About Me

Thesalonika Olga Valitha Briliane | 23 y.o | Indonesian | Swiftie | @__tukangmaido | Love Green, Like Mango | Jesus Christ

Jumat, 21 Desember 2012

Tanpa Dirimu, Aku Bukan Diriku Yang Sekarang *chapter 2

Hingga akhirnya pendaftaran Kandidat OSIS dibuka, aku ikut serta. Dan karena itu aku berhasil menjadi salah satu pengurus OSIS di Periode 2011/2012. Itu membuatku menjadi lebih dikenal di Sekolah Baruku. Tapi entah kenapa hatiku masih belum terpikat sampai saat itu.

Hingga akhirnya dia datang.
Memberi warna pada hidupku. Menyapa hatiku dengan caranya. Membuat senyumku lebih merekah tanpa aku sadari.


Aku tidak pernah membayangkan bahwa dia akan menjadi orang paling bermakna dalam hidupku. Aku juga tidak pernah membayangkan dia jugalah yang menghancurkannya...

02 Oktober 2011, dia menyapaku di jejaring sosial. Lalu kami mengobrol. Dia bertanya "Kamu Illia anak 10 RPL 1 ya?" dan aku membenarkan pertanyaannya dan menanyakan dia mengetahui fakta itu darimana. Ternyata dia satu jurusan denganku dan juga satu angkatan denganku! Oh God, bahkan aku belum pernah melihat dia walaupun hanya sekilas. Aku membuka foto profilnya sekilas, wajahnya seperti anak nakal pada umumnya. Mungkin karena aku belum mengenalnya, jadi aku beranggapan begitu.

Di sore hari dia mengirimi aku pesan. Dia meminta nomor ponselku dan berjanji tidak akan menyebarkannya. Well, apa ini firasatku saja atau ini memang terlalu cepat untuk memasuki tahap 'meminta nomor ponsel'? Hatiku yang paling kecil menjeritkan kata "JANGAN BRENGSEK! HAPUS PESAN ITU DAN ANGGAP SAJA KAU TIDAK KENAL DENGAN BAJINGAN INI!" sekuat tenaga, tapi aku hanya berpikir sebentar, lalu mengangkat bahu. Tidak ada ruginya menambah kenalan dari lain kelas, bukan?

Dan kami mulai saling berkirim pesan singkat. Di hari pertama (03 Oktober 2011) kami berkirim pesan singkat, dia sudah mengatakan perasaannya. Ya Tuhan, bahkan aku belum tahu dia itu siapa, dan dia sudah berani mengungkapkan perasaannya? Ini gila.

---------------------------------------------
"Statusmu kok galau semua sih? Baru putus yaa?" aku memulai mencari topik baru. "Gak baru juga sih, udah agak lama. Tapi galau lagi." "Sabar ya haha. Cari baru dong. Anak RPL 3 kan ceweknya cantik cantik." "Gak mau ah, aku maunya dari RPL 1 aja" degg, alarm dalam hatiku berbunyi keras. Sirene tanda bahaya bermunculan di sekitarku. "Haa? Sapa hayooh haha" "Sapaya? Gak tau. Kamu paling. Haha"
Oh Tuhan, entah kenapa aku melambung.


Dan kini semua terasa manis saat dikenang, sangat manis...

----------------------------------------------


02 Oktober 2011
Hari pertama aku menyadari keberadaan seseorang di dunia ini. Orang yang semula aku kira adalah orang biasa yang tidak akan pernah bisa mempengaruhi hidupku secuilpun.
Tapi ternyata aku salah.

Dia datang, dengan segala janji dan segala bujuk rayunya kepadaku. Kata-kata manis mengisi hariku, dan hatiku. Aku bersikuku dan membatu untuk tetap membatasi hubunganku dengannya sebagai sebatas teman. Well, jujur saja aku tidak pernah mengobrol dengannya, aku juga tidak pernah pergi bersama dia meskipun dalam gerombolan. Aku juga tidak pernah bertegur sapa dengan dia. Kami hanya berhubungan lewat pesan singkat.

Hingga pada akhirnya hatiku hancur untuk pertama kali, karena dia. Dia yang selalu aku banggakan, dia yang selalu aku kagumi. Dia yang selalu aku sayang…

27 Oktober 2011, aku mengetahui kenyataan bahwa dia tidak hanya mendekati aku, tapi juga temanku. Entah apa yang harus aku katakan. Ternyata memang benar pendapatku tentang laki-laki. Semua sama.

Aku memutuskan untuk mengakhiri segalanya sebelum terlambat, sebelum aku terjatuh lebih dalam. Andai semua berbeda, pasti sekarang status hubunganku sudah bukan lagi LAJANG. Shit!

Berhari-hari aku benar-benar tidak berkontak lagi dengannya. Hingga pada akhirnya dia mengirimiku pesan singkat dan hatiku luluh. Kami kembali dekat, bahkan perasaanku lebih tidak terkendali daripada sebelumnya. Aku mulai mengakui bahwa aku jatuh cinta. Hatiku telah memilih dia dari sekian banyak pilihan yang ada. Jangan salah, aku sudah menyadari bahwa aku telah jatuh hati kepada dia sejak lama, tapi aku tidak ingin mengakuinya bahkan meskipun itu hanya kepada diriku sendiri.

Kami semakin dekat dan dekat. Kontan opini kontra dengan hubungan ini semakin membanjiriku. Sahabat, teman, kenalan, saudara, semua orang menentang kedekatanku dengan dia.

“Dia rusak. Kamu kan tahu Adi orangnya kayak gimana! Masa iya kamu mau pacaran sama orang kayak gitu?” sahabatku memprotesku setengah mati saat kami sedang dalam line telepon.

“Aku gak pacaran kok. Aku juga udah tahu dia kayak gimana, tapi ya gimana lagi? Namanya juga udah kadung sayang.” Aku hanya menjawab pasrah. Tapi memang benar, kan? Namanya juga sayang.

“Gimana kalo ada apa-apa?” dia terdengar benar-benar serius. Apa aku menangkap rasa khawatir dalam kalimatnya?

“Hahaha, ada apa-apa gimana coba?” aku pura-pura tidak mengerti. Padahal itu memang ketakutanku yang utama.

“Kamu tahu cara pacaran anak RPL 3 yang cowok kayak gimana aja. Bong, please! Kamu tahu apa yang aku maksud!” Fatih tetap bersikeras.

Hening.

“Bong?” dia kembali memanggil dari ujung sana.

“Aku gak bisa tanpa dia, dok.” Aku mengatakan yang sejujurnya

*Bong, adalah kependekan dari keCEBONG. Panggilan sayang dari sahabatku Fatih.
*Dok, adalah kependekan dari KODOK. Panggilan sayang dari aku untuk dia.

Dan semua orang yang menentangku lama kelamaan tumbang satu per satu. Tumbang bukan berarti mereka langsung menyetujui apa keputusanku. Tapi tumbang disini berarti mereka sudah lelah menyadarkanku.

Sampai pada akhirnya di suatu malam dia memohon diriku untuk menjadi miliknya (untuk yang ke sekian kalinya). Dan (untuk yang ke sekian kalinya) aku kembali menolaknya. Bukan karena aku hanya mempermainkan dia, aku hanya ragu.

Dan keraguanku terbayarkan. Tepat keesokan harinya aku mendapati dia telah menjalin hubungan dengan seseorang yang juga satu sekolah dengan kami.

Yang ada dalam pikiranku saat itu hanya aku ingin mencari palu gada, lalu berlari ke arahnya, dan mengarahkan palu itu ke dadanya. Agar dia tahu bagaimana perasaanku sekarang.

Berminggu-minggu kami tidak berkontak lagi (seperti dulu). Tidak ada ucapan selamat tinggal. Tidak ada ucapan sampai jumpa. Hilang tak berbekas.

Dan (seperti dulu) dia kembali datang. Dengan segala kekurangannya dia menghampiriku kembali, setelah apa yang dia lakukan. Ya, dia datang. Tanpa permintaan maaf, tanpa rayuan. Hanya dengan satu kalimat “aku kangen.” dan aku kembali terjerat. Jauh lebih dalam.

Dan aku sadar aku memang benar-benar tidak bisa lepas darinya.

Aku sadar dia telah dimiliki oleh orang lain, tapi di sisi lain aku tidak bisa pergi dari situasi ini. Aku nyaman saat aku sedang bertukar pesan dengan dia di malam hari. Senyumku selalu mengembang saat aku melihat namanya muncul di layar ponselku atau saat aku melihat sekelebat bayangannya disekitarku.

Dan disetiap senyuman itu datang, kesedihan seperti tidak tinggal diam. Setiap ada bayangan dan namanya, kalimat “Dia telah dimiliki orang lain brengsek!” selalu terngiang. Damn! Hidupku tidak pernah tenang sejak dia masuk kedalamnya dan mengubah alurnya.


Setiap malam selalu menjadi ‘galaunite’ bagiku. Ucapkan terima kasih kepada dia yang melakukan ini semua. Dilema berputar disekitarku. Antara pergi atau tinggal. Antara bertahan atau menyerah. Antara maju atau mundur.
Hah. Dimana kau yang dulu Illia? Ini mudah bukan? Ini bukan pilihan yang sulit kok. Ayolah…

Hatiku mengingatkan. Yeah, ini bukan pilihan yang sulit, bahkan terhitung sangat mudah. Tapi dia yang membuat ini semua menjadi sulit.

“Gimana bisa aku nerima kamu? Nasibnya pacarmu gimana nanti?”

“Kalo aku mutusin pacarku kamu mau jadi pacarku?”

Oh God, satu korban. Aku mengigit bibirku. Satu pilihan kembali muncul, antara ya dan tidak.
10 menit, dan dia kembali mengirimiku pesan singkat.
“Aku putus.”

What the Heck! Apa maunya yang sebenarnya? Aku bahkan belum menjawab Ya atau Tidak.

Tapi keesokan harinya aku mendapati status hubungannya di jejaring sosial masih berpacaran. Tuhan tabahkan aku…

3 kejadian seperti itu berturut-turut. Dan selalu ketahuan olehku. Sampai pada akhirnya aku memenangkan satu permintaan dari taruhan kami. Aku meminta dia pergi menjauh. Kita mulai kehidupan baru. Pura-pura tidak pernah saling mengenal. Dan melanjutkan kehidupan sendiri-sendiri.

Dia mengiyakan. Hatiku teriris detik itu juga. Tuhan, tolong aku…

Sekitar awal Januari, aku mengetahui fakta dia benar-benar mengakhiri hubungannya yang baru berumur sebiji jagung itu. Dan lagi, aku mendapati fakta bahwa perempuan itu telah mengetahui hubunganku dengan dia. Seketika jantungku berhenti.

“Jangan bilang statusnya Dessi buat aku?” itulah pertama kalinya aku menyebut nama perempuan itu dipesan kami. Itu jugalah pertama kalinya aku mengirimi dia pesan terlebih dahulu.

“Bukan, itu buat anak kelas 12 yang udah aku anggep kakakku sendiri.”


Aku sedikit tenang. Semua kata-katanya selalu aku percayai walau aku tahu itu semua palsu.




TO BE CONTINUE

0 suara netizen:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More