About Me

Thesalonika Olga Valitha Briliane | 23 y.o | Indonesian | Swiftie | @__tukangmaido | Love Green, Like Mango | Jesus Christ

Minggu, 13 Juli 2014

Butterfly in My Darkness


Hias pekatnya malam
Penuh gemerlap nan elok
Hadir tanpa sambutan

Kupu-kupu malam
Tanpa kejujuran
Lambang laknat dan dosa

Topeng terpasang di setiap denyut kehidupan
Tanpa cela, tanpa cacat
Mengikuti roda berputar tanpa arah

Hati putih, siapa yang tahu?
Kemilau yang tertutup topeng hitam
Hanya malam yang memperlihatkan

Mereka bersembunyi bersama luka
Diiringi tangisan terpendam
Dendam yang bertalu dalam jiwa
Mengubah nurani sang malaikat

Sang penggoda malam
Bermain dengan bintang dan bulan
Sang penggoda malam
Tanpa melihat siang terluka

Cabikan dunia tak ternilai
Hujatan tertelan gulita
Kupu-kupu malam bermain
Hanya itu yang bisa mereka lakukan

Kupu-kupu malam
Hiasi kelamnya dunia
Menutup kepahitan dengan dosa
Menutup luka dengan hiburan

Hati berdarah, siapa yang tahu?
Pelampiasan masa lalu yang tertoreh
Luka menganga
Memecut mereka terbang pergi

Kupu-kupu malam
Terus terbang dan sembunyi
Bermain dengan malam

Mencari naungan
Menutup airmata
Tak terlihat
Menyimpan hasrat

Kupu-kupu malam
Mengharap pertolongan
Mengubur pengharapan
Tuhan masih melihatnya

“She’s just like a butterfly. Awesome to see, but hard to catch.” – Annonymous.

Tanpa Dirimu, Aku Bukan Diriku Yang Sekarang *chapter 6





Sejak malam itu aku tidak pernah berhenti berpikiran negative tentangmu. Kau yang sedang berkontak dengannya. Kau yang sedang bersamanya. Kau yang masih mencintainya...

Dan di minggu malam, tepat keesokan harinya, aku mendapati diriku menemukan Private Message di BBMmu bertuliskan inisial namanya. Hatiku seperti ditancapi pedang secara perlahan.

Inikah yang kau katakan tidak ada apapun diantara kalian? Inikah yang kau katakan aku bisa memercayaimu? Inikah yang kau katakan sudah tidak ada apapun diantara kalian? Fuck off.

Aku meluapkan semuanya malam itu. Rasa kecewaku yang begitu besar benar-benar menguasaiku. Airmata seperti telah lelah untuk keluar dan mataku kering. Tapi hatiku seperti banjir darah. Pedang yang ada disana seperti bermain petak umpet. Masuk perlahan, berputar, ditarik perlahan, dan kembali masuk. Hatiku berteriak. Tapi aku seperti terlalu lelah untuk mendengarkannya.

“Bisa kau jelaskan apa ini? :)” aku mengirimkan chat itu bersama dengan Screen Capture yang menjadi bukti nyata. “A-E-M” dan dibawahnya tertuliskan “7 menit yg lalu”.

Menunggu balasanmu terasa seperti setahun.

Kau mengatakan itu hanya tantangan. Apakah aku bisa memercayainya? Hatiku terlalu lelah untuk bisa mengatakan YA. Berapa kali kepercayaan itu kau patahkan, sayang? Haruskah kali ini aku kembali membangun kepercayaan untukmu hanya agar kau bisa memecahkannya kembali seperti yang biasa kau lakukan?

Aku lelah. Pundakku terkulai di tempat tidur. Semua hal terasa mengganggu.

Di hari-hari terakhir aku menjalin hubungan denganmu, sekitar bulan April tahun 2012, setiap hari terasa seperti menggoreskan satu kenangan. Dan akhirnya semua kenangan pahit itu telah berhasil aku tutup dan aku simpan di sudut. Semua kepingan telah aku bereskan dan aku tutup rapat bersama dengan semua rasa janggal itu. Semua rasa yang tidak pernah aku bayangkan dapat aku miliki ketika aku bersamamu.


Semua penjelasanmu terasa seperti angin lalu. berapa kali aku harus mendengarkan penjelasan yang sama? Ataukah aku dapat menyebutnya kebohongan yang sama?

All this time I was wasting, hoping you would come around

Berapa kali lagi aku harus memercayaimu, sayang? Haruskah aku menyerah sekarang? Setelah semua yang aku perjuangkan selama ini?

I’ve been giving out chances everytime

Berapa kali aku harus kembali terluka untuk membuatmu menyadari cinta yang aku miliki terlalu besar?

But all you do is let me down     

Pernahkah kau sekali saja memikirkan tentang hatiku, sayang?

Hati yang telah memercayaimu sejak pertama kali merasakan kehadiranmu didalamnya.
Hati yang pernah mencintaimu sepenuhnya.
Hati yang kau siksa sebelum akhirnya dapat memilikimu seutuhnya.
Hati yang pernah kau siksa dengan ketidakpedulianmu dan ketidakhadiranmu dalam hidupnya.
Hati yang kau pukul dan kau bunuh dalam satu helaan nafas.
Hati yang telah terbiasa merasakan kehampaan tanpa hadirmu.
Hati yang tanpa lelah terus menjerit mengiyakan saat kau menawarkan kata kembali, meskipun aku terus menghiraukannya.
Hati yang kembali kau bangkitkan secara perlahan, meskipun aku terus menolak.
Hati yang kembali percaya. Tapi kini kembali kau bunuh. Lagi.

Apa aku masih bisa percaya lagi? Semua kenyataan ini terlalu terburu-buru. Tapi— hey! Mau sampai kapanpun, cepat atau lambat aku memang harus mengakui kenyataan bukan? Sepahit apapun kenyataan itu aku harus mengakui dan menerimanya. Kau pernah mengajarkan padaku bahwa tidak semua kenyataan itu mudah untuk diterima.

Semalaman aku tidak bisa tidur. Kepalaku pusing dan mataku perih. Hatiku berdenyut dan dadaku terasa sesak setiap kali aku menarik nafas. Serbuan dari jutaan kenangan selalu menyerangku tiap kali aku memaksa untuk memejamkan mata. Kenangan pahit yang dulunya berhasil aku tutup terasa seperti kotak Pandora yang terbuka. Membuat segalanya melesat ke segala ruang dalam otakku, memaksaku untuk mengingat semua rasa sakit itu. Rasanya ditinggalkan. Rasanya kehilangan. Semua perasaan yang tidak ingin aku rasakan lagi. Semua perasaan brengsek yang sudah aku hapuskan dari dalam hidupku. Semua kenyataan yang selalu aku hindari.

Otakku kembali mengingatkan aku akan hari-hari kosong yang aku lalui dengan terus berlari menghindari kenyataan. Tidak pernah berdiam diri. Selalu menyambar segala kesempatan untuk menyibukkan diri akan acara apapun. Membuat diriku seaktif mungkin. Dengan begitu segala perhatianku akan teralihkan dengan rutinitas dan segala hal yang menggangguku akan terlupakan.

Tapi sekarang? Apa yang akan aku gunakan untuk mengalihkan perhatian? Semua pria yang mendekatiku telah aku buang. Semua hubunganku dengan pria-pria yang sempat dekat denganku telah aku belokkan menjadi persahabatan atau bahkan lostcontact. Semua kegiatan telah habis bersih karena status LULUS yang telah aku sandang.

Aku memiringkan kepala, berusaha menghapus segala ingatan haram itu dari otakku. Aku tertidur. Entah bagaimana hal itu harus terjadi. Aku harus tidur karena besok akan menjadi hari penentuanku di sekolah tentang nama baik yang sedang aku dan teman-temanku pertaruhkan. Besok adalah rapat besar. Rapat yang aku nantikan sejak malam prompnite akan diadakan besok. Rapat ini akan menentukan kemana nama baik kami dibawa. Bukan. Nama baikku. Mereka bersalah, aku tidak. Itu permasalahannya disini. Sangat rumit. Aku tidak akan menceritakannya.

Rasanya detik itu juga aku ingin merobek retinaku yang tanpa ampun memutar semua kenangan itu seperti film dan tidur dengan lelap. Tapi aku mendapati diriku tidur dengan mimpi yang sama. Setelah bertahun-tahun, mimpi itu kembali hadir. Punggung yang berbalik lalu menghadap ke arahku. Langkah kaki yang semakin menjauh. Mulutku yang terus berteriak. Memohon. Mengemis. Agar mereka semua tetap tinggal. Tapi aku mendapati mereka telah ditelan ke dalam kegelapan.

Dan aku terbangun.


3 Juni 2014.

Hari selasa. Yang itu artinya itu adalah hari padat. Aku bangun, mandi dan berangkat ke sekolah untuk mengurus lanjutan acara terakhirku.

Tinggal satu acara, Wisuda Angkatan, yang didalamnya aku menjabat sebagai Sekretaris. Dan aku bersyukur karena itu adalah acara besar, sementara ketua panitiaku sama seperti sampah tidak berguna, dan guru-guru yang selalu bertengkar tanpa memikirkan segala kebutuhan, dan aku ada disana sebagai motor penggerak acara, yang itu artinya tidak ada istirahat bagiku dan otakku untuk memikirkan hal lain.

“Kau tahu apa yang mereka katakan?” Argo menanyakan pertanyaan retoris kepadaku sebagai pembuka berita siang itu. Aku hanya terus menatapnya tanpa mengalihkan pandangan menuntutku.
“Aku bertanya kepada mereka dengan nada paling sopan ‘Permisi pak, saya mau bertanya rapat dimulai pukul berapa? Dan ini anak-anak panitia wisuda jadi dilibatkan atau tidak?’” dia  terdiam kepadaku, menatapku nanar. Semakin meyakinkanku bahwa berita ini dapat membuatku meledak di penghujung kalimatnya. Aku tetap berusaha tenang menantikan lanjutan beritanya.
“Kau tahu apa yang dikatakannya? ‘Anak-anak? Tidak perlu.’” Dia menirukan aksen salah satu guru kami dengan lihai. Terlihat dari air mukanya bahwa dia geram dan ingin segera meninju guru itu sambil menanyakan dimana salah kami kepada mereka.

Aku hanya diam. Posisi berdiri yang aku ambil sejak 30 menit yang lalu tetap aku tempati. Tanganku terlipat di depan dada, sedangkan yang satunya naik untuk memijat pelipisku. Apa yang terjadi dalam hidupku? Semua kekacauan datang dalam hitungan detik. Sanggupkah aku melalui ini semua, Tuhan?

Sudah cukup. Topengku telah terkikis habis dan aku belum sempat membangun yang baru.

“Lalu kenapa kita masih disini?” aku sengaja berteriak agar suaraku sampai ke dalam aula dan ke dalam telinga para pemangku jabatan itu. “Jelas-jelas mereka tidak membutuhkan kita, kan? Lalu untuk apa kita disini? Sebaiknya kita segera pergi dan pulang ke rumah masing-masing jika MEREKA memang merasa kita hanya merepotkan!”

“Tenanglah, Illia.” Fatih berkata dengan nada memerintah. Terlihat dari raut mukanya dia juga kehabisan kesabaran. “Well, mungkin kita bisa menawarkan untuk memberikan mereka keleluasaan untuk mempersiapkan konsep. Tugas kita hanya menagih pembayaran wisuda kepada siswa. Lagipula—”

“What you say?” aku mendapati suaraku melengking karena emosi yang berusaha aku tahan walaupun gagal. Wajahnya terlihat kaget dan waspada, membuatku diliputi penyesalan telah membentaknya seperti itu. “Kalau tugas kita hanya seperti itu untuk apa kita dibentuk?”
Aku berpaling kepada Argo, ketua panitiaku. “Kau ingat surat yang kau buat pertama kali? Surat pemberitahuan wisuda? Yang dilampiri rincian anggaran?” dia mengangguk tanpa melihatku. Tatapannya seperti ingin menyentuh tanah dan minta ditelan bulat-bulat.
“Kau ingat seperti apa kepala suratnya? Kau ingat? Tidak ada logo sekolah kita disana! Surat itu dibuat atas nama panitia! Bukan atas nama sekolah! Semua ini dirancang atas nama kita! Jadi kalau ada sesuatu yang terjadi, yang pertama kali harus menanggungnya adalah kau sebagai ketua panitianya!” aku menunjuknya dengan jari telunjukku yang bergetar lalu menyentuh pelipisku dan mengetuk-ngetuknya, menegaskan agar dia memakai otaknya kali ini. Mataku menyipit. Emosi benar-benar membuatku meluapkan segalanya.

“Dan kau, Fatih.” Aku berpaling kepadanya. Matanya bertemu mataku. Emosi bertemu emosi. Kemarahan bertemu kemarahan. Tapi setidaknya aku tidak menemukan kepedihan disana.
“Jika memang tugas kita hanya menagih pembayaran kepada para siswa, kenapa tidak sekalian melimpahkan semuanya kepada mereka? Kenapa harus kita yang langsung bertemu sang ‘objek’ sedangkan mereka menikmati hasilnya? Tidak merasakan tatapan tidak mengenakkan dari beberapa siswa. Aku lebih memilih sekalian membubarkan kepanitiaan ini. Terlebih lagi mengingat surat keputusan atas kepanitiaan kita belum dibuat sampai detik ini, itu menyatakan secara tidak langsung bahwa kita tidak resmi.”

Mereka berdua terdiam. Teman-temanku dan anak-anak pengurus OSIS kelas X dan XI yang ada di sekitar sana, yang semula sedang mengobrol satu sama lain, kini ikut terdiam. Mereka melihatku dengan takut karena suaraku yang tinggi. Ekspresi wajahku tidak terdefinisi. Aku merasakan tanganku berkeringat. Keningku berkerut. Dadaku naik-turun, berusaha memompa udara untuk masuk secepat mungkin ke dalam paru-paruku. Seketika aku merasakan migrainku menyerang. Sial. Kemana perginya otak kedua orang ini? Apa mereka belum sadar mereka diperalat? Bahkan aku yang telah sadar tapi memanfaatkan kesibukan ini untuk urusan pribadiku saja rasanya ingin cepat pergi dari sini

Tanganku kembali bersilang dan memijat tulang hidungku. “Brengsek.” Aku memaki dengan keras. Argo dan Fatih masih terdiam.

Tentu saja aku sadar dimana aku sekarang. Aku sedang berada di luar ruang rapat besar. Dimana didalamnya ada beberapa guru dan sudah pasti mereka bisa mendengar aku marah-marah dan mendengar makianku. Tapi aku tidak peduli lagi. Apapun resikonya akan aku tanggung. Yang perlu aku lakukan sekarang hanyalah menarik perhatian mereka agar aku bisa menanyakan dimana kesalahan kami dan meluruskan kerja sama ini secepatnya.

Belum lagi permasalahan keluarga yang sedang genting-gentingnya dirumah. Sang anak ‘kesayangan’ sedang membangun kediaman baru yang secara tidak langsung mengakibatkan dampak negatif terhadap rumahku karena posisinya yang melekat di sisi rumahku. Mama yang setiap hari bertambah sensitif karena hal itu. Setiap malam yang aku dengar hanyalah makian yang semakin kasar di dalam rumah. Semua yang aku lakukan selalu salah. Ditambah suara tangisan dari mama yang menggema setiap malam ketika sedang terhubung dengan Adik-Nenekku lewat line telepon. Semuanya rumit. Setiap hari yang aku lakukan hanya mengibaskan tangan setiap kali mama mulai memaki dan aku menghabiskan malam itu di teras atau ruang setrika (yang sekarang aku jelma menjadi ruang kerja).

Bercerita? Mana mungkin? Hanya alkohol yang bisa mengerti aku. Aku tidak membutuhkan dosis tinggi. Vodka mix atau beer eceran yang cukup untuk memberikan kehangatan dan ketenangan. Itulah yang aku butuhkan di setiap malam. Toh juga percuma aku bercerita, tidak akan ada yang mengerti. Tidak akan ada yang peduli. Mereka hanya bisa mendengar, bukan mendengarkan. Mereka hanya bisa melihat, bukan mengamati. Mereka hanya bisa tahu, bukan mengerti. Dan itu hanya menambah rasa terbebani di dalam diriku.

Pikiranku kembali tersedot ke malam itu. Aku bertengkar dengan mama dan akhirnya memutuskan untuk pergi ke puncak di dekat rumahku. Sebotol vodka mix ada di tanganku. Sparkling wine. Aku menenggaknya sambil memikirkan semua masalah ini dan aku mulai tenang. Cairan bening berwarna putih dan kuning berbaur di sekitar mulutku. Mataku menangis tapi aku berpura-pura tidak merasakannya. Kenapa semua ini terjadi begitu saja? Begitu cepat. Tanpa jeda. Kemanapun aku melangkah rasanya seperti masalah selalu membuntutiku dan aku tidak bisa melepaskan diri dari mereka.

Berkali-kali aku sempat berpikir untuk mencari pisau dan merobek nadiku dan mengakhiri ini semua sekaligus.
Setiap kali aku menyeberang atau melihat mobil lewat, yang ada di dalam pikiranku hanyalah berlari dan menyerbunya. Berharap dengan begitu aku dapat menyelesaikan ini semua.
Dan kali itu aku juga tidak luput akan keinginan untuk melompat dari jurang itu. Dorongan alkohol yang remang-remang aku rasakan membuat keinginanku semakin kuat.

Pikiranku kembali kepadaku dan membuat migrainku semakin parah. Aku duduk di samping Fatih dan mengusap wajah dengan dua tangan. “Maaf.” Gumamku. Keheningan di sekitarku membuatku semakin gelisah. Tidak ada lagi yang mengobrol seperti tadi. Helaan nafasku semakin terasa kentara karena ditunjang dengan keheningan yang ada. Semua perhatian tersedot ke arah kami bertiga. Rasanya ingin sekali aku menangis disana jika aku tidak memikirkan wibawaku dihadapan semua anak buahku. Rasa terbuang ini membuatku muak.

Jam 1 siang. Teman-temanku panitia katalog masuk ke dalam aula dan mengikuti rapat. Sementara panitia wisuda memilih untuk menunggu di luar ruangan. Bukan berharap dipanggil. Kami hanya berusaha menguatkan teman-teman kami yang sedang berjuang di dalam sana.

Nama baikku juga sedang aku perjuangkan diam-diam disini. Tapi mengingat luapan emosiku tadi, semuanya terasa seperti menyentuh angka 0 dan -1.

Tiba-tiba namaku terpanggil. “Illia tidak hadir? Tidak masuk hari ini?” suara dari orang yang sejak dulu sudah aku anggap ayah sendiri. Yang tidak dapat aku pungkiri beberapa hari yang lalu sempat marah besar secara pribadi kepadaku dan Faiz meskipun itu bukan kesalahanku. Suara itu membuat perutku bergejolak dan mengangkat tangan secara otomatis, lupa bahwa sekarang aku ada di luar ruangan. “Illia mana?” beliau memanggil namaku sekali lagi. Namaku. Bukan Argo sebagai ketua panitia. Bukan Fatih sebagai aktivis yang ada di dalam ruangan. Aku.

Aku terperanjat dan berdiri. Kepalaku mengintip ke balik pintu dan menarik perhatian dari guru yang memanggilku. “Kemarilah, nak. Sedang apa kau di luar sana?” beliau bertanya penuh kebingungan. Kebingungan atau basa-basi?

“Tadi ada yang mengatakan kepada salah satu dari kami bahwa kami tidak dibutuhkan, pak. Jadi kami memilih untuk menunggu di luar ketimbang kami dirasa mengganggu.” Aku menancapkan tiga suku kata terakhir kepada guru yang tadi dapat dikatakan mengusir kami yang duduk di samping beliau. Guru itu hanya melihatku dan melotot. Yang aku balas dengan tatapan menantang. Daguku terangkat. Terdengar sedikit dengungan karena pernyataan yang aku lontarkan.

Dari pemanggilan nama itulah aku memulai rutinitasku seperti biasanya. Menjelaskan kepada guru-guru yang membutuhkan penjelasan tentang survey-survey pasar yang telah panitia lakukan belakangan ini. Bertanya-jawab dengan beberapa orang tentang konsep yang sedang kami rancang untuk acara kami. Memberikan saran dan masukan yang dominan selalu diterima dengan baik oleh mereka.

Tuhan, jika engkau memang menciptakan dan menghendaki manusia berbuat jujur, kenapa selalu ada kebohongan dan topeng kemunafikan yang membuat kejujuran itu terlihat sebagai onggokan sampah tak terpakai diantara kami?

Sampai akhirnya saat yang kami nantikan sejak tadi tiba. Penyelesaian konflik batin antara siswa dengan beberapa staff dalam sekolah.

Baru saja kelima panitia katalog dan satu desainer berjalan ke depan dan hadirin sudah berkonfrontasi sambil menunjuk-nunjuk mereka tanpa ampun. Sebesar inikah masalahnya? Batinku terkoyak mendengar kata “ya” terlintas perlahan dalam otakku.

Semua penjelasan dari sang ketua panitia membuat guru-guru diam. Entah karena memberikan kesempatan untuk berbicara ataukah karena mereka benar-benar meresapi. Tapi aku mendapati salah satu peserta rapat berdiri dan meluapkan emosinya. Matanya melotot, menandakan emosi yang tidak terbendung. Bibirnya mengeluarkan bentakan yang setahuku tidak pernah aku dengar selama aku mengenal beliau.

Guru agama yang duduk di sampingku berdiri dan angkat bicara. Beliau, yang terkenal sebagai orang paling sabar yang pernah mengajar di sekolahku, bahkan ikut bersuara.

“...saya pribadi benar-benar kecewa atas apa yang telah kalian buat. Apakah saya belum pernah mengajarkan kalian apa itu norma dan moral?...” kilasan kata-kata yang aku dengar benar-benar membuat aku tertunduk. Kapan ini berakhir, Tuhan?

Salah satu guru tertua ikut berbicara. Aku tahu, ketika beliau berbicara pastilah pokok permasalahan akan terbahas tuntas dalam sekejap. Aku menguatkan hatiku untuk menatap wajah beliau yang penuh guratan emosi. Wajahnya tidak tampak cantik seperti biasanya. Wajahnya melukiskan, apa istilahnya? Luka?

“Saya tahu, nak. Kalian-kalian itu adalah murid-murid kami yang paling baik, cantik, ganteng, cerdas, anak-anakku...” benarkah itu yang kau pikirkan tentang kami, ibu? Dalam sekejap aku kembali tertunduk dan langsung menangis dalam diam. Tanganku kembali bersilang di dada dan memijat tulang hidungku. Lebih karena ingin menyembunyikan airmata yang mulai menetes deras.
“Dan anda, Siswanto. Pernahkah anda berpikir dalam pembuatan desain itu? Anda sebagai anak Ambalan seharusnya tahu benar tentang simbol sekolah yang tidak boleh sembarangan diolah...” sisa kata-katanya terlalu miris untuk aku ingat. Tangisku semakin deras dan aku terisak. Disampingku, Nanda menghadap ke arahku dan mengusap-usap pundakku, berusaha menenangkanku.
“...saya tahu, mbak, mas, kalian itu top-topnya OSIS. Saya tahu. Itulah kenapa kalian ada disini sekarang.” Mendengar organisasi itu disebut, hatiku kembali terkoyak. Haruskan menghubung-hubungkan permasalahan ini dengan organisasi yang telah membangkitkan namaku di seantero kota?

Semua kata-kata kekecewaan diwakilkan oleh satu puisi karangan para guru. Puisi yang benar-benar menggambarkan emosi dan perang dingin selama beberapa hari ini. Puisi yang seakan berusaha merobek pertahanan terakhirku untuk tidak berlari ke depan, menyambar mic, dan bertanya kepada mereka semua apa hubungan antara masalah ini dengan panitia wisuda yang jelas-jelas tidak ada sangkut pautnya? Kenapa kami ikut disalahkan? Padahal kami bahkan tidak tahu menahu tentang permasalahan ini sebelum permasalahannya meledak!

Tapi aku kembali terdiam. Topengku kembali terpasang. Aku mendapati diriku tetap duduk manis sambil menahan isak yang semakin dalam memikirkan ini semua. Persetan dengan orang-orang yang melihatku dengan tatapan cih-air-mata-buaya dan memalingkan muka.

Ya, well, jujur dari dalam hatiku aku menghormati mereka. Sungguh. Meskipun tidak sedikit dari mereka sangat menjengkelkan dan menyusahkan. Tapi aku selalu menghormati mereka sebagai guruku dan menaruh salut tersendiri dengan cara mereka mengajar kami. Toh juga tidak mungkin jika tidak ada yang menjengkelkan dalam sekelompok manusia, bukan? Itu semua mengajariku toleransi.

Tapi masalah ini benar-benar menguras pemikiranku tentang mereka. Meskipun pada akhirnya aku tetap berusaha menaruh hormatku terhadap mereka yang bahkan aku lihat sedang berkonfrontasi sambil berdiri dan raut wajah penuh pancaran murka.

Aku sampai dirumah saat petang. Seperti dugaanku, tanpa komunikasi denganmu pun hariku akan tetap berjalan dengan cepat jika dialih-fokuskan. Semoga ini dapat berlangsung lama.

Setidaknya itu harapanku, sebelum akhirnya aku membuka BBM dan kau mengomentari salah satu Private Message yang aku buat.

“Aku bukan milik siapa-siapa, Il. Aku milik Tuhanku.”

Nonsense. Kau –mungkin- memang bukan milik siapapun, tapi hatimu miliknya. Bukan begitu?

Segala percakapan mulai mengalir. Percakapan yang menyudutkanku. Secara kebetulan anjing yang dipeliharanya mati tepat di malam kami bertengkar. Aku tidak dapat menyalahkannya kalau rasa duka itu masih ada di hari kedua. Tapi mengabaikanku itu hal lain.

Aku mendapat perasaan kau hanya menghindari topik ini. Tidak memiliki jawaban, sayang? Takut segalanya terbongkar sekarang? Saat dia hanya menggantungkanmu dan kau butuh tempat berlari sementara—aku. Kau takut tempat berlarimu hilang?


“DPnya mantanmu bagus tuh. Haha” aku mulai memancingmu. Tidak. Aku langsung menumpahkan segala kenyataan di depanmu.

“Gak peduli.”

Lalu? Aku harus bagaimana agar kau peduli? Kau tidak peduli karena kau sedang berduka atau kau memang menghindari kenyataan, Adi?

Ini konyol. Siapa yang seharusnya terluka disini? Haruskah aku kembali berpura-pura baik-baik saja seperti biasanya dan diam sambil menahan sakit?

Seperti biasa, aku selalu tertidur saat hari telah berganti dan terbangun dengan mata berdenyut karena lelah. Rutinitasku (minus berkontak denganmu) berjalan seperti biasa. Topeng yang aku kenakan begitu sempurna. Tidak akan ada yang mengetahui bahwa sebenarnya aku sedang mengalami guncangan-guncangan itu. Tidak boleh ada yang tahu. Ke-tahu-an mereka akan hal ini hanya akan menambah rasa kecewaku karena kesalahan mereka dalam memahami permasalahan yang ada.

Setidaknya di hari Rabu itu ada sedikit pelipur lara. Semua guru yang menjalankan diam seribu bahasa kepada kami, panitia wisuda, telah mulai mengikutsertakan kami dan mengajak kami berbicara. Berani bertaruh rasanya seperti akan melayang karena ada beban yang terlepas dalam diriku. Sungguh rasanya luar biasa, bahkan setelah melewati pagi yang menegangkan dan diobati dengan keputusan untuk cuti selama satu hari (yang ditolak mentah-mentah oleh Argo, meskipun akhirnya aku tetap pergi setelah memastikan semua agenda hari itu telah dibereskan). Tapi sore harinya aku kembali ke sekolah dan membantu tiga panitia yang masih tinggal di sekolah serta bapak-ibu guru yang masih ada disana. Argo dan Fatih tidak ada disana, aku mendapatkan laporan mereka telah pulang beberapa menit setelah aku pulang. Apa-apaan ini?

Lagi-lagi aku pulang petang. Malam menyambutku saat aku menginjakkan kaki di teras rumah. Tanpa menunggu apapun aku berganti pakaian dan tertidur. Terlalu lega untuk memikirkan masalah lain, baik itu suasana rumah ataupun dirimu.


5 Juni 2014

Tapi keesokan harinya aku mendapatkan kejutan lain.

Kau. Bersamanya. Berdua. Kemanapun kaki kalian melangkah. Di lingkup sekolah. Dan menyadari aku ada disana. Menatap kalian dengan rasa tidak percaya dan berusaha tidak peduli.

Hatiku menjerit. Tapi logikaku berkata tegas. He’s not yours anymore, Illia.

Ya. Dia bukan milikku lagi. Well, dia dulunya milikku tapi wanita jalang itu merebutnya dariku. Terima kasih, sahabat. Jika ada kata-kata yang dapat aku katakan kepadamu, terima kasih adalah hal pertama yang akan aku katakan. Jika kau menginginkan bonus, aku tidak keberatan untuk menampar wajahmu dan meninju senyum munafikmu itu.

Memikirkan dan menanti rapat yang akan diadakan pukul satu siang sudah cukup memacu adrenalinku. Ditambah semua persiapan wisuda yang dibutuhkan. Dan ditambah sentuhan terakhir; melihat kalian terus menerus bersama sepanjang hari. Otakku kacau. Kesibukan terus menemaniku hari itu. Dan diam-diam aku sangat berterima kasih karenanya. Dengan begitu setidaknya aku tidak sempat memikirkan kalian yang sedang berduaan disana tanpa peduli bagaimana perasaanku tentang itu semua.

Brengsek.

Hatiku terus memaki detik demi detik. Tanpa ampun. Semua kesibukan berbaur dengan suasana hatiku yang tidak dapat aku toleransi lagi. Pekerjaanku kacau. Dan semua itu ditutup dengan rapat besar bersama beberapa pengurus OSIS, Ambalan dan Paskibra.

Di tengah rapat aku selalu mondar-mandir kesana-kemari untuk menjelaskan kepada beberapa pihak yang terlibat namun kurang mengerti, seperti biasa. Hampir tidak terhitung saat aku juga maju ke depan untuk menanyakan dan berdiskusi langsung kepada para guru yang memimpin rapat tentang konsep-konsep yang kurang sejalur dan agak mengganjal.

Ketika tiba giliranku untuk mendiskusikan masalah kesekretariatan tentang daftar tamu undangan, aku maju ke depan dan berdiskusi dengan Sekretaris dari pihak sekolah. Aku duduk dengan santai dan mendiskusikan siapa-siapa yang akan kita undang di acara wisuda tahun ini selama beberapa menit.

Dan ketika aku berdiri untuk undur diri kembali ke tempat dudukku di belakang, rasanya seperti ada palu gada yang diayunkan ke tengkukku sekeras mungkin. Aku kaget setengah mati melihatmu bersama dengannya, di hadapanku, di parkiran motor. Bisa kalian tebak? Ya. Mereka pulang bersama.

Kau melihatku. Tatapan tanpa emosi. Datar. Dingin. Tatapan yang selalu membuat sesuatu bangkit dari dalam diriku. Seperti sekarang.

Mataku kembali panas. Tapi aku mengerjap. Sedetik kemudian aku mendapati diriku mengatakan “Terima kasih, pak. Selamat siang.” Dan kembali berjalan ke tempat duduk. Topeng yang hebat, Illia. Ketika aku duduk, aku mendengar suara motor yang melaju kencang dari sisi kananku dan aku hanya memejamkan mata.


Kau memang seperti Lucifer. Kejam. Arogan. Selalu mendapatkan apa yang kau inginkan.

Tanpa Dirimu, Aku Bukan Diriku Yang Sekarang *chapter 5





He’s a boy.
He saw.
He liked.
He talked.
He chased.
He catched.
He got.
He loved.
He kissed.
He took everything.
He get bored.
He found new.
He left.
I died inside.

 I’m a girl. 
I will smile.
I will be chased.
I will fall.
I will be treated.
I will be hurted.
I will forgiving.
I will be cheated.
I will forgiving.
I will waiting.
I will hoping.
I will be broke.
I will forgiving.
But at least, I will get up.


But don’t think like Imma fool. If you want to know, boy, I’ll tell you something. Imma different kinda girl. So, don’t play the stupid things with me or you will get the truth that the loser of the game is only you.
Don’t think that I’m like the other girls. Easy to catch. Easy to get. Easy to toss.
I just remind you, maybe you will face up the truth that you can’t have me and the white flag will be getting up before you realize that you lose, loser.

“She’s just like a butterfly. Awesome to see, but hard to catch.” – Annonymous.


30 Mei 2014
“Kau harus melihatnya!” semua orang menarikku berdiri dari kursi itu. Tapi aku hanya bergeming.
Berita yang aku dengar rasanya telah berlalu selama beberapa jam, padahal baru sekitar 3 detik yang lalu aku mendengar semua kenyataan itu.
3 detik. Jantungku serasa kehilangan detaknya. Aku bisa merasakan tanganku yang tiba-tiba dingin. Aku bahkan berani bertaruh wajahku mungkin saat itu telah pucat pasi. Apakah ini kenyataan yang harus aku hadapi?

Setelah sekian lama kita bersama. Setelah aku percaya dia telah berubah menjadi orang yang lebih baik. Yang aku terima untuk menjadi kenyataan hanya dia dan mantannya (yang notabenenya adalah orang yang dulunya adalah sahabatku) sedang berjalan di red carpet prompnite, bersama, bergandengan dengan mesra, berfoto dan mengobrol.

“Mami don’t cry!” salah satu sahabatku berteriak. Aku hanya tertawa dan menepiskan tanganku seperti mengatakan “Imma fine”. Tapi perbuatan itu ternyata hanya membuat air mataku tumpah.

“Apa perlu aku datangi dia dan wanita itu lalu menamparnya untukmu?” sahabatku yang lain menanyakan. Oh, yes dear. It sounds great. Cepatlah lakukan itu untukku. Tampar mereka berdua!
“Tidak perlu. Jika itu membuat mereka senang, biarkan saja.”
“Jangan bodoh! Mereka memang senang, tapi aku mendapati sahabatku disini sekarang sedang hancur! Bangsat!” sahabatku mengumpat. Belum pernah aku melihat mereka segusar itu.

“Sudahlah, mi. Jangan sedih.” Aku hanya diam. Tangisku makin tidak terkendali. “Jangan menangis terus. Aku tidak ingin riasanmu luntur, please!” aku bahkan tidak ingat aku telah memakai make-up beberapa menit yang lalu di lantai dua gedung sekolah. “Apa kau... benar-benar mencintainya?” lebih dari yang kau pikirkan, dear. Lebih dari yang dapat kau bayangkan.

Ketika kau telah dicintai dan mencintai sedemikian rupa, rasa cinta itu akan terus membekas di dalam dirimu. Ketika rasa sakit dan luka telah ditancapkan ke dalam hatimu, luka itu tidak akan pernah hilang. Yang dapat kau lakukan hanyalah berusaha merawatnya agar cepat sembuh dan menutup bekasnya. Tutuplah dengan rapat dan jangan sampai terlihat. Tutup dengan apapun yang kau punya.


Aku memutuskan untuk menutup diri. Aku keluar dari lingkungan sekolah, lebih karena jengah merasakan atmosfer ruangan yang telah berubah. Aku mengambil dompet dan dua ponselku lalu pergi mencari minuman di toko dekat sekolah. Aku duduk disana dengan posisi paling nyaman dan aku menghela nafas. Andaikan yang ada di dalam genggamanku adalah vodka, aku yakin hatiku akan merasa lebih baik. Tapi ada orang bodoh semacam dua sahabatku yang dengan bodohnya justru menjemputku keluar dan menarikku ke dalam dengan cara menyita ponsel dan dompetku. Aku masuk. Dan mendapati atmosfer ganjil itu kembali memerangkapku disana. Teman-temanku berpasang-pasang. Tidak dapat dipungkiri hal itu hanya membuatku jengah. Aku iri? Tidak. Tapi ketidakpedulian mereka terhadapku yang membuatku muak. Salah satu dari mereka bahkan ada di pojok dan seakan siap berpagut. Membuatku memutar bola mata dan mendengus.

“Mami makan?” temanku menawariku. Yang aku balas hanya dengan senyuman dan gelengan.

Beberapa menit aku lalui hanya dengan berdiri, berjalan mengitar, dan akhirnya aku putuskan untuk berdiri di kamar mandi wanita hanya untuk mencharge ponselku selama hampir satu jam. Persetan dengan mereka yang melirikku dengan kecurigaan dan pandangan menyindir ataupun bertanya-tanya. I’m a student in here. I paid for this event. And truly I don’t care about what they are going to say about me anymore.

Aku melirik ponselku, sudah jam 10 malam ketika aku memutuskan untuk pergi dari sana dan mencari stopkontak baru di koperasi dan akhirnya berganti pakaian.

Aku menanggalkan tampilan ‘wanita’ku dan kembali menjadi seorang ‘perempuan’ sebelum akhirnya aku memutuskan untuk menghilang ke koperasi, membuat semua orang kebingungan mencariku. Pukul setengah 11 malam, aku memutuskan untuk pergi dari sana. Aku keluar dari koperasi dan mendapati teman-temanku bergerombol di sisi kananku. Aku mengambil arah ke kiri dan menghilang ke dalam gelap. Ketidakpedulianku terhadap mereka berbanding lurus dengan tingkat ketidakpedulian mereka terhadap perasaanku hari ini. Persetan dengan kata-kata egois, childish, or whatever bullshit they’d said.

Di gerbang aku bertemu dengan Rycho, yang sejak tadi aku cari keberadaannya. Aku memukulnya habis-habisan. Aku histeris di tempat seperti orang gila sebelum akhirnya aku tertawa seperti orang gila dan mengajak orang gila di hadapanku ini untuk menarikku pergi dan mengantarkanku ke restaurant fastfood terdekat.

Kami berhenti di tengah perjalanan dan aku turun dari motor. Aku menceritakan semua kepadanya detik itu juga. Airmataku hampir tumpah tapi aku menahannya. Tidak mungkin aku menangis dihadapan Rycho, aku bisa jadi bulan-bulanannya setelah ini!

“Lebih baik kau pulang. Kau itu perempuan. Segalau apapun suasana hatimu sekarang, ini sudah malam. Tidak mungkin kau pulang lebih larut daripada ini!” dia memarahiku habis-habisan begitu tahu rencanaku untuk menghabiskan malam itu diluar rumah. Terkadang aku heran siapa yang bertindak sebagai kakak di dalam kehidupan kami berdua.
Aku hanya diam. Dia tahu aku tidak akan pulang meskipun saat itu dia sendiri yang akan mengantarkan aku pulang. Sifat keras kepalaku sudah dipahaminya sejak pertama kali kami berteman.
“Aku harus kembali.” Dia memakai helm. “Banyak pekerjaan yang masih tertinggal di sekolah.” Dia menaikkan standart motor dan menegakkan motornya. “Cepatlah pulang dan jangan berbuat gila.” Terdengar suara mesin yang menyala. “Aku akan mengabarimu nanti ketika aku sudah di rumah.” Dia memutar motornya dan melaju. Tapi tiba-tiba aku melihat dia berhenti mendadak dan berbalik badan. “Dan jangan mencoba untuk menangisi hidupmu lagi!” lalu dia pergi.

Terkadang aku lebih menyukai persahabatan dengan laki-laki ketimbang perempuan. Mereka benar-benar pendengar yang luar biasa. Dan mereka jarang bergosip.

Aku menunggu sampai Rycho menghilang dan aku menuju minimarket terdekat. Kakiku langsung tahu alur mana yang harus aku ambil. Jangan kau kira aku akan langsung menuju fastfood itu dan membeli float atau softdrink untuk temanku malam itu.

Tertera tulisan “RUSAK” besar-besar di depan mesin pendingin minuman itu. Aku mengumpat dalam hati. Itu artinya tidak akan ada minuman dingin hari ini. Hatiku menimang-nimang selagi tanganku dengan lihai mencari apa yang aku butuhkan. Sudah lama sejak terakhir aku mencari temanku yang satu ini. Pikiranku berputar saat pertama kali aku mencoba minuman ini. 17 Agustus 2012. Hari dimana aku tahu aku tidak akan bertemu dengan pujaan hatiku sesering biasanya lagi karena event yang kami kerjakan telah berakhir. Orang yang berhasil membuatku bangkit dari keterpurukan patah hati. Dan aku mendapati hari itu adalah satu dari sejuta hari terindah dalam hidupku.

Bit Apple dengan botol kaca berhasil menarik perhatianku dari kaleng putih dan lambang bintang di atasnya. Badanku langsung berputar menuju kasir, membayar dan keluar dari sana. Menghindari tatapan curiga dari kasir itu.
Dan aku menyesali keterburu-buruanku.
Salah satu teman seangkatanku (beda kelas) sedang memarkir motornya tepat dihadapanku dan memandang bingung ke arahku dan ke tanganku yang sedang menggenggam botol kaca. Aku tersenyum dan melangkah cepat. Dia hanya tersenyum dan menyapa tapi aku hanya berlalu, meskipun aku tahu dia dengan terang-terangan menoleh dan melihatku dengan curiga sampai aku menghilang di belokan.

Kakiku melangkah cepat sampai membuat tasku berayun. Sial. Bahkan ketika aku sedang ingin sendiri seakan semua orang mengenalku.

Dalam waktu beberapa menit aku telah duduk di sudut favoritku. Aku langsung menancapkan charger di stopkontak dan membanting tasku ke meja. Helaan nafas pertama yang terlalu keras membuat pasangan di belakangku menoleh ke arahku. Aku tidak peduli. Saat itu aku tidak peduli akan apapun. Bahkan ketika aku masuk ke dalam restaurant itu dan mendapatkan tatapan menyelidik dari sekelilingku.

Tanktop putih ketat, yang aku akui membuat bra ku terlihat jelas di baliknya. Jaket jeans setengah pinggang, membuat lekuk pinggang dan pinggulku terlihat jelas. Celana jeans pensil ketat. Sandal jepit. Tas ransel besar. Rambut berantakan. Eyeliner yang masih tersisa. Tangan menggenggam botol kaca asing dengan tulisan grafity menyelubunginya. Selama sepersekian detik aku dapat merasakan tatapan dari sudut yang menusuk tengkukku. Aku menoleh dan melihat seorang pria sedang melihat ke arahku sambil memainkan rokoknya. Shit.

Aku mengikat rambutku menjadi bentuk ekor kuda. Ponselku sejak tadi sudah bergetar tanpa henti karena telepon dari teman-temanku yang mengajak pulang. Aku memasukkan ponsel berwarna hijau itu ke dalam tas. Caraku membuka botol bit apple itu berhasil membuat pasangan di belakangku kembali menoleh. Meja yang kutempati sekarang memiliki bekas congkelan tutup botol dipojokannya yang aku yakin akan menjadi kenangan tersendiri untukku suatu saat nanti jika aku kembali kemari.
3 tegukan langsung, dan aku berani bertaruh pasangan di belakangku membuat suara aneh dan sekarang sudah benar-benar melihat tanpa ragu ke arahku.

Jam di tanganku menunjukan pukul 11 malam lebih 15 menit. Tapi membayangkan rumah menjadi tempat tujuanku selanjutnya ada di daftar keinginanku yang paling bawah. Aku membuka ponsel hitamkuku yang sedang aku charge. Bbm dari teman-temanku. Read. Tapi tidak akan aku reply. Otakku kosong. Aku seperti kehilangan arah. Kehilangan arah atau kehilangan seseorang?

Pandanganku beralih ke pemandangan di depanku. Terlihat jelas keramaian kota di malam hari. Aku suka melihat pemandangan semacam ini. Terutama jika dari atas. Rasanya seperti hidupku ikut mengalir dan tidak berhenti di tempat. Rasanya seperti bisa berjalan beriringan dengan waktu dan tidak terhenti di suatu masa. Rasanya seperti tidak perlu menunggu untuk menyembuhkan suatu luka. Poof, beberapa detik saja luka itu sudah hilang.

Tapi ketika aku menutup mataku semua kelebatan tentang kita kembali menyerbu, sayang. Aku memejamkan mataku dengan berlebihan dan menenggak minuman di tanganku.
Kau mendengarku, sayang? Pernahkah kau memikirkan perasaanku kepadamu sejak pertama kali kita saling mengenal?

Dulu kau yang memperkenalkan aku kepada cinta dan segala keindahan di dalamnya. Kau yang memaksaku akrab dengan perasaan yang indah dan agung itu. Kau membuatku tidak dapat berpisah dengan cinta. Kau membuat kami berdua dekat seperti kakak-adik yang tidak dapat terpisahkan.

Lalu suatu hari, dengan satu pesan singkat, kau mengambil cinta dari sisiku. Kau membuat aku kehilangan teman bermain. Kau membuatku kehilangan kakak terbaik dalam hidupku. Dulu ketika aku menolak untuk mengenal cinta, kau merayuku dan mengatakan bahwa kami akan menjadi teman yang luar biasa. Tapi kini? Apa yang kau perbuat? Kau merenggutnya dariku dan membuat aku kesepian, sayang.

Suatu hari aku bertemu dengan seseorang yang menyadarkanku bahwa hidup bukan saja berisi cinta. Ada banyak impian yang harus ditata dan diwujudkan. Ada banyak hal yang harus dikejar dan dinantikan. Cinta hanya bumbu kecil didalamnya. Seperti garnish, jika semua sudah lengkap, masukkan cinta ke dalamnya. Dan hidupmu akan sempurna.

Tapi tidak. Aku tidak akan pernah percaya lagi kepada apa yang dikatakan orang lain. Sejak kau memutuskan untuk memberikan cinta kepada orang lain, aku menutup diriku dari semua kata-kata manis yang masuk ke dalam hidupku. Aku jengah dengan kebohongan.

Tapi aku terus menjalani hidupku. Aku berusaha bangkit meskipun bayangan hitam di dalam dadaku terus mengejarku tanpa ampun. Hari demi hari aku memasang topeng yang sama. Segala kelelahan di dalam hatiku berusaha aku alihkan dengan perhatian-perhatian dari mereka kepadaku. Sampai akhirnya aku mulai terbiasa melihat kau bersamanya dan aku menemukan orang yang dapat aku percaya. Kami mulai dekat. Dia membantuku menutup luka yang kau buat. Pesakitan yang aku rasakan semakin lama semakin tidak terasa lagi. Tapi akhirnya kami sama-sama memutuskan untuk berpisah karena perbedaan yang mendasar. Iman.

Aku terjatuh untuk kedua kalinya. Sejak itu aku tidak pernah menjalani hubungan secara serius. Mereka datang dan pergi tanpa ampun. Aku tidak peduli. Luka yang kau buat rasanya tidak pernah tertutup lagi sejak dia pergi. Satu tahun aku lalui dengan terus berlari. Sangat banyak yang menawarkan tempat tinggal untuk singgah, bahkan pulang. Tapi aku memutuskan untuk terus berlari. Aku takut kau akan menemukanku dan menertawakanku karena lukaku yang belum sembuh. Aku takut bertemu denganmu dan segala kepahitan itu akan aku rasakan kembali. Itulah kenapa aku terus berlari dari hari ke hari. Dari bulan ke bulan. Sampai akhirnya di bulan ke-13 aku menemukan tempat tinggal. Tapi tanpa aku sadari, tempat tinggalku terlalu dekat denganmu! Dan akhirnya kau berhasil menemukanku disana.

Namun baru beberapa minggu berlalu aku mendapati diriku telah kembali berlari. Aku sudah terbiasa berlari dalam kesendirian dan aku tidak bisa untuk terus diam. Terus diam di satu hati hanya akan membuatku mengingat semua kenangan saat aku tinggal di dalam hidupmu. Itu menyiksaku.

Sampai akhirnya dia datang. Memberi janji-janji manis yang tentu saja aku tepis seperti biasanya. Tapi kejujuran di dalam matanya berhasil aku temukan. Dan itulah yang membuatku benar-benar jatuh hati kepadanya. Bayanganmu kini telah hilang. Seluruh hidupku diwarnai olehnya dan dirombak menjadi lebih berarti. Meskipun tidak dapat dipungkiri aku selalu tersakiti dalam hubungan itu. Aku tahu. Aku sadar. Tapi entah kenapa kata-katanya terasa tepat. Setidaknya dia tidak pernah mengingkari kenyataan dan selalu jujur kepadaku. Sekalipun kejujuran itu benar-benar seperti tombak untukku. Tapi dengan kejujuran itu hubungan kami terasa lebih nyata. Sifatnya yang apa-adanya tanpa ada kebohongan diantara kami berdua membuatku selalu menjadi diriku sendiri. Meskipun itu artinya aku selalu tersakiti melihat dia selalu menjalin hubungan dengan wanita lain. (read: When It Was You)

Tapi baru beberapa hari kami dekat dan kau datang. Tanpa dosa kau datang dan memohon agar kita kembali bersatu. Aku benar-benar tidak mengerti. Semua terasa kembali menjadi semu. Setelah setahun aku berjuang dan kini kau kembali menarik aku dengan mudahnya?

Luka yang kau buat, mulai dari yang terkecil hingga tiada terkira, semuanya masih berbekas. Menimbulkan pesakitan yang tidak mungkin dapat aku perlihatkan ke permukaan. Membuat aku terus bergerak dengan tertatih meskipun aku berhasil menyamarkannya. Mulai dari yang terkecil. Dan digores lagi. Dan digores lagi. Dan lagi. Membuat setiap partikel pertahanan yang telah aku susun menjadi tidak bermakna dan terkoyak.



Bulan demi bulan aku terus berusaha untuk tetap mengatakan TIDAK. Aku berusaha menolak meskipun di dalam hati aku menjeritkan kata YA. Aku selalu diam dan menahan diri. Setiap kali aku merasakan hatiku mulai berpaling kembali ke arahmu, yang aku lakukan hanyalah mengingat pria lain dan mengalihkan fokus. Hingga tanpa sadar aku telah menjatuhkan diri terlalu dalam kepada pria itu.

Kau memang yang selalu ada. Kau memang yang selalu membuat aku kembali bersinar. Kau yang membuatku tenang setiap kali dia pergi kepada wanita lain. bahkan kau tidak pernah protes ketika aku menyakitimu. Perjuanganmu yang sedemikian rupa yang membuatku luluh. Segala pertahananku runtuh sedikit demi sedikit setiap detiknya. Perlahan tapi pasti aku kembali melihat ke arahmu. Segala rasa sakit yang aku tumpuk selama aku bersamanya terasa seperti terkubur dan tertelan ke dalam lubang bekas lukamu.

Semua terasa seperti saat pertama kali aku berteman dengan cinta. Segala luka yang ada seperti hilang. Yang ada hanyalah bekas keputihan.

Memang di beberapa waktu aku masih sering mengalami traumatis pribadi. Di beberapa moment, aku teringat ketika kau sedang bersamanya. Aku teringat bagaimana kau membuat luka itu ada disana dan mengendap sedemikian rupa. Hal itu membuatku merasakan rasa sakit itu lagi dan takut setengah mati hal itu akan terulang. Tapi aku berusaha menepisnya.

Aku percaya kini kau akan menjagaku. Aku percaya kau tidak akan mengulangi kesalahan di masa lalu kita. Aku percaya kepadamu lagi karena aku juga percaya kau telah berubah menjadi orang yang lebih baik. Kepercayaan yang sejak dulu tidak pernah aku berikan kepada siapapun selain kepadamu dan kepadanya.

Tapi kini aku kembali mendapati diriku menangis di surut ruangan. Dengan cairan putih suci di tanganku. Tatapanku menerawang. Hidupku berantakan dalam sekejap. Haruskah setelah ini aku memercayaimu lagi, ferret? No, let me repeat. Bisakah aku memercayaimu, lagi?

Inikah alasanmu kenapa kau tidak mau bertemu denganku di muka umum? Kau takut dia mengetahui hubungan kita? Inikah alasanmu kenapa selama ini kau tidak pernah menyebut namaku di jejaring sosial? Kau takut dia membacanya?

Pikiranku kembali melayang ke beberapa tahun lalu.
“I love you o***:*”

Status yang kau buat untukku tepat saat kita berpacaran.

Aku memaki. Cukup keras untuk menyebabkan pasangan di belakangku mendesis kesal karena tingkahku yang sejak tadi tidak terkendali.

Semua luka yang berusaha aku tutup terasa kembali menganga. Puncaknya pada hari ini. Ketika aku mempersiapkan semuanya untukmu. Berusaha sebaik mungkin untukmu. Tidak dapat dipungkiri, aku bahkan hampir menitikkan airmata ketika mengatakan kepada Nena bahwa aku takut terlihat memalukan saat prompnite nanti dan membuatmu menjauh. Aku berusaha sebaik mungkin dan yang aku dapatkan adalah aku bersarang di pojokan restaurant fastfood.
Mengenaskan.

“Mami kapan mau pulang?” pikiranku yang telah menjelajah seakan tersedot dan aku tersentak. Aku mendapati Gitta dan Lina berdiri di hadapanku. Di dalam keterkejutanku, Isna mengambil minuman yang ada di tanganku dan mengendusnya.

“Aku bahkan tidak menemukan alcohol disini. Bagaimana menurutmu?” dia menyodorkan botol itu kepada Agung. “Buang ya?” isna bertanya tanpa dosa kepadaku.

“Tentu saja kau tidak akan menemukan alcohol di dalam bit apple, bodoh! Aku masih cukup sadar bahwa alcohol berbahaya untukku malam ini!—”

“Kalau begitu kenapa kau membeli minuman seperti ini?” Yona muncul dibelakangku.

“Itu kan bukan minuman beralkohol. Dan aku menyukainya. Rasanya lebih enak ketimbang softdrink yang lain. Dan apa yang kalian lakukan disini?” aku bertanya dengan alis bertautan.

“Sial. Well, ayo kita pulang.” Isna mengajak mereka pulang dan membawa botolku menjauh.

“Sampai jumpa.” Aku hanya menjawab seadanya. “Dan kembalikan minumanku.”

“Inikah yang kau lakukan? Dipojokan dan minum lalu mengusir orang-orang yang peduli padamu?” Gitta mulai duduk dihadapanku.

Aku meraih kembali botolku dan meminumnya untuk menenangkan diri. “Absolutely, yes. And if you want to know, bastard. I worked for this. Aku bekerja untuk ini dan ini adalah uangku. Aku tidak meminta uang darimu atau ibumu untuk ini. Jadi jangan mengomentarinya dan jangan memprotesnya.” Aku kembali diam. Kalimat terakhir yang dilontarkan oleh Gitta berhasil menyita pikiranku. Peduli? Oh yeah?

“Mami, ayo pulang. Kasian Yona. Ibunya sejak tadi sudah menelepon dan dia tertahan karena kau yang belum mau pulang.” Lina memohon. Matanya mencuri pandang ke arah Yona dan dia setengah tertawa.

Pikiranku tentang teman-temanku yang sedari tadi bingung mencariku dan benar-benar khawatir kepadaku, takut terjadi sesuatu terhadapku, takut aku bertemu dengan orang jahat, takut tidak bisa menemukanku, takut aku melakukan hal gila, semuanya menguap secepat alkohol yang dipanaskan dengan suhu 373 Kelvin.

Ah, ya. Peduli. Benar-benar sahabatku tercinta. Yang kalian pedulikan memang aku, kan? Persetan.

“Kalian bisa pulang.” Aku menjawab seadanya.

“Dan meninggalkanmu sendiri disini?” Yona bertanya.

“Ya.”

“Dan kau akan pulang bersama dengan...” Gitta menunggu aku melanjutkan kalimatnya.

“Lintas malam masih beroperasi.”

“Mami, please! Kau wanita dan pakaianmu bahkan berantakan! Aroma alcohol tercium dari mulutmu setiap kali kau berbicara! Dan kau ingin pulang dengan lintas malam?” Lina membelalak tidak percaya.

“Taksi masih berkeliaran.” Aku masih tenang. Tanganku mengangkat botol itu ke mulutku dan aku menenggaknya. Wajahku dan pandanganku tetap berpaling dari mereka. Kalian menambah luka dan rasa kecewa saja, kalian tahu?

“Dan uangnya?” isna kini ikut bicara.

“I had my money! Jangan kira aku semiskin itu jika bahkan sekarang bit apple ada di tanganku!” nadaku sedikit menyindir. Alisku bertautan mengejek. Di dalam hati aku berusaha mengingat berapa uang yang tersisa di dalam dompetku malam itu.

Mereka diam. Saling mengedarkan pandangan satu sama lain seakan berkata 'bagaimana-kalau-kita-seret-saja-dia-dan-kita-bisa-tidur-nyenyak'.

“Oh, ayolah guys. I’m not a girl anymore. I’m mature enough to go home with myself. Aku bukan lagi seorang perempuan. Aku seorang wanita sekarang.” Aku menekankan beberapa kata dalam kalimatku untuk menegaskan situasi ‘aku-ingin-sendiri’ saat itu.

“Mami,” Gitta memanggilku. Aku bergeming. “,ayo pulang.” Aku mengambil botolku dan kembali menegak isinya. “Pulang, ya? Ayo pulang. Kau bisa membonceng Isna. Simpan uangmu.” Aku melihat mata teman-temanku. Dan aku melihat simpatik yang besar di mata Gitta.

Kenangan kembali menyerbu.

Di sudut yang sama. Tapi di lantai satu. Aku menghabiskan dua botol vodka mix dan sekaleng bintang. Ditemani oleh Gitta. Aku mulai mengoceh panjang lebar saat selesai menghabiskan botol kedua. Gitta disana hanya diam dan merayuku untuk berhenti. Tapi aku tidak mengabulkannya.

Tapi itu sudah sangat lama berlalu. Dan tidak sepatutnya aku disini harus mengingat hal itu kembali.
Aku tahu betul apa yang menyebabkan Gitta begitu merasa kasihan kepada diriku sekarang. Kenangan terakhir itu pasti membuatnya sadar sekarang aku benar-benar hancur, seperti pada hari itu.

Aku kembali melihat mereka. Sangat jelas terlihat bahwa yang benar-benar peduli hanyalah Yonathan dan Gitta di sini.

Terkadang aku berpikir apakah jika aku adalah manusia bodoh dengan IQ dibawah rata-rata mereka akan tetap menjadi temanku? Apakah jika aku bukan salah satu siswa populer, aktivis OSIS terkemuka di Kota Semarang, memiliki banyak relasi ke beberapa perusahaan, kesayangan guru, siswa yang paling berpengaruh dan pendapatnya selalu didengarkan, mereka akan tetap ada disini?

Aku mendapati diriku mendengus, berani bertaruh aku akan membusuk disini dan mati mengenaskan.

Akhirnya aku mengambil nafas besar. Meneguk isi botolku hingga habis. Dan membungkusnya dengan plastik.

“Kalian menang. Ayo kita pulang.”

Kami bertengkar hebat malam itu. Tapi akhirnya keesokan harinya kami berbaikan. Hari-hariku terlalu melelahkan jika harus ditambah dengan pertengkaran kami.

Segala masalah yang ada di dalam hidupku sudah cukup membuatku lelah secara psikis. Aku hanya tidak ingin permasalahan diantara kami semakin membuatku terbebani. Entah mengapa permasalahan kami selalu terasa berbeda. Terlalu berat. Tapi yang aku lakukan selalu berpura-pura seolah itu hanya masalah kecil yang bahkan tidak perlu dibahas dengan teman-temanku.

Tapi baru saja beberapa jam kami berbaikan, malam itu aku merasa ada yang aneh. Sabtu malam minggu. Apakah mereka sedang bersama? Apakah ada sesuatu yang terjadi?

Hatiku menjerit. Malam itu yang aku lakukan hanyalah menangis. Rasa takut kehilangan itu kembali menyerbu tanpa ampun dan membelengguku dalam keheningan malam. Semakin malam dan tangisku semakin menjadi. Apa yang terjadi? Firasat dalam hatiku seolah berbunyi nyaring.

Secara perlahan tapi pasti lubang hitam itu kembali terbuka. Ketakutan di masalalu yang telah aku usir dengan susah payah kembali dalam satu malam. Tidak ada apapun yang terjadi, Illia. Otakku meyakinkan. Tapi hatiku terus tersedu tanpa henti.

Inikah rasa takut kehilangan?

Dulu mungkin aku tidak menyadarinya. Dulu, ketika kau belum mengajariku bagaimana rasanya kehilangan itu. Ketika aku kira hubungan kita baik-baik saja, meskipun saat itu rasanya sama seperti ini. Persis seperti ini. Tapi aku belum mengerti apapun.

Dan kini aku menyadarinya. Inikah rasa takut kehilangan itu? Inikah rasa takut ditinggalkan?

Aku hanya bisa menjawab “Nothing. I’m fine” kepada semua orang. Bagaimana bisa aku bercerita tentang sesuatu yang bahkan tidak aku mengerti? Yang aku tahu hatiku ketakutan setengah mati tanpa ada sebab. Dan yang aku yang aku tahu itu menakutkan.

Malam itu aku tidak bisa tertidur. Aku mencari aspirin dan aku mendapati kotak obat tidak memilikinya. Aku mengumpat kesal. Dan memutuskan mengambil Antimo.

4 butir cukup. Dan aku berusaha tertidur.

Lagi-lagi lubang hitam tanpa dasar itu menyita pikiranku dan aku kembali menangis. Ada apa sebenarnya?

30 menit aku menunggu dan aku tetap tidak bisa memejamkan mata. Aku kembali mengambil 3 butir dan menelannya. 15 menit kemudian aku terlelap. Tidak menyadari akan apa yang telah aku telan.

Baru satu jam aku tertidur dan aku kembali terbangun. Mendapati diriku melayang dan pandangan tidak terfokus. Oh, shit.

Pengalaman sebagai anak KAPPA (Kesatuan Pelajar Anti Narkoba) bahkan tidak bisa membuatku belajar mengingat dampak overdosis.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More