Bagaimana tidak? Meskipun sudah lebih dari seminggu dia tidak berkontak dan bertemu langsung dengan orang ini, tapi Rinta sudah hafal diluar kepala suara siapa itu. Itu adalah suara dari orang yang membuat Andika koma selama beberapa hari di rumah sakit. Orang yang membuat hati Rinta seolah ditusuk ribuan jarum yang telah ditetesi jeruk nipis. Orang yang membuat dia sempat terpuruk selama dua malam dalam kamarnya.
‘Ya ampun Rin! Minum dulu!’ Nila menyodorkan minuman Rinta langsung ke depan bibirnya.
Rinta tidak menghiraukannya. Lebih cepat dari kecepatan firebolt milik Harry Potter, kaki Rinta langsung tegak berdiri dan membalikkan badan Rinta ke arah suara sapaan tadi. ‘Ngapain lo di sini?!’ sapa Rinta balik. Err sapa? Hmm mungkin lebih ke sapaan kepada “rival”.
‘Aku mau ngomong sesuatu sama kamu, Rin.’ Fano memulai kebiasaannya yang lama untuk ber-aku-kamu dengan orang di depannya. ‘Aku bisa jelasin semuanya ke kamu. Pas itu tuh aku gak ada apa-apa sama Diani. Beneran Rin aku gak bohong!’
‘Oooooh, jadi namanya Diani? Anak sekolah mana sih dia?’ Rinta bertanya dengan lagak ingin tahu. Yeah, dia memang benar-benar ingin tahu. Dia ingin tahu dimana sekolah cewek bernama Diani ini dan menyerahkan Fano secara “sah” kepada cewek “murah-meriah” itu.
‘Rin, tenangin diri lo dulu—’ Nila menasihati Rinta.
‘Lo—’ telunjuk Rinta menegang dan mengacung secara mengancam ke muka Nila. Matanya memicing. Bibirnya sekarang sudah setipis kertas HVS. ‘Apa sih maksud lo bikin gue ketemu sama cowok brengsek ini lagi? Lo seneng ngeliat gue ketemu cowok ini? Iya?’
Kini tidak ada air mata yang tumpah ataupun terbendung di mata Rinta atau siapapun. Yang ada sekarang hanyalah emosi Rinta yang memang sejak kemarin malam masih labil dan sekarang kembali bergolak dari dasar tempatnya lalu tumpah. Otaknya panas. Ribuan hujaman untuk Fano yang belum sempat diutarakannya dulu sekarang menyerbu ke bibirnya untuk mengambil urutan pertama agar dapat keluar pertama kali dari mulutnya. Kepalanya panas. Dan pening. Seketika seluruh tubuhnya terasa panas. Segalanya yang melekat di tubuhnya terasa ikut merasakan amarah Rinta.
Yang Rinta inginkan sekarang hanyalah membelah dada Fano, mengeluarkan hatinya, mencincangnya dan menjadikannya sate yang dijual murah.
‘Dia cuman anak kelas 7 di sekolah kita kok—’
‘Ya ampuuuuun Fanoku tersayang,’ Rinta menekankan kata “ku” dengan sangat sempurna dalam kalimatnya. ‘,apa sih yang ada di otak lo? Sampe adek kelas aja ikut diembat.’ Rinta menuturkan kalimatnya semakin lama semakin lambat.
Fano hanya terdiam.
Tik. Tik. Tik.
Bahkan jam di sudut seakan terdengar oleh telinga Fano sekarang. Dan bagai petir yang menyambar, ponselnya melantunkan ring sms.
Fano membukanya, dan tanpa basa-basi Rinta langsung merebut ponselnya tanpa ampun.
Fano berusaha mencegahnya, tapi Rinta keburu membacanya. Dan semua terlambat.
0 suara netizen:
Posting Komentar