He’s
a boy.
He saw.
He liked.
He talked.
He chased.
He catched.
He got.
He loved.
He kissed.
He took everything.
He get bored.
He found new.
He left.
I died inside.
I’m
a girl.
I will smile.
I will be chased.
I will fall.
I will be treated.
I will be hurted.
I will forgiving.
I will be cheated.
I will forgiving.
I will waiting.
I will hoping.
I will be broke.
I will forgiving.
But at least, I will get
up.
But don’t think like
Imma fool. If you want to know, boy, I’ll tell you something. Imma different
kinda girl. So, don’t play the stupid things with me or you will get the truth
that the loser of the game is only you.
Don’t think that I’m
like the other girls. Easy to catch. Easy to get. Easy to toss.
I just remind you, maybe
you will face up the truth that you can’t have me and the white flag will be
getting up before you realize that you lose, loser.
“She’s just like a butterfly. Awesome to see, but hard to catch.” – Annonymous.
30 Mei 2014
“Kau harus melihatnya!”
semua orang menarikku berdiri dari kursi itu. Tapi aku hanya bergeming.
Berita yang aku dengar
rasanya telah berlalu selama beberapa jam, padahal baru sekitar 3 detik yang
lalu aku mendengar semua kenyataan itu.
3 detik. Jantungku
serasa kehilangan detaknya. Aku bisa merasakan tanganku yang tiba-tiba dingin.
Aku bahkan berani bertaruh wajahku mungkin saat itu telah pucat pasi. Apakah
ini kenyataan yang harus aku hadapi?
Setelah sekian lama kita
bersama. Setelah aku percaya dia telah berubah menjadi orang yang lebih baik.
Yang aku terima untuk menjadi kenyataan hanya dia dan mantannya (yang
notabenenya adalah orang yang dulunya adalah sahabatku) sedang
berjalan di red carpet prompnite, bersama, bergandengan dengan mesra, berfoto
dan mengobrol.
“Mami don’t cry!” salah
satu sahabatku berteriak. Aku hanya tertawa dan menepiskan tanganku seperti
mengatakan “Imma fine”. Tapi perbuatan itu ternyata hanya membuat air mataku tumpah.
“Apa perlu aku datangi
dia dan wanita itu lalu menamparnya untukmu?” sahabatku yang lain menanyakan. Oh,
yes dear. It sounds great. Cepatlah lakukan itu untukku. Tampar mereka berdua!
“Tidak perlu. Jika itu
membuat mereka senang, biarkan saja.”
“Jangan bodoh! Mereka
memang senang, tapi aku mendapati sahabatku disini sekarang sedang hancur!
Bangsat!” sahabatku mengumpat. Belum pernah aku melihat mereka segusar itu.
“Sudahlah, mi. Jangan
sedih.” Aku hanya diam. Tangisku makin tidak terkendali. “Jangan menangis
terus. Aku tidak ingin riasanmu luntur, please!” aku bahkan tidak ingat aku
telah memakai make-up beberapa menit yang lalu di lantai dua gedung sekolah.
“Apa kau... benar-benar mencintainya?” lebih dari yang kau pikirkan, dear.
Lebih dari yang dapat kau bayangkan.
Ketika kau telah dicintai dan mencintai sedemikian rupa, rasa cinta itu akan terus membekas di dalam dirimu. Ketika rasa sakit dan luka telah ditancapkan ke dalam hatimu, luka itu tidak akan pernah hilang. Yang dapat kau lakukan hanyalah berusaha merawatnya agar cepat sembuh dan menutup bekasnya. Tutuplah dengan rapat dan jangan sampai terlihat. Tutup dengan apapun yang kau punya.
Aku memutuskan untuk
menutup diri. Aku keluar dari lingkungan sekolah, lebih karena jengah merasakan
atmosfer ruangan yang telah berubah. Aku mengambil dompet dan dua ponselku lalu
pergi mencari minuman di toko dekat sekolah. Aku duduk disana dengan posisi
paling nyaman dan aku menghela nafas. Andaikan yang ada di dalam genggamanku
adalah vodka, aku yakin hatiku akan merasa lebih baik. Tapi ada orang bodoh
semacam dua sahabatku yang dengan bodohnya justru menjemputku keluar dan
menarikku ke dalam dengan cara menyita ponsel dan dompetku. Aku masuk. Dan
mendapati atmosfer ganjil itu kembali memerangkapku disana. Teman-temanku
berpasang-pasang. Tidak dapat dipungkiri hal itu hanya membuatku jengah. Aku
iri? Tidak. Tapi ketidakpedulian mereka terhadapku yang membuatku muak. Salah
satu dari mereka bahkan ada di pojok dan seakan siap berpagut. Membuatku memutar
bola mata dan mendengus.
“Mami makan?” temanku
menawariku. Yang aku balas hanya dengan senyuman dan gelengan.
Beberapa menit aku lalui
hanya dengan berdiri, berjalan mengitar, dan akhirnya aku putuskan untuk
berdiri di kamar mandi wanita hanya untuk mencharge ponselku selama hampir satu
jam. Persetan dengan mereka yang melirikku dengan kecurigaan dan pandangan
menyindir ataupun bertanya-tanya. I’m a student in here. I paid for this event.
And truly I don’t care about what they are going to say about me anymore.
Aku melirik ponselku,
sudah jam 10 malam ketika aku memutuskan untuk pergi dari sana dan mencari
stopkontak baru di koperasi dan akhirnya berganti pakaian.
Aku menanggalkan
tampilan ‘wanita’ku dan kembali menjadi seorang ‘perempuan’ sebelum akhirnya
aku memutuskan untuk menghilang ke koperasi, membuat semua orang kebingungan
mencariku. Pukul setengah 11 malam, aku memutuskan untuk pergi dari sana. Aku
keluar dari koperasi dan mendapati teman-temanku bergerombol di sisi kananku.
Aku mengambil arah ke kiri dan menghilang ke dalam gelap. Ketidakpedulianku
terhadap mereka berbanding lurus dengan tingkat ketidakpedulian mereka terhadap
perasaanku hari ini. Persetan dengan kata-kata egois, childish, or whatever
bullshit they’d said.
Di gerbang aku bertemu
dengan Rycho, yang sejak tadi aku cari keberadaannya. Aku memukulnya
habis-habisan. Aku histeris di tempat seperti orang gila sebelum akhirnya aku
tertawa seperti orang gila dan mengajak orang gila di hadapanku ini untuk
menarikku pergi dan mengantarkanku ke restaurant fastfood terdekat.
Kami berhenti di tengah
perjalanan dan aku turun dari motor. Aku menceritakan semua kepadanya detik itu
juga. Airmataku hampir tumpah tapi aku menahannya. Tidak mungkin aku menangis
dihadapan Rycho, aku bisa jadi bulan-bulanannya setelah ini!
“Lebih baik kau pulang.
Kau itu perempuan. Segalau apapun suasana hatimu sekarang, ini sudah malam.
Tidak mungkin kau pulang lebih larut daripada ini!” dia memarahiku
habis-habisan begitu tahu rencanaku untuk menghabiskan malam itu diluar rumah.
Terkadang aku heran siapa yang bertindak sebagai kakak di dalam kehidupan kami
berdua.
Aku hanya diam. Dia tahu
aku tidak akan pulang meskipun saat itu dia sendiri yang akan mengantarkan aku
pulang. Sifat keras kepalaku sudah dipahaminya sejak pertama kali kami
berteman.
“Aku harus kembali.” Dia
memakai helm. “Banyak pekerjaan yang masih tertinggal di sekolah.” Dia
menaikkan standart motor dan menegakkan motornya. “Cepatlah pulang dan jangan
berbuat gila.” Terdengar suara mesin yang menyala. “Aku akan mengabarimu nanti
ketika aku sudah di rumah.” Dia memutar motornya dan melaju. Tapi tiba-tiba aku
melihat dia berhenti mendadak dan berbalik badan. “Dan jangan mencoba untuk
menangisi hidupmu lagi!” lalu dia pergi.
Terkadang aku lebih menyukai
persahabatan dengan laki-laki ketimbang perempuan. Mereka benar-benar pendengar
yang luar biasa. Dan mereka jarang bergosip.
Aku menunggu sampai
Rycho menghilang dan aku menuju minimarket terdekat. Kakiku langsung tahu alur
mana yang harus aku ambil. Jangan kau kira aku akan langsung menuju fastfood
itu dan membeli float atau softdrink untuk temanku malam itu.
Tertera tulisan “RUSAK”
besar-besar di depan mesin pendingin minuman itu. Aku mengumpat dalam hati. Itu
artinya tidak akan ada minuman dingin hari ini. Hatiku menimang-nimang selagi
tanganku dengan lihai mencari apa yang aku butuhkan. Sudah lama sejak terakhir
aku mencari temanku yang satu ini. Pikiranku berputar saat pertama kali aku
mencoba minuman ini. 17 Agustus 2012. Hari dimana aku tahu aku tidak akan
bertemu dengan pujaan hatiku sesering biasanya lagi karena event yang kami
kerjakan telah berakhir. Orang yang berhasil membuatku bangkit dari
keterpurukan patah hati. Dan aku mendapati hari itu adalah satu dari sejuta
hari terindah dalam hidupku.
Bit Apple dengan botol
kaca berhasil menarik perhatianku dari kaleng putih dan lambang bintang di
atasnya. Badanku langsung berputar menuju kasir, membayar dan keluar dari sana.
Menghindari tatapan curiga dari kasir itu.
Dan aku menyesali keterburu-buruanku.
Salah satu teman
seangkatanku (beda kelas) sedang memarkir motornya tepat dihadapanku dan
memandang bingung ke arahku dan ke tanganku yang sedang menggenggam botol kaca.
Aku tersenyum dan melangkah cepat. Dia hanya tersenyum dan menyapa tapi aku
hanya berlalu, meskipun aku tahu dia dengan terang-terangan menoleh dan
melihatku dengan curiga sampai aku menghilang di belokan.
Kakiku melangkah cepat
sampai membuat tasku berayun. Sial. Bahkan ketika aku sedang ingin sendiri
seakan semua orang mengenalku.
Dalam waktu beberapa
menit aku telah duduk di sudut favoritku. Aku langsung menancapkan charger di
stopkontak dan membanting tasku ke meja. Helaan nafas pertama yang terlalu
keras membuat pasangan di belakangku menoleh ke arahku. Aku tidak peduli. Saat
itu aku tidak peduli akan apapun. Bahkan ketika aku masuk ke dalam restaurant
itu dan mendapatkan tatapan menyelidik dari sekelilingku.
Tanktop putih ketat,
yang aku akui membuat bra ku terlihat jelas di baliknya. Jaket jeans setengah
pinggang, membuat lekuk pinggang dan pinggulku terlihat jelas. Celana jeans
pensil ketat. Sandal jepit. Tas ransel besar. Rambut berantakan. Eyeliner yang
masih tersisa. Tangan menggenggam botol kaca asing dengan tulisan grafity
menyelubunginya. Selama sepersekian detik aku dapat merasakan tatapan dari
sudut yang menusuk tengkukku. Aku menoleh dan melihat seorang pria sedang
melihat ke arahku sambil memainkan rokoknya. Shit.
Aku mengikat rambutku
menjadi bentuk ekor kuda. Ponselku sejak tadi sudah bergetar tanpa henti karena
telepon dari teman-temanku yang mengajak pulang. Aku memasukkan ponsel berwarna
hijau itu ke dalam tas. Caraku membuka botol bit apple itu berhasil membuat
pasangan di belakangku kembali menoleh. Meja yang kutempati sekarang memiliki
bekas congkelan tutup botol dipojokannya yang aku yakin akan menjadi kenangan
tersendiri untukku suatu saat nanti jika aku kembali kemari.
3 tegukan langsung, dan
aku berani bertaruh pasangan di belakangku membuat suara aneh dan sekarang
sudah benar-benar melihat tanpa ragu ke arahku.
Jam di tanganku
menunjukan pukul 11 malam lebih 15 menit. Tapi membayangkan rumah menjadi
tempat tujuanku selanjutnya ada di daftar keinginanku yang paling bawah. Aku
membuka ponsel hitamkuku yang sedang aku charge. Bbm dari teman-temanku. Read.
Tapi tidak akan aku reply. Otakku kosong. Aku seperti kehilangan arah.
Kehilangan arah atau kehilangan seseorang?
Pandanganku beralih ke
pemandangan di depanku. Terlihat jelas keramaian kota di malam hari. Aku suka
melihat pemandangan semacam ini. Terutama jika dari atas. Rasanya seperti
hidupku ikut mengalir dan tidak berhenti di tempat. Rasanya seperti bisa
berjalan beriringan dengan waktu dan tidak terhenti di suatu masa. Rasanya
seperti tidak perlu menunggu untuk menyembuhkan suatu luka. Poof, beberapa
detik saja luka itu sudah hilang.
Tapi ketika aku menutup
mataku semua kelebatan tentang kita kembali menyerbu, sayang. Aku memejamkan
mataku dengan berlebihan dan menenggak minuman di tanganku.
Kau mendengarku, sayang?
Pernahkah kau memikirkan perasaanku kepadamu sejak pertama kali kita saling
mengenal?
Dulu kau yang
memperkenalkan aku kepada cinta dan segala keindahan di dalamnya. Kau yang
memaksaku akrab dengan perasaan yang indah dan agung itu. Kau membuatku tidak
dapat berpisah dengan cinta. Kau membuat kami berdua dekat seperti kakak-adik
yang tidak dapat terpisahkan.
Lalu suatu hari, dengan
satu pesan singkat, kau mengambil cinta dari sisiku. Kau membuat aku kehilangan
teman bermain. Kau membuatku kehilangan kakak terbaik dalam hidupku. Dulu
ketika aku menolak untuk mengenal cinta, kau merayuku dan mengatakan bahwa kami
akan menjadi teman yang luar biasa. Tapi kini? Apa yang kau perbuat? Kau
merenggutnya dariku dan membuat aku kesepian, sayang.
Suatu hari aku bertemu
dengan seseorang yang menyadarkanku bahwa hidup bukan saja berisi cinta. Ada
banyak impian yang harus ditata dan diwujudkan. Ada banyak hal yang harus
dikejar dan dinantikan. Cinta hanya bumbu kecil didalamnya. Seperti garnish,
jika semua sudah lengkap, masukkan cinta ke dalamnya. Dan hidupmu akan
sempurna.
Tapi tidak. Aku tidak
akan pernah percaya lagi kepada apa yang dikatakan orang lain. Sejak kau
memutuskan untuk memberikan cinta kepada orang lain, aku menutup diriku dari
semua kata-kata manis yang masuk ke dalam hidupku. Aku jengah dengan
kebohongan.
Tapi aku terus menjalani
hidupku. Aku berusaha bangkit meskipun bayangan hitam di dalam dadaku terus
mengejarku tanpa ampun. Hari demi hari aku memasang topeng yang sama. Segala
kelelahan di dalam hatiku berusaha aku alihkan dengan perhatian-perhatian dari mereka kepadaku.
Sampai akhirnya aku mulai terbiasa melihat kau bersamanya dan aku menemukan
orang yang dapat aku percaya. Kami mulai dekat. Dia membantuku menutup luka
yang kau buat. Pesakitan yang aku rasakan semakin lama semakin tidak terasa
lagi. Tapi akhirnya kami sama-sama memutuskan untuk berpisah karena perbedaan
yang mendasar. Iman.
Aku terjatuh untuk kedua
kalinya. Sejak itu aku tidak pernah menjalani hubungan secara serius. Mereka
datang dan pergi tanpa ampun. Aku tidak peduli. Luka yang kau buat rasanya
tidak pernah tertutup lagi sejak dia pergi. Satu tahun aku lalui dengan terus
berlari. Sangat banyak yang menawarkan tempat tinggal untuk singgah, bahkan
pulang. Tapi aku memutuskan untuk terus berlari. Aku takut kau akan menemukanku
dan menertawakanku karena lukaku yang belum sembuh. Aku takut bertemu denganmu
dan segala kepahitan itu akan aku rasakan kembali. Itulah kenapa aku terus
berlari dari hari ke hari. Dari bulan ke bulan. Sampai akhirnya di bulan ke-13
aku menemukan tempat tinggal. Tapi tanpa aku sadari, tempat tinggalku terlalu
dekat denganmu! Dan akhirnya kau berhasil menemukanku disana.
Namun baru beberapa
minggu berlalu aku mendapati diriku telah kembali berlari. Aku sudah terbiasa
berlari dalam kesendirian dan aku tidak bisa untuk terus diam. Terus diam di
satu hati hanya akan membuatku mengingat semua kenangan saat aku tinggal di
dalam hidupmu. Itu menyiksaku.
Sampai akhirnya dia
datang. Memberi janji-janji manis yang tentu saja aku tepis seperti biasanya.
Tapi kejujuran di dalam matanya berhasil aku temukan. Dan itulah yang membuatku
benar-benar jatuh hati kepadanya. Bayanganmu kini telah hilang. Seluruh hidupku
diwarnai olehnya dan dirombak menjadi lebih berarti. Meskipun tidak dapat dipungkiri
aku selalu tersakiti dalam hubungan itu. Aku tahu. Aku sadar. Tapi entah kenapa
kata-katanya terasa tepat. Setidaknya dia tidak pernah mengingkari kenyataan
dan selalu jujur kepadaku. Sekalipun kejujuran itu benar-benar seperti tombak
untukku. Tapi dengan kejujuran itu hubungan kami terasa lebih nyata. Sifatnya
yang apa-adanya tanpa ada kebohongan diantara kami berdua membuatku selalu
menjadi diriku sendiri. Meskipun itu artinya aku selalu tersakiti melihat dia
selalu menjalin hubungan dengan wanita lain. (read: When It Was You)
Tapi baru beberapa hari
kami dekat dan kau datang. Tanpa dosa kau datang dan memohon agar kita kembali
bersatu. Aku benar-benar tidak mengerti. Semua terasa kembali menjadi semu.
Setelah setahun aku berjuang dan kini kau kembali menarik aku dengan mudahnya?
Luka yang kau buat, mulai dari yang terkecil hingga tiada terkira, semuanya masih berbekas. Menimbulkan pesakitan yang tidak mungkin dapat aku perlihatkan ke permukaan. Membuat aku terus bergerak dengan tertatih meskipun aku berhasil menyamarkannya. Mulai dari yang terkecil. Dan digores lagi. Dan digores lagi. Dan lagi. Membuat setiap partikel pertahanan yang telah aku susun menjadi tidak bermakna dan terkoyak.
Bulan demi bulan aku
terus berusaha untuk tetap mengatakan TIDAK. Aku berusaha menolak meskipun di
dalam hati aku menjeritkan kata YA. Aku selalu diam dan menahan diri. Setiap
kali aku merasakan hatiku mulai berpaling kembali ke arahmu, yang aku lakukan
hanyalah mengingat pria lain dan mengalihkan fokus. Hingga tanpa sadar aku
telah menjatuhkan diri terlalu dalam kepada pria itu.
Kau memang yang selalu
ada. Kau memang yang selalu membuat aku kembali bersinar. Kau yang membuatku
tenang setiap kali dia pergi kepada wanita lain. bahkan kau tidak pernah protes
ketika aku menyakitimu. Perjuanganmu yang sedemikian rupa yang membuatku luluh.
Segala pertahananku runtuh sedikit demi sedikit setiap detiknya. Perlahan tapi
pasti aku kembali melihat ke arahmu. Segala rasa sakit yang aku tumpuk selama
aku bersamanya terasa seperti terkubur dan tertelan ke dalam lubang bekas
lukamu.
Semua terasa seperti
saat pertama kali aku berteman dengan cinta. Segala luka yang ada seperti
hilang. Yang ada hanyalah bekas keputihan.
Memang di beberapa waktu
aku masih sering mengalami traumatis pribadi. Di beberapa moment, aku teringat
ketika kau sedang bersamanya. Aku teringat bagaimana kau membuat luka itu ada
disana dan mengendap sedemikian rupa. Hal itu membuatku merasakan rasa sakit
itu lagi dan takut setengah mati hal itu akan terulang. Tapi aku berusaha
menepisnya.
Aku percaya kini kau
akan menjagaku. Aku percaya kau tidak akan mengulangi kesalahan di masa lalu
kita. Aku percaya kepadamu lagi karena aku juga percaya kau telah berubah
menjadi orang yang lebih baik. Kepercayaan yang sejak dulu tidak pernah aku
berikan kepada siapapun selain kepadamu dan kepadanya.
Tapi kini aku kembali
mendapati diriku menangis di surut ruangan. Dengan cairan putih suci di tanganku.
Tatapanku menerawang. Hidupku berantakan dalam sekejap. Haruskah setelah ini
aku memercayaimu lagi, ferret? No, let me repeat. Bisakah aku
memercayaimu, lagi?
Inikah alasanmu kenapa
kau tidak mau bertemu denganku di muka umum? Kau takut dia mengetahui hubungan
kita? Inikah alasanmu kenapa selama ini kau tidak pernah menyebut namaku di
jejaring sosial? Kau takut dia membacanya?
Pikiranku kembali
melayang ke beberapa tahun lalu.
“I love you o***:*”
Status yang kau buat
untukku tepat saat kita berpacaran.
Aku memaki. Cukup keras
untuk menyebabkan pasangan di belakangku mendesis kesal karena tingkahku yang
sejak tadi tidak terkendali.
Semua luka yang berusaha
aku tutup terasa kembali menganga. Puncaknya pada hari ini. Ketika aku
mempersiapkan semuanya untukmu. Berusaha sebaik mungkin untukmu. Tidak dapat
dipungkiri, aku bahkan hampir menitikkan airmata ketika mengatakan kepada Nena
bahwa aku takut terlihat memalukan saat prompnite nanti dan membuatmu menjauh.
Aku berusaha sebaik mungkin dan yang aku dapatkan adalah aku bersarang di
pojokan restaurant fastfood.
Mengenaskan.
“Mami kapan mau pulang?”
pikiranku yang telah menjelajah seakan tersedot dan aku tersentak. Aku
mendapati Gitta dan Lina berdiri di hadapanku. Di dalam keterkejutanku, Isna mengambil
minuman yang ada di tanganku dan mengendusnya.
“Aku bahkan tidak
menemukan alcohol disini. Bagaimana menurutmu?” dia menyodorkan botol itu
kepada Agung. “Buang ya?” isna bertanya tanpa dosa kepadaku.
“Tentu saja kau tidak
akan menemukan alcohol di dalam bit apple, bodoh! Aku masih cukup sadar bahwa
alcohol berbahaya untukku malam ini!—”
“Kalau begitu kenapa kau
membeli minuman seperti ini?” Yona muncul dibelakangku.
“Itu kan bukan minuman
beralkohol. Dan aku menyukainya. Rasanya lebih enak ketimbang softdrink yang
lain. Dan apa yang kalian lakukan disini?” aku bertanya dengan alis bertautan.
“Sial. Well, ayo kita
pulang.” Isna mengajak mereka pulang dan membawa botolku menjauh.
“Sampai jumpa.” Aku
hanya menjawab seadanya. “Dan kembalikan minumanku.”
“Inikah yang kau
lakukan? Dipojokan dan minum lalu mengusir orang-orang yang peduli padamu?”
Gitta mulai duduk dihadapanku.
Aku meraih kembali
botolku dan meminumnya untuk menenangkan diri. “Absolutely, yes. And if you
want to know, bastard. I worked for this. Aku bekerja untuk ini dan ini adalah
uangku. Aku tidak meminta uang darimu atau ibumu untuk ini. Jadi jangan
mengomentarinya dan jangan memprotesnya.” Aku kembali diam. Kalimat terakhir
yang dilontarkan oleh Gitta berhasil menyita pikiranku. Peduli? Oh
yeah?
“Mami, ayo pulang.
Kasian Yona. Ibunya sejak tadi sudah menelepon dan dia tertahan karena kau yang
belum mau pulang.” Lina memohon. Matanya mencuri pandang ke arah Yona dan dia
setengah tertawa.
Pikiranku tentang
teman-temanku yang sedari tadi bingung mencariku dan benar-benar khawatir
kepadaku, takut terjadi sesuatu terhadapku, takut aku bertemu dengan orang
jahat, takut tidak bisa menemukanku, takut aku melakukan hal gila, semuanya
menguap secepat alkohol yang dipanaskan dengan suhu 373 Kelvin.
Ah, ya. Peduli.
Benar-benar sahabatku tercinta. Yang kalian pedulikan memang aku,
kan? Persetan.
“Kalian bisa pulang.”
Aku menjawab seadanya.
“Dan meninggalkanmu
sendiri disini?” Yona bertanya.
“Ya.”
“Dan kau akan pulang
bersama dengan...” Gitta menunggu aku melanjutkan kalimatnya.
“Lintas malam masih
beroperasi.”
“Mami, please! Kau
wanita dan pakaianmu bahkan berantakan! Aroma alcohol tercium dari mulutmu
setiap kali kau berbicara! Dan kau ingin pulang dengan lintas malam?” Lina
membelalak tidak percaya.
“Taksi masih
berkeliaran.” Aku masih tenang. Tanganku mengangkat botol itu ke mulutku dan
aku menenggaknya. Wajahku dan pandanganku tetap berpaling dari mereka. Kalian
menambah luka dan rasa kecewa saja, kalian tahu?
“Dan uangnya?” isna kini
ikut bicara.
“I had my money! Jangan
kira aku semiskin itu jika bahkan sekarang bit apple ada di tanganku!” nadaku
sedikit menyindir. Alisku bertautan mengejek. Di dalam hati aku berusaha
mengingat berapa uang yang tersisa di dalam dompetku malam itu.
Mereka diam. Saling
mengedarkan pandangan satu sama lain seakan berkata
'bagaimana-kalau-kita-seret-saja-dia-dan-kita-bisa-tidur-nyenyak'.
“Oh, ayolah guys. I’m
not a girl anymore. I’m mature enough to go
home with myself. Aku bukan lagi seorang perempuan. Aku seorang wanita
sekarang.” Aku menekankan beberapa kata dalam kalimatku untuk menegaskan
situasi ‘aku-ingin-sendiri’ saat itu.
“Mami,” Gitta
memanggilku. Aku bergeming. “,ayo pulang.” Aku mengambil botolku dan kembali
menegak isinya. “Pulang, ya? Ayo pulang. Kau bisa membonceng Isna. Simpan
uangmu.” Aku melihat mata teman-temanku. Dan aku melihat simpatik yang besar di
mata Gitta.
Kenangan kembali
menyerbu.
Di sudut yang sama. Tapi
di lantai satu. Aku menghabiskan dua botol vodka mix dan sekaleng bintang.
Ditemani oleh Gitta. Aku mulai mengoceh panjang lebar saat selesai menghabiskan
botol kedua. Gitta disana hanya diam dan merayuku untuk berhenti. Tapi aku
tidak mengabulkannya.
Tapi itu sudah sangat
lama berlalu. Dan tidak sepatutnya aku disini harus mengingat hal itu kembali.
Aku tahu betul apa yang
menyebabkan Gitta begitu merasa kasihan kepada diriku sekarang. Kenangan
terakhir itu pasti membuatnya sadar sekarang aku benar-benar hancur, seperti
pada hari itu.
Aku kembali melihat
mereka. Sangat jelas terlihat bahwa yang benar-benar peduli hanyalah Yonathan
dan Gitta di sini.
Terkadang aku berpikir
apakah jika aku adalah manusia bodoh dengan IQ dibawah rata-rata mereka akan
tetap menjadi temanku? Apakah jika aku bukan salah satu siswa populer, aktivis
OSIS terkemuka di Kota Semarang, memiliki banyak relasi ke beberapa perusahaan,
kesayangan guru, siswa yang paling berpengaruh dan pendapatnya selalu
didengarkan, mereka akan tetap ada disini?
Aku mendapati diriku
mendengus, berani bertaruh aku akan membusuk disini dan mati mengenaskan.
Akhirnya aku mengambil
nafas besar. Meneguk isi botolku hingga habis. Dan membungkusnya dengan
plastik.
“Kalian menang. Ayo kita
pulang.”
Kami bertengkar hebat
malam itu. Tapi akhirnya keesokan harinya kami berbaikan. Hari-hariku terlalu
melelahkan jika harus ditambah dengan pertengkaran kami.
Segala masalah yang ada
di dalam hidupku sudah cukup membuatku lelah secara psikis. Aku hanya tidak
ingin permasalahan diantara kami semakin membuatku terbebani. Entah mengapa
permasalahan kami selalu terasa berbeda. Terlalu berat. Tapi yang aku lakukan
selalu berpura-pura seolah itu hanya masalah kecil yang bahkan tidak perlu
dibahas dengan teman-temanku.
Tapi baru saja beberapa
jam kami berbaikan, malam itu aku merasa ada yang aneh. Sabtu malam minggu.
Apakah mereka sedang bersama? Apakah ada sesuatu yang terjadi?
Hatiku menjerit. Malam
itu yang aku lakukan hanyalah menangis. Rasa takut kehilangan itu kembali
menyerbu tanpa ampun dan membelengguku dalam keheningan malam. Semakin malam
dan tangisku semakin menjadi. Apa yang terjadi? Firasat dalam hatiku seolah
berbunyi nyaring.
Secara perlahan tapi
pasti lubang hitam itu kembali terbuka. Ketakutan di masalalu yang telah aku
usir dengan susah payah kembali dalam satu malam. Tidak ada apapun yang
terjadi, Illia. Otakku meyakinkan. Tapi hatiku terus tersedu tanpa henti.
Inikah rasa takut
kehilangan?
Dulu mungkin aku tidak
menyadarinya. Dulu, ketika kau belum mengajariku bagaimana rasanya kehilangan
itu. Ketika aku kira hubungan kita baik-baik saja, meskipun saat itu rasanya
sama seperti ini. Persis seperti ini. Tapi aku belum mengerti apapun.
Dan kini aku
menyadarinya. Inikah rasa takut kehilangan itu? Inikah rasa takut ditinggalkan?
Aku hanya bisa menjawab
“Nothing. I’m fine” kepada semua orang. Bagaimana bisa aku bercerita tentang
sesuatu yang bahkan tidak aku mengerti? Yang aku tahu hatiku ketakutan setengah
mati tanpa ada sebab. Dan yang aku yang aku tahu itu menakutkan.
Malam itu aku tidak bisa
tertidur. Aku mencari aspirin dan aku mendapati kotak obat tidak memilikinya.
Aku mengumpat kesal. Dan memutuskan mengambil Antimo.
4 butir cukup. Dan aku
berusaha tertidur.
Lagi-lagi lubang hitam
tanpa dasar itu menyita pikiranku dan aku kembali menangis. Ada apa sebenarnya?
30 menit aku menunggu
dan aku tetap tidak bisa memejamkan mata. Aku kembali mengambil 3 butir dan
menelannya. 15 menit kemudian aku terlelap. Tidak menyadari akan apa yang telah
aku telan.
Baru satu jam aku tertidur
dan aku kembali terbangun. Mendapati diriku melayang dan pandangan tidak
terfokus. Oh, shit.
Pengalaman sebagai anak
KAPPA (Kesatuan Pelajar Anti Narkoba) bahkan tidak bisa membuatku belajar
mengingat dampak overdosis.
0 suara netizen:
Posting Komentar