menyebabkan Gitta begitu merasa kasihan kepada diriku sekarang. Kenangan terakhir itu pasti membuatnya sadar sekarang aku benar-benar hancur, seperti pada hari itu.

Aku kembali melihat mereka. Sangat jelas terlihat bahwa yang benar-benar peduli hanyalah Yonathan dan Gitta di sini.

Terkadang aku berpikir apakah jika aku adalah manusia bodoh dengan IQ dibawah rata-rata mereka akan tetap menjadi temanku? Apakah jika aku bukan salah satu siswa populer, aktivis OSIS terkemuka di Kota Semarang, memiliki banyak relasi ke beberapa perusahaan, kesayangan guru, siswa yang paling berpengaruh dan pendapatnya selalu didengarkan, mereka akan tetap ada disini?

Aku mendapati diriku mendengus, berani bertaruh aku akan membusuk disini dan mati mengenaskan.

Akhirnya aku mengambil nafas besar. Meneguk isi botolku hingga habis. Dan membungkusnya dengan plastik.

“Kalian menang. Ayo kita pulang.”

Kami bertengkar hebat malam itu. Tapi akhirnya keesokan harinya kami berbaikan. Hari-hariku terlalu melelahkan jika harus ditambah dengan pertengkaran kami.

Segala masalah yang ada di dalam hidupku sudah cukup membuatku lelah secara psikis. Aku hanya tidak ingin permasalahan diantara kami semakin membuatku terbebani. Entah mengapa permasalahan kami selalu terasa berbeda. Terlalu berat. Tapi yang aku lakukan selalu berpura-pura seolah itu hanya masalah kecil yang bahkan tidak perlu dibahas dengan teman-temanku.

Tapi baru saja beberapa jam kami berbaikan, malam itu aku merasa ada yang aneh. Sabtu malam minggu. Apakah mereka sedang bersama? Apakah ada sesuatu yang terjadi?

Hatiku menjerit. Malam itu yang aku lakukan hanyalah menangis. Rasa takut kehilangan itu kembali menyerbu tanpa ampun dan membelengguku dalam keheningan malam. Semakin malam dan tangisku semakin menjadi. Apa yang terjadi? Firasat dalam hatiku seolah berbunyi nyaring.

Secara perlahan tapi pasti lubang hitam itu kembali terbuka. Ketakutan di masalalu yang telah aku usir dengan susah payah kembali dalam satu malam. Tidak ada apapun yang terjadi, Illia. Otakku meyakinkan. Tapi hatiku terus tersedu tanpa henti.

Inikah rasa takut kehilangan?

Dulu mungkin aku tidak menyadarinya. Dulu, ketika kau belum mengajariku bagaimana rasanya kehilangan itu. Ketika aku kira hubungan kita baik-baik saja, meskipun saat itu rasanya sama seperti ini. Persis seperti ini. Tapi aku belum mengerti apapun.

Dan kini aku menyadarinya. Inikah rasa takut kehilangan itu? Inikah rasa takut ditinggalkan?

Aku hanya bisa menjawab “Nothing. I’m fine” kepada semua orang. Bagaimana bisa aku bercerita tentang sesuatu yang bahkan tidak aku mengerti? Yang aku tahu hatiku ketakutan setengah mati tanpa ada sebab. Dan yang aku yang aku tahu itu menakutkan.

Malam itu aku tidak bisa tertidur. Aku mencari aspirin dan aku mendapati kotak obat tidak memilikinya. Aku mengumpat kesal. Dan memutuskan mengambil Antimo.

4 butir cukup. Dan aku berusaha tertidur.

Lagi-lagi lubang hitam tanpa dasar itu menyita pikiranku dan aku kembali menangis. Ada apa sebenarnya?

30 menit aku menunggu dan aku tetap tidak bisa memejamkan mata. Aku kembali mengambil 3 butir dan menelannya. 15 menit kemudian aku terlelap. Tidak menyadari akan apa yang telah aku telan.

Baru satu jam aku tertidur dan aku kembali terbangun. Mendapati diriku melayang dan pandangan tidak terfokus. Oh, shit.

Pengalaman sebagai anak KAPPA (Kesatuan Pelajar Anti Narkoba) bahkan tidak bisa membuatku belajar mengingat dampak overdosis.

0 suara netizen:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More