Setiap pagi aku terbangun dengan jeritan sangkakala dari dalam diri Lucifer dan tertidur dengan ninabobo dari shinigami (read: dewa kematian). Hidupku seperti orang yang tidak ingin melihat dunia. Seperti anak kecil yang tidak pernah mengerti bagaimana nikmatnya lollipop dan es krim. Seperti orang yang tidak pernah kehausan sehingga tidak mengerti betapa nikmatnya air pegunungan. Seperti wanita yang tidak pernah mengerti rasa dilindungi dan dikhawatirkan.
8 Juni 2014
3 hari aku lalui tanpa komunikasi dengannya. Ingin? Sebenarnya tidak.
Sangat. Aku serius ketika aku mengatakan bahwa aku telah bergantung kepadanya
selama beberapa bulan terakhir ini tentang perhatian dan rasa sayang. Kuat?
Mungkin. Entahlah. Beberapa hari ini (untunglah) aku selalu dikuatkan oleh
orang-orang yang peduli kepadaku. Lelucon mereka membuatku tetap tertawa selama
beberapa jam hingga tidak terasa waktu tidur telah tiba dan aku terlelap.
Tapi kepura-puraan ini membuatku muak. 2 tahun ini membuatku menjadi
pribadi yang vokal dan tidak pernah menutupi apa yang aku inginkan atau
rasakan. Ketika aku menginginkan sesuatu (atau mungkin seseorang) aku selalu
mengatakan aku menginginkannya dan akan mendapatkannya. Aku harus
mendapatkannya entah dengan cara apapun. Untuk masalah pemeliharaan? Itu dapat
dipikirkan nanti. Ketika aku merasakan sakit, aku akan mengatakan itu sakit.
Ketika aku senang, aku akan berterima kasih. Ketika aku bosan, aku tidak
repot-repot untuk menutupinya. Ketika aku cinta dan membutuhkan, aku akan
menunjukannya dan tidak membuat orang yang aku maksud bertanya-tanya.
“Jangan pernah malu menjadi wanita yang vokal. Memang pada umumnya
wanita adalah makhluk yang selalu memendam semuanya sendiri, tapi kalau kita
vokal memangnya kenapa? Ada masalah? Tidak, kan? Toh itu juga membuat kita
lebih lega.” Seseorang menasihatiku.
Aku bahkan lupa bagaimana rasanya tidak mendapatkan apa yang aku
inginkan. Aku lupa bagaimana rasanya berpura-pura (selain berpura-pura bahwa
segalanya berjalan sempurna dan ‘hei-lihatlah-aku-putri-kerajaan-yang-bahagia-tanpa-masalah’).
Dan hal itu membuatku tidak bisa menahan diri.
Aku memulai percakapan. Bukan karena aku ingin memancing pembicaraan,
tapi memang karena aku perlu menanyakan sesuatu. Suasana hatiku kalut. Dan aku
rasa kau memiliki jawaban atas permasalahan ini. Terbukti dari chat terakhirmu
yang sengaja tidak aku balas karena aku rasa memang sudah tidak ada lagi yang
perlu dibicarakan.
Aku tidak pernah memancing pembicaraan dengan tujuan menepis kata
rindu jauh-jauh dari otakku. Jika aku merindukanmu, aku akan mengatakannya
tanpa tedeng aling-aling, tidak seperti percakapan-basa-basi yang sedang aku
lakukan saat itu.
Di sisi lain, tanpa aku sadari, aku telah menjalin komunikasi lagi
dengan seseorang dari masa lalu. Si pria-dengan-kejujuran-dimatanya yang telah
berhasil aku tinggalkan dengan susah payah berkat bantuanmu. Semua terjadi
begitu saja. Well, seperti yang aku katakan, semua terjadi begitu saja.
Kau pergi. Aku kembali sendiri. Kepanitiaan wisuda membutuhkan
tambahan orang. Aku tidak sempat mencari orang lain. Aku menghubunginya. Aku
menjadi satu kepanitiaan dengannya. Kami kembali berkontak. Dan itu terjadi tepat setelah kau dan aku bertengkar.
Kau tahu? Semua ini rasanya seperti kebetulan. Dalam sekejap kami
berkomunikasi dan dia langsung memintaku untuk menjadi kekasihnya ketika kebetulan kau dan aku sedang tidak dalam
keadaan yang baik. Aku mendapatkan kesan dia tidak ingin aku pergi untuk yang
kedua kalinya. Well, mungkinkah dia telah merasakan bagaimana kehilangan
seseorang yang tidak pernah dia anggap untuk ada?
Sebagian dari hatiku bersorak gembira. “Hey! Bukankah itu yang kau
inginkan sedari dulu? Terimalah dan hiduplah bahagia meskipun hanya seminggu!”.
Tapi hatiku yang lain kembali menghardik semacam “Yang benar saja! Aku sudah
tidak mencintainya!”. Aku hanya memutar bola mata dan kembali bekerja. Ini
konyol! Bahkan aku sudah tidak merasakan apapun ketika aku bertukar pesan
dengannya.
“Cieeh disemangatin! :D” di malam hari Vivi mengirimiku pesan disertai
sebuah Screen Capture berisikan Private Message milik
pria-dengan-kejujuran-dimatanya yang berisikan (dengan jelas dan gamblang) nama
lengkapku. Aku membelalak. Konyol!
Aku membuka akunnya dan terlihat jelas di riwayatnya ada sekitar
selusin Private Message dengan namaku didalamnya. Aku tertawa. Semua Private
Messagenya benar-benar gila. Dan aku mendapati diriku langsung membalasnya
lengkap dengan namanya tertera disana. Aku tahu dia telah terlelap. Tapi
setidaknya (dengan segala permasalahan yang sedang terjadi) aku tidak ingin ada
masalah baru seperti kehilangan panitia yang susah payah aku rekrut hanya
karena ‘kau-mengacuhkanku-jadi-aku-pergi-lagi’ lalu ‘oke-bye’. No.
Tapi belum ada lima menit dan kau kembali mengontakku. Apa maumu,
sayang? Beberapa hari yang lalu aku mendapati dirimu mencampakkanku dan kini
kau mengetik kata “Ciye” dengan mudahnya karena aku kembali berkontak dengan
orang dari masalaluku? Lalu kau sendiri seperti apa?
Lagi-lagi kami bertengkar. Bodoh. Ini benar-benar bodoh. Ketika kau
bertingkah, kau bertanya “apa maumu?” dan ketika aku yang bertingkah, kau
jugalah yang bertanya “apa maumu?”. Lalu? haruskah selalu aku yang mencari
kepastian di sini untuk kita berdua, sayang? Jika memang kau bosan, jangan
pernah mencari alasan agar aku yang mengakhiri ini semua. Jangan. Itu
menyiksaku.
Aku ingin ini semua terus berlanjut, tentu saja. Hidupku sekarang
hanya memiliki satu tujuan dan satu arah, yaitu dirimu. Tapi jika kau sendiri
sudah tidak menginginkan ini semua, bagaimana bisa aku mewujudkan pengharapan
besar itu seorang diri? Bahkan kepedulianmu terhadapku semakin lama semakin
tipis dan terasa mendekati angka -1!
“Kau ingin melepasku, Adi? Kau tidak ingin mempertahankan ini semua?”
Semua kata itu terketik dan terkirim begitu saja tanpa melibatkan hatiku
dalam pengambilan keputusan. Dan aku tahu jika jawaban dari pertanyaan itu
datang, jawaban itu adalah akhir dari segalanya.
“Aku sangat ingin”
Menggantung. Hanya itukah yang dapat kau katakan untuk menyelamatkan
ini semua? Bisakah kau lebih peduli akan aku disini yang ingin kau pertahankan
seperti dulu ketika aku masih bersamanya? Kini dia kembali dan itu adalah
satu-satunya hal yang bisa menarik perhatianmu sedikit mengarah kepadaku? Haruskah aku kembali kepadanya agar kau
bisa kembali seperti dulu, sayang? Haruskah aku mencambukmu agar kau bangun dan
menyadari kita sudah ada di mulut kematian?
“Kau tidak ingat bagaimana dulu kau memintaku untuk kembali padamu di
teras rumahku? Bagaimana kau memohon untuk itu” karena aku masih ingat bagaimana kau terlihat sangat rapuh di hadapanku
waktu itu. Mungkin kau sendiri tidak menyadari bagaimana kelihatannya dirimu,
but I do. I always do. Aku masih ingat bagaimana aku berjuang keras untuk
mengendalikan diriku agar tidak memelukmu dan mengatakan YA saat itu juga untuk
menghapus semua pesakitanmu saat itu.
“Kau tidak ingat saat kau menghapus airmataku ketika aku menangis
setelah upacara dulu?” ketika aku
menangis karena dia dan kau yang ada disana. Menghiburku. Menemaniku.
Memelukku.. Menghapus airmataku dan menenangkanku. Mengatakan bahwa kau ada
disana dan semuanya akan baik-baik saja.
“Kau tidak ingat ketika kau mengatakan kau akan pergi dari sini, saat
kita ada di Matahari lantai 5?” karena
aku tidak akan pernah lupa. Semua hal. Setiap detik yang aku lalui bersamamu
sejak kau mengatakan kau akan pindah ke luar pulau untuk bekerja. Setiap
pertemuan kita terasa lebih berharga daripada apapun yang aku miliki. Retinaku
masih bisa mencetak dengan jelas semua hal yang kita lalui dan bicarakan hari
itu disana. Ketika kau memelukku. Tangan kita terjalin tanpa celah. Kedekatan
yang kita rasakan. Hembusan nafasmu yang hangat di pipiku. Jemarimu yang terus
bermain tanpa ampun di rambut dan bibirku. Tak dapat dipungkiri itu semua
membangunkan semua sel-sel terdalam dari diriku dan membuatku dapat kembali
hidup setelah sekian lama aku tertidur dalam pelarian tak kasat mata.
Aku kembali merasakanmu saat itu. Merasakan kehadiran yang ternyata
memang menjadi satu tolok ukur kerinduan tanpa batas akan hadirmu di hidupku. Setelah
dua tahun aku selalu berlari darimu dan mengira itu telah berhasil. Tapi hanya
butuh waktu berdua bersamamu selama beberapa menit untuk menghancurkan semua
ideologiku tentang “hey-aku-berhasil-dan-pergilah-kau-dari-hidupku”. Tidak. Aku
menginginkanmu untuk melengkapi semua kekurangan yang aku rasakan selama ini.
Sesuatu yang hilang dan tak pernah tergantikan.
Banyak yang telah datang. Mereka jauh
lebih baik darimu. Mereka benar-benar mendekati kata sempurna. Mereka selalu
ada dan selalu menjagaku. Tapi aku hanya terasa lengkap ketika aku merasakanmu.
Aneh? Ya. Aku sendiri heran mendapati diriku jadi keluar dari jangkauan
kewarasan seseorang.
Akal sehatku berteriak kencang. Ini gila! Dan ini membuatku takut.
Ketika aku tidak lagi bisa merasakan kehadiranmu, apa yang dapat aku lakukan
untuk mengisi rasa kosong itu? Haruskah aku berlari lagi? Haruskah aku kembali
menjadi seperti putri tidur yang menunggu dibangunkan oleh sang pangeran dengan
‘true-love-kiss’nya? Ketakutan yang membelengguku membuatku semakin takut
kehilanganmu. Dan ketika ketakutanku menjadi kenyataan, aku tidak bisa mengelak
bahwa aku tidak bisa melepaskan diri lagi. Dulu mungkin aku bisa, tapi
sekarang? Entah. Gagasan untuk mengakhiri ini dengan bunuh diri terasa
menggiurkan.
Sekarang terserah apa maumu, sayang. Aku lelah. Datanglah ketika kau
membutuhkanku. Pergilah jika kau ingin bersenang-senang dengannya. Dengannya
yang selalu bertahta di hatimu. Dia yang selalu kau cintai. Karena memang hanya
dialah yang bisa menjadi seperti yang kau inginkan.
Aku memang wanita paling bodoh di dunia. Mungkin aku bisa berlari. Aku
bisa meninggalkanmu seperti dulu, menutup hatiku, mencari penggantimu dan
menikmati hidup tanpa menoleh lagi ke belakang. Tapi hatiku menolak gagasan itu
mentah-mentah. Membuatku kelabakan dan tertekan akan dorongan kuat untuk
mencintaimu dan membencimu dalam satu hitungan. Satu helaan nafas, satu detik,
satu waktu yang terlewat. Semua terasa semakin berharga. Segala pesakitan itu
aku rasakan semakin nyata. Ketika kau datang dan pergi dengan sendirinya.
Membuatku bertanya siapa aku bagimu. Membuatku memikirkan semuanya dari awal.
Jika dulu kita tidak saling mengenal, apakah ini semua akan terjadi?
Jika dulu kau tidak mendekatiku, apa hatiku akan sama dengan hati yang lain?
Hati tanpa cacat. Hati tanpa dendam.
Pertengkaran dari hari ke hari terasa semakin biasa aku hadapi dan
membuatku semakin kebal terhadap semua ini. Semakin kebal atau mati rasa?
Entah. Topeng yang aku kenakan semakin tebal dari hari ke hari. Semua orang
mengira aku baik-baik saja. Ya, aku memang baik-baik saja.
Aku baik-baik saja ketika aku tahu aku memilikimu. Tapi itu tidak lagi
terjadi.
0 suara netizen:
Posting Komentar