About Me

Thesalonika Olga Valitha Briliane | 23 y.o | Indonesian | Swiftie | @__tukangmaido | Love Green, Like Mango | Jesus Christ

Minggu, 16 Februari 2014

My Wish, All The Time, All The Thing I Could Think


Takdir

Satu kata. Jutaan makna. Satu tujuan yang dapat meremukkan segala sesuatu yang berusaha menentangnya. Satu hal yang hanya bisa dipatuhi. Mengikuti arus yang ada.


Ini kisah tentang anak manusia. Yang berusaha menciptakan takdirnya. Ini kisah tentang dia yang tidak pernah menerima segala sesuatu begitu saja. Ini kisah tentang bagaimana takdir menghancurkannya.




 Berkeping-keping? Bahkan debu masih dapat terlihat. It’s just like she can’t breathe anymore...

Ketika takdir mengatakan tidak dan ia menentang. Ketika ia meminta dengan tangisan serupa darah kepada yang mempunyai hidup. Sebelum. Saat. Dan sesudah ia meminta. Semua sama. Hanya tangis yang pecah. Teriakan putus asa terdengar bagai sangkakala yang menyeruak di semua sudut hatinya. Lutut yang letih untuk terus berlutut dan berdoa. Bersujud menyembah Sang Maha Kuasa. Apapun dilakukannya untuk merubah takdir.

Tapi? Takdir memang kejam. Ya. Semua tetaplah sedia kala. Sang anak manusia kalah.

Ini kisah tentang dua anak manusia yang saling mengaitkan hati dengan melawan takdir. Ketika takdir memisahkan dengan palung terdalam yang dimilikinya. Berusaha menyeberangi kegelapan untuk dapat merengkuh. Kematian terasa jauh lebih memikat.

Ini kisah tentang dua hati yang terjebak ego dan emosi. Ketika kebutuhan dan kebohongan melebur dan meminta tumbal sang anak manusia. Kemunafikan meraja dalam asa yang kelabu dan kelam.

Ini kisah tentang cinta semu. Yang kata semua orang hanyalah sebagai siksaan dunia. Sebagian menyebutnya surga sementara. Ketika seorang anak manusia menyerahkan hatinya untuk dimiliki. Dan yang dilakukan oleh anak yang lain hanya menusuknya dengan belati dan membuangnya.

Tangis pecah seperti darah yang mengalir dengan segar dari lubang belati yang tertinggal. Drakula bangkit dari tidurnya dan menghampiri. Segala penjuru dipenuhi keturunan adam yang siap menggantikan hati sang anak.

Tapi hati sang anak tetaplah tidak tergantikan. Telah berbekas. Lubang besar yang tidak akan menutup sempurna. Belati telah tertancapkan. Takdir berkuasa. Sang anak kembali bersujud kepada Sang Maha Rahim. Tidak melawan takdir. Bukan.

Permohonan konyol yang tidak akan pernah diucapkan orang berotak. Apa karena dia telah tidak berhati? Apa karena dia dihancurkan oleh takdir? Bahkan sang anak tidak mengerti. Hingga kini hati itu masih terus menyala, berdenyut memanggil nama yang dicintainya. Tenaga yang terkuras membuatnya terkulai tanpa daya. Menunggu seseorang dengan kuda putih menjemputnya.

Dalam kegelapan malam. Seorang diri. Dalam sebuah bangunan tua. Sang anak menghadap salib yang agung. Pipinya berkilau terkena cahaya lilin yang terpantul oleh air mata. Bibirnya terbuka selayaknya orang berdoa. Pandangannya menerawang, berusaha mengingat doa lain. Tapi yang dia dapati hanya satu harapan. Harapan yang selalu terngiang di setiap rongga tengkoraknya. Di setiap detik yang dia lalui. Hanya ada satu nama.


“Tuhan, jika memang dia hanya untukku, dekatkanlah. Tapi jika tidak, buat ini semua mudah Tuhan. Aku tidak meminta banyak. Melihatnya tersenyum, melihatnya sehat dengan tawa mengembang di wajahnya. Itu yang ingin aku lihat. Di setiap hariku. Beri dia kesehatan yang cukup. Jangan biarkan dia jatuh sakit. Buat hidupnya bahagia. Beri kesabaran terhadap keluarganya. Jangan biarkan seorangpun menyakitinya. Karena aku mencintainya, Tuhan...”


“Aku tidak meminta aku dapat memilikinya. Karena aku tahu bahagianya bukanlah disisiku. Yang aku ingin hanyalah senyumnya yang tidak henti mengembang. Melihatnya bahagia adalah yang terindah, Tuhan... Beri dia kesehatan yang melimpah.”

Hanya orang bodoh yang mendoakan hal yang dia tahu adalah awal kesakitan luar biasa dalam rongga dadanya sendiri. Tapi sang anak tetaplah berdoa. Dan akhirnya (sepertinya) doa sang anak dikabulkan.

Tetesan air mata pertama berbaur dengan embun malam gulita. Lidah yang terasa asin. Hidung tertusuk dinginnya malam dan terasa pedih. Sang anak berdiri sendiri menatap langit. Minuman setan dalam genggaman. Sedih. Tapi dia bahagia membayangkan yang dia cinta sekarang dapat tertawa.


“Tuhan, tugasku untuk menjaganya sekarang sudah selesai. Kuserahkan dia kepada wanita lain.”

Di malam sunyi. Segala keheningan memekakan telinga. Isak tangis tertahan oleh tegukan minuman setan. Air mata yang leleh bersamaan dengan tertelannya cairan kuning emas ke dalam rongga tenggorokan. Sang anak tersenyum. Sungai kecil di pipinya berkilau tertimpa cahaya lampu jalanan.

Dingin menyergap. Segala persendiannya menjerit minta beristirahat. Tapi yang dia lakukan hanyalah membuka botol kedua. Dan melanjutkan semuanya. Sendiri.

0 suara netizen:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More