About Me

Thesalonika Olga Valitha Briliane | 23 y.o | Indonesian | Swiftie | @__tukangmaido | Love Green, Like Mango | Jesus Christ

Senin, 03 November 2014

Tanpa Dirimu, Aku Bukan Diriku Yang Sekarang Chapter 9



“Apakah kepatuhan dan konsistensi justru membuatnya bosan? Apabila banyak orang yang menjadikan kebosanan sebagai antiklimaks yang mengawali rangkaian sikap atau perilaku buruk, lantas dimanakah nilai sebuah pengabdian?”  - Barbitch.

Aku berusaha menepis pemikiran itu. Semua pemikiran buruk yang selalu tertanam kuat-kuat dalam helaan nafasku setiap detiknya. Kau yang selalu memikirkannya. Kau yang selalu merindukannya. Kau yang selalu berkontak dengannya. Menanti pertemuan kalian dari hari ke hari. Mencintai tanpa henti...

Aku berusaha menepis itu semua. Tapi gagal. Sekalipun aku mengelak fakta mengatakan sebaliknya. Kenyataan telah membelot dan aku kalah. Mulai dari status hubungan di jejaring sosial itu (antara kau dan dia) yang terbit di saat kita sedang ada dalam satu hubungan. Ditambah lagi postingan-postingan di jejaring sosial itu dari si perempuan. Sekarang semua hal itu jadi masuk akal.

***

“Bodoh. Aku perempuan paling bodoh di dunia. Jatuh cinta kepada yang tidak boleh dicintai. Tahu bahwa harus berhenti mencintai. Mampu untuk berhenti mencintai. Namun tak mau. Semata karena hatiku mengatakan demikian.” – After The Rain.

Izinkan aku mencintaimu, sayang. Walaupun aku tahu hatimu miliknya.

Ini jeritan bukan rengekan. Jeritan si gadis patah hati yang terpekur di sudut kantin sekolah. Tangisnya memilukan seperti darah segar yang dikucur air garam. Seperti luka menganga yang kembali ditusuk oleh taring drakula. Hisap darahnya! Hisap darahnya! Jangan sia-siakan apapun yang dapat kau renggut dari gadis ini. Setelah itu baru kau boleh pergi.

Kau telah mengambil apa yang paling berharga, sayang. Kau tahu?

Hatiku. Hatiku yang malang. Aku miris melihatnya setiap hari tergores tanpa henti, karenamu!
Aku memberikannya kepadamu karena ku kira di kesempatan kedua kau akan menjaganya, walaupun aku tahu hal itu tetap saja hanyalah sebuah harapan kosong. Kau mengecewakanku, sayang. Kau tahu?

***

“Boleh aku bertanya terbuat dari apakah hati itu? Tak peduli seberapa rindu menghantamnya, seberapa duka menggerusnya, hati masih tetap bersikeras berdenyut. Memanggil-manggil nama yang kucinta.” – After The Rain.

Sejak dahulu memang hanya kau. Yang paling keji dan paling kusayang. Hanya kau yang tahu bagaimana caranya membuatku mabuk kepayang hanya dalam satu poros mata ke mata. Mata yang indah. Tidak akan pernah kulupakan bagaimana rasanya menatap mata itu sepuasnya saat kita bersama. Memang hanya kau yang tahu bagaimana cara membelaiku dengan lembut di tempat yang tepat. Bagaimana menarikku jatuh ke dalam pelukan dan mengecup telingaku dengan lembut.

Aku suka caramu menginginkanku. Liar. Tanpa keraguan sedetikpun. Caramu memandangku dengan buas seperti singa kelaparan. Aku menyukai semua caramu, sayang. Aku merindukannya..

Apakah kau masih ingat bagaimana kau memelukku diantara rak-rak buku di toko buku dekat sekolah? setiap sudutnya kini menggoreskan kenangan di otakku. Bagaimana dengan tempat baru yang kau perlihatkan kepadaku? Di salah satu mall lantai 5 itu. Kau tunjukan pemandangan kota yang membuatku menganga dan rasanya aku tidak ingin berlalu dari sana secepat itu. Kau ingat? Dulu saat hujan, di sekolah, kita bersama, kau ada dalam pelukanku. Aku ingin menikmatinya lebih dari itu sekarang. Dan aku benar-benar menyesal menolak keinginanmu untuk melakukannya di lantai dua. Kau masih ingat? Dulu di Fakultas Teknik Lingkungan di salah satu Universitas tempat aku akan mengikuti tes, kau mengecup bibir ini untuk pertama kali. Aku hanya tersenyum pahit mengingatnya sekarang. Hanya berharap bisa mengulang semuanya kembali.

Jika kau tahu, rasa rindu ini bukan hanya karenamu. Tapi karena caramu memperlakukanku. Tertawa karena candamu dan jatuh ke pelukanmu secara bersamaan. Bisakah kita mengulangnya? Aku merindukan bagaimana rasanya menatapmu secara langsung dengan jarak dekat tanpa pemisah.

Aku bahkan merindukan pertengkaran kita. Saat kita pulang dari mall itu, dan kau memancing emosiku keluar. Semua tumpah. Ditengah banyak orang. Dan kau terdiam, menyadari kesalahan yang kau buat. Hatiku kembali pahit, sayang. Kau tahu?

***

“Tapi kau memang benar, kau lelaki tertampan yang pernah membuatku ingin membunuh berjuta perempuan yang menggilaimu.” – I Love You, Bodoh.

Tampan? Jangan bermimpi, ferret. Bahkan semua orang mengatakan aku sudah buta memilihmu. Tapi mereka orang lain. Aku jatuh cinta kepadamu, bukan mereka. Tapi entah kenapa aku tidak pernah puas memandang wajahmu setiap kali kita bertemu. Aku tidak pernah puas merasakan genggaman tanganmu yang terjalin di jariku dengan kuat. Aku masih ingat betul genggaman itu akan mengeras ketika emosi menderamu seketika.

Aku tidak akan pernah puas. Dan ini semua cukup sampai disini. Tidak akan ada lagi kata kedua atau seterusnya. Tidak akan ada lagi belaian lembut di pinggang yang menyapa setiap kali kita bertemu. Tidak akan ada lagi mata yang menatapku tajam ketika aku melakukan kesalahan. Mata yang menatapku nanar ketika kau memohon untuk kembali ke dalam hidupku dulu, di teras rumahku.

Apakah dulu kau serius untuk memintaku, sayang? Apa itu semua benar? Ataukah itu juga satu dari sejuta kebohonganmu? Yang akhirnya terkuak satu persatu. Menyakitkan jika aku memikirkan alasan dibalik semua kebohongan ini, sayang. Kau tahu?

***

“Tak bisa kuhindari lagi, perkataannya melumpuhkanku. Aku tak pernah menyadari sebelumnya, bahwa satu-satunya hal yang membuatku bahagia adalah keberadaannya.” – Dear Bodoh.

Dan dia pergi. Tanpa alasan yang pasti, dia membuangku. Seperti kuman tidak terpakai yang akan menularkan virus kematian kepada semua orang yang mendekatiku. Seperti onggokan sampah si gadis patah hati yang tidak terpakai lagi.

Aku akui kami jarang berkontak. Bahkan komunikasi kami jauh lebih langka dibandingkan panda cina. Tapi setidaknya kami memiliki satu sama lain. Aku merasa memiliki satu sama lain.

Tapi semua berubah ketika kau mengatakan ini semua sudah berakhir. Semua ini hanya permainan yang tidak perlu ditamatkan dan kau langsung menekan tombol exit karena permainan yang terlalu sulit untuk dilalui. Kau membuangku. Hidupku. Hatiku. Semuanya. Kenangan kita, apakah kau simpan? 30% hatimu yang kau bilang masih tetap tersimpan disana untukku meskipun telah setahun kita berpisah, apakah sekarang masih ada? Gelang dariku, berwarna biru berbentuk resliting, apakah benar kau masih menyimpannya di kamarmu, sayang? Ataukah kau membuangnya karena dia telah mengetahui hubungan kita dan kau lebih memilihnya?

Kau memang Lucifer. Kau selalu tahu bagaimana cara bertindak untuk mencapai tujuanmu. Kau membuatku terbang setiap kali kita bertemu dan membuatku kembali jatuh cinta kepadamu setelah hampir 2 tahun bahkan kita tidak bicara secara intens. Kau tahu benar bagaimana caranya menutupi kebohongan dengan musik yang indah dan membuai. Membuatku terlena dan terlelap. Tanpa sadar kau telah memainkan peran yang sangat luar biasa di banyak panggung sandiwara. Kau paling tahu bagaimana membuat seluruh pertahananku goyah. Pertahanan yang telah aku bangun selama hampir 2 tahun untuk menutup luka yang bahkan tidak bisa aku hilangkan. Semua karenamu. Dan kau kembali menghancurkan semua perban yang kubalutkan. Hingga tidak ada yang tersisa selain lubang hitam tanpa dasar yang mengerikan disana.

Hanya kau, Lucifer, yang tahu bagaimana cara mengiris batinku. Belum ada orang yang berani selancang ini kepadaku. Menyakitiku tanpa ampun. Menutup mata dari rengekanku. Menutup telinga dari jeritanku. Aku mengiba. Aku memohon. Hentikan semua! Tapi kau justru kembali.. perlahan lahan.. membuatku kembali terbuai.. kembali percaya.. dan kembali menghempaskan segalanya!

Salahkah jika aku ingin memutar waktu kembali dan menolakmu ketika kau memohon untuk kembali masuk ke dalam hidupku? Aku hanya berharap memiliki hidup yang normal tanpa ada bekas luka yang berusaha aku sembunyikan. Luka yang membuatku melindungi diriku dari segala bentuk ancaman luka yang baru. Membuat hidupku menjadi tidak sebebas dulu.

Tapi ini semua sudah terlanjur. Yang aku inginkan sekarang hanyalah kau yang selalu disini. Menggelikan ketika aku mendapati kenyataan bahwa luka yang kau sebabkan membutuhkan obat yang ternyata adalah dirimu sendiri. Kau. Hanya kau yang aku butuhkan.

Salahkah jika aku menginginkan kau setia, sayang? Ya. Aku tahu aku salah menginginkannya.

Aku tahu sejak awal aku mengatakan “Ya” ketika aku meminta untuk kembali kepadaku yang kesekian kalinya, hatimu akan tetap menjadi miliknya, selamanya. Tidak akan ada kesempatan untukku merebut ataupun menggesernya dari dalam hatimu. Hanya dia yang kau cinta. Aku menyadarinya, tapi aku hanya diam. Aku egois, sayang. Aku tahu. aku hanya berharap ada sedikit kesempatan untukku merubah kenyataan. Tapi apa yang aku dapatkan? Hey ada luka baru disana! Dan disana! Ah, disana juga ada!

Kau memang Lucifer. Iblis yang mampu memikat sang Ratu surgawi dengan kelembutan belaiannya pada harpa nirwana.

“Hari demi hari pecut yang kau cambukkan kepadaku semakin terasa menyakitkan. Membuatku semakin buta dan liar untuk terus berlari tanpa tujuan. Berlari. Terus. Tanpa henti. Sama seperti dulu. Menutup mata, hati dan pikiranku dari apapun yang mungkin bisa membuat luka itu kembali berdarah.” – Tanpa Dirimu, Aku Bukan Diriku Yang Sekarang Chapter 8.

Hingga akhirnya, kini aku tahu. kau membuangku karena dia. Dia telah kembali. Atau mungkin telah datang. Entah itu ratu yang lama, yang mencari singgasananya yang telah kurenggut. Ataukah dia sang ratu baru yang telah kau incar selama ini namun baru bisa kau takhlukkan. Dialah ratumu sekarang. Dan aku telah tersingkir. Bahkan tidak cukup pantas walau hanya menjadi selir.

Semua berakhir hanya karena satu pesan singkat. Semua sosial media diputus-hubungan. Sms yang tidak kau balas. Telepon yang dijawab dengan hujatan. Inikah caramu membuangku, sayang? Sebegitu hinanya aku sekarang di matamu?

Tapi ketika telah ada ratu baru yang memanjakanmu, apa yang dapat aku perbuat? Aku tidak berkutik. Dialah bahagiamu.

Dan aku kembali disini untuk berlari dan menutup semua celah seperti dulu. Memulai dari awal lagi. Kembali merangkak keluar dari jurang yang dalam. Tempatmu membuangku. Sendiri.


“Udahan aja” 10.25; 26 Oktober 2014.

0 suara netizen:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More