About Me

Thesalonika Olga Valitha Briliane | 23 y.o | Indonesian | Swiftie | @__tukangmaido | Love Green, Like Mango | Jesus Christ

Senin, 03 November 2014

Tanpa Dirimu, Aku Bukan Diriku Yang Sekarang Chapter 7



Setiap pagi aku terbangun dengan jeritan sangkakala dari dalam diri Lucifer dan tertidur dengan ninabobo dari shinigami (read: dewa kematian). Hidupku seperti orang yang tidak ingin melihat dunia. Seperti anak kecil yang tidak pernah mengerti bagaimana nikmatnya lollipop dan es krim. Seperti orang yang tidak pernah kehausan sehingga tidak mengerti betapa nikmatnya air pegunungan. Seperti wanita yang tidak pernah mengerti rasa dilindungi dan dikhawatirkan.

8 Juni 2014

3 hari aku lalui tanpa komunikasi dengannya. Ingin? Sebenarnya tidak. Sangat. Aku serius ketika aku mengatakan bahwa aku telah bergantung kepadanya selama beberapa bulan terakhir ini tentang perhatian dan rasa sayang. Kuat? Mungkin. Entahlah. Beberapa hari ini (untunglah) aku selalu dikuatkan oleh orang-orang yang peduli kepadaku. Lelucon mereka membuatku tetap tertawa selama beberapa jam hingga tidak terasa waktu tidur telah tiba dan aku terlelap.

Tapi kepura-puraan ini membuatku muak. 2 tahun ini membuatku menjadi pribadi yang vokal dan tidak pernah menutupi apa yang aku inginkan atau rasakan. Ketika aku menginginkan sesuatu (atau mungkin seseorang) aku selalu mengatakan aku menginginkannya dan akan mendapatkannya. Aku harus mendapatkannya entah dengan cara apapun. Untuk masalah pemeliharaan? Itu dapat dipikirkan nanti. Ketika aku merasakan sakit, aku akan mengatakan itu sakit. Ketika aku senang, aku akan berterima kasih. Ketika aku bosan, aku tidak repot-repot untuk menutupinya. Ketika aku cinta dan membutuhkan, aku akan menunjukannya dan tidak membuat orang yang aku maksud bertanya-tanya.

“Jangan pernah malu menjadi wanita yang vokal. Memang pada umumnya wanita adalah makhluk yang selalu memendam semuanya sendiri, tapi kalau kita vokal memangnya kenapa? Ada masalah? Tidak, kan? Toh itu juga membuat kita lebih lega.” Seseorang menasihatiku.

Aku bahkan lupa bagaimana rasanya tidak mendapatkan apa yang aku inginkan. Aku lupa bagaimana rasanya berpura-pura (selain berpura-pura bahwa segalanya berjalan sempurna dan ‘hei-lihatlah-aku-putri-kerajaan-yang-bahagia-tanpa-masalah’). Dan hal itu membuatku tidak bisa menahan diri.

Aku memulai percakapan. Bukan karena aku ingin memancing pembicaraan, tapi memang karena aku perlu menanyakan sesuatu. Suasana hatiku kalut. Dan aku rasa kau memiliki jawaban atas permasalahan ini. Terbukti dari chat terakhirmu yang sengaja tidak aku balas karena aku rasa memang sudah tidak ada lagi yang perlu dibicarakan.

Aku tidak pernah memancing pembicaraan dengan tujuan menepis kata rindu jauh-jauh dari otakku. Jika aku merindukanmu, aku akan mengatakannya tanpa tedeng aling-aling, tidak seperti percakapan-basa-basi yang sedang aku lakukan saat itu.

Di sisi lain, tanpa aku sadari, aku telah menjalin komunikasi lagi dengan seseorang dari masa lalu. Si pria-dengan-kejujuran-dimatanya yang telah berhasil aku tinggalkan dengan susah payah berkat bantuanmu. Semua terjadi begitu saja. Well, seperti yang aku katakan, semua terjadi begitu saja.

Kau pergi. Aku kembali sendiri. Kepanitiaan wisuda membutuhkan tambahan orang. Aku tidak sempat mencari orang lain. Aku menghubunginya. Aku menjadi satu kepanitiaan dengannya. Kami kembali berkontak. Dan itu terjadi tepat setelah kau dan aku bertengkar.

Kau tahu? Semua ini rasanya seperti kebetulan. Dalam sekejap kami berkomunikasi dan dia langsung memintaku untuk menjadi kekasihnya ketika kebetulan kau dan aku sedang tidak dalam keadaan yang baik. Aku mendapatkan kesan dia tidak ingin aku pergi untuk yang kedua kalinya. Well, mungkinkah dia telah merasakan bagaimana kehilangan seseorang yang tidak pernah dia anggap untuk ada?

Sebagian dari hatiku bersorak gembira. “Hey! Bukankah itu yang kau inginkan sedari dulu? Terimalah dan hiduplah bahagia meskipun hanya seminggu!”. Tapi hatiku yang lain kembali menghardik semacam “Yang benar saja! Aku sudah tidak mencintainya!”. Aku hanya memutar bola mata dan kembali bekerja. Ini konyol! Bahkan aku sudah tidak merasakan apapun ketika aku bertukar pesan dengannya.

“Cieeh disemangatin! :D” di malam hari Vivi mengirimiku pesan disertai sebuah Screen Capture berisikan Private Message milik pria-dengan-kejujuran-dimatanya yang berisikan (dengan jelas dan gamblang) nama lengkapku. Aku membelalak. Konyol!

Aku membuka akunnya dan terlihat jelas di riwayatnya ada sekitar selusin Private Message dengan namaku didalamnya. Aku tertawa. Semua Private Messagenya benar-benar gila. Dan aku mendapati diriku langsung membalasnya lengkap dengan namanya tertera disana. Aku tahu dia telah terlelap. Tapi setidaknya (dengan segala permasalahan yang sedang terjadi) aku tidak ingin ada masalah baru seperti kehilangan panitia yang susah payah aku rekrut hanya karena ‘kau-mengacuhkanku-jadi-aku-pergi-lagi’ lalu ‘oke-bye’. No.

Tapi belum ada lima menit dan kau kembali mengontakku. Apa maumu, sayang? Beberapa hari yang lalu aku mendapati dirimu mencampakkanku dan kini kau mengetik kata “Ciye” dengan mudahnya karena aku kembali berkontak dengan orang dari masalaluku? Lalu kau sendiri seperti apa?

Lagi-lagi kami bertengkar. Bodoh. Ini benar-benar bodoh. Ketika kau bertingkah, kau bertanya “apa maumu?” dan ketika aku yang bertingkah, kau jugalah yang bertanya “apa maumu?”. Lalu? haruskah selalu aku yang mencari kepastian di sini untuk kita berdua, sayang? Jika memang kau bosan, jangan pernah mencari alasan agar aku yang mengakhiri ini semua. Jangan. Itu menyiksaku.

Aku ingin ini semua terus berlanjut, tentu saja. Hidupku sekarang hanya memiliki satu tujuan dan satu arah, yaitu dirimu. Tapi jika kau sendiri sudah tidak menginginkan ini semua, bagaimana bisa aku mewujudkan pengharapan besar itu seorang diri? Bahkan kepedulianmu terhadapku semakin lama semakin tipis dan terasa mendekati angka -1!

“Kau ingin melepasku, Adi? Kau tidak ingin mempertahankan ini semua?”

Semua kata itu terketik dan terkirim begitu saja tanpa melibatkan hatiku dalam pengambilan keputusan. Dan aku tahu jika jawaban dari pertanyaan itu datang, jawaban itu adalah akhir dari segalanya.

“Aku sangat ingin”

Menggantung. Hanya itukah yang dapat kau katakan untuk menyelamatkan ini semua? Bisakah kau lebih peduli akan aku disini yang ingin kau pertahankan seperti dulu ketika aku masih bersamanya? Kini dia kembali dan itu adalah satu-satunya hal yang bisa menarik perhatianmu sedikit mengarah kepadaku? Haruskah aku kembali kepadanya agar kau bisa kembali seperti dulu, sayang? Haruskah aku mencambukmu agar kau bangun dan menyadari kita sudah ada di mulut kematian?

“Kau tidak ingat bagaimana dulu kau memintaku untuk kembali padamu di teras rumahku? Bagaimana kau memohon untuk itu” karena aku masih ingat bagaimana kau terlihat sangat rapuh di hadapanku waktu itu. Mungkin kau sendiri tidak menyadari bagaimana kelihatannya dirimu, but I do. I always do. Aku masih ingat bagaimana aku berjuang keras untuk mengendalikan diriku agar tidak memelukmu dan mengatakan YA saat itu juga untuk menghapus semua pesakitanmu saat itu.

“Kau tidak ingat saat kau menghapus airmataku ketika aku menangis setelah upacara dulu?” ketika aku menangis karena dia dan kau yang ada disana. Menghiburku. Menemaniku. Memelukku.. Menghapus airmataku dan menenangkanku. Mengatakan bahwa kau ada disana dan semuanya akan baik-baik saja.

“Kau tidak ingat ketika kau mengatakan kau akan pergi dari sini, saat kita ada di Matahari lantai 5?” karena aku tidak akan pernah lupa. Semua hal. Setiap detik yang aku lalui bersamamu sejak kau mengatakan kau akan pindah ke luar pulau untuk bekerja. Setiap pertemuan kita terasa lebih berharga daripada apapun yang aku miliki. Retinaku masih bisa mencetak dengan jelas semua hal yang kita lalui dan bicarakan hari itu disana. Ketika kau memelukku. Tangan kita terjalin tanpa celah. Kedekatan yang kita rasakan. Hembusan nafasmu yang hangat di pipiku. Jemarimu yang terus bermain tanpa ampun di rambut dan bibirku. Tak dapat dipungkiri itu semua membangunkan semua sel-sel terdalam dari diriku dan membuatku dapat kembali hidup setelah sekian lama aku tertidur dalam pelarian tak kasat mata.

Aku kembali merasakanmu saat itu. Merasakan kehadiran yang ternyata memang menjadi satu tolok ukur kerinduan tanpa batas akan hadirmu di hidupku. Setelah dua tahun aku selalu berlari darimu dan mengira itu telah berhasil. Tapi hanya butuh waktu berdua bersamamu selama beberapa menit untuk menghancurkan semua ideologiku tentang “hey-aku-berhasil-dan-pergilah-kau-dari-hidupku”. Tidak. Aku menginginkanmu untuk melengkapi semua kekurangan yang aku rasakan selama ini. Sesuatu yang hilang dan tak pernah tergantikan.

Banyak yang telah datang. Mereka jauh lebih baik darimu. Mereka benar-benar mendekati kata sempurna. Mereka selalu ada dan selalu menjagaku. Tapi aku hanya terasa lengkap ketika aku merasakanmu. Aneh? Ya. Aku sendiri heran mendapati diriku jadi keluar dari jangkauan kewarasan seseorang.

Akal sehatku berteriak kencang. Ini gila! Dan ini membuatku takut. Ketika aku tidak lagi bisa merasakan kehadiranmu, apa yang dapat aku lakukan untuk mengisi rasa kosong itu? Haruskah aku berlari lagi? Haruskah aku kembali menjadi seperti putri tidur yang menunggu dibangunkan oleh sang pangeran dengan ‘true-love-kiss’nya? Ketakutan yang membelengguku membuatku semakin takut kehilanganmu. Dan ketika ketakutanku menjadi kenyataan, aku tidak bisa mengelak bahwa aku tidak bisa melepaskan diri lagi. Dulu mungkin aku bisa, tapi sekarang? Entah. Gagasan untuk mengakhiri ini dengan bunuh diri terasa menggiurkan.

Sekarang terserah apa maumu, sayang. Aku lelah. Datanglah ketika kau membutuhkanku. Pergilah jika kau ingin bersenang-senang dengannya. Dengannya yang selalu bertahta di hatimu. Dia yang selalu kau cintai. Karena memang hanya dialah yang bisa menjadi seperti yang kau inginkan.

Aku memang wanita paling bodoh di dunia. Mungkin aku bisa berlari. Aku bisa meninggalkanmu seperti dulu, menutup hatiku, mencari penggantimu dan menikmati hidup tanpa menoleh lagi ke belakang. Tapi hatiku menolak gagasan itu mentah-mentah. Membuatku kelabakan dan tertekan akan dorongan kuat untuk mencintaimu dan membencimu dalam satu hitungan. Satu helaan nafas, satu detik, satu waktu yang terlewat. Semua terasa semakin berharga. Segala pesakitan itu aku rasakan semakin nyata. Ketika kau datang dan pergi dengan sendirinya. Membuatku bertanya siapa aku bagimu. Membuatku memikirkan semuanya dari awal.

Jika dulu kita tidak saling mengenal, apakah ini semua akan terjadi? Jika dulu kau tidak mendekatiku, apa hatiku akan sama dengan hati yang lain? Hati tanpa cacat. Hati tanpa dendam.

Pertengkaran dari hari ke hari terasa semakin biasa aku hadapi dan membuatku semakin kebal terhadap semua ini. Semakin kebal atau mati rasa? Entah. Topeng yang aku kenakan semakin tebal dari hari ke hari. Semua orang mengira aku baik-baik saja. Ya, aku memang baik-baik saja.


Aku baik-baik saja ketika aku tahu aku memilikimu. Tapi itu tidak lagi terjadi.

0 suara netizen:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More