About Me

Thesalonika Olga Valitha Briliane | 23 y.o | Indonesian | Swiftie | @__tukangmaido | Love Green, Like Mango | Jesus Christ

Selasa, 29 April 2014

Tanpa Dirimu, Aku Bukan Diriku Yang Sekarang *chapter 4



Pernah merasakan hidup yang seperti sinetron?

Pertengkaran keluarga besar. Permusuhan dalam selimut diantara kakak dan adik yang saling menikam secara diam-diam maupun terang-terangan. Membuat semua keturunan ketiga (yang notabenenya masih waras) hanya memutar bola matanya. Perebutan warisan ternyata bisa menjadi benar-benar buruk. Beberapa orang hamil diluar nikah. Generasi kedua hanya bisa mengomel, sementara generasi ketiga memilih untuk menutup telinga dan pergi dari rumah.

Keluarga kecilmu sendiri yang sudah hampir retak. Dengan seorang ibu yang over protective kepadamu karena traumatic masalalunya dan seorang ayah yang bahkan pernah dengan tega meninggalkan keluarganya selama seperempatpuluh abad. Satu hembusan dan segalanya sirna.

Pertemanan yang berubah menjadi kisah cinta penuh malapetaka. Sahabat yang saling tusuk dengan cara menggunjingkanmu dibelakang punggungmu. Sahabat yang bahkan dengan tega membuka semua kedokmu tanpa rasa bersalah didepan laki-laki yang sedang dekat denganmu.

Kisah cinta yang gagal berkali-kali dalam hidup. Mencintai yang dilarang. Cinta yang tak terbalaskan. Dipuja dengan sepenuh hati oleh para pria yang bahkan tidak kau inginkan untuk ada. Menjadi selingkuhan beberapa orang dan ketahuan. Pacaran diam-diam di kantin sekolah. Menjadikan dan dijadikan pelampiasan.

Tapi ketika kau telah menemukan orang yang tepat, yang bisa benar-benar menjagamu dan melindungimu, yang bisa memanjakanmu seperti seorang anak kecil, yang bisa menjadi kakakmu, sahabatmu, orang yang mengajarkan kepadamu arti hidup. Kau kehilangan dia hanya karena perbedaan iman yang mendasari segalanya.

Banyak keajaiban dalam hidupku, Tuhan. Dan aku bersyukur karenanya meskipun semua kejadian yang ada dalam hidupku benar-benar seperti sinetron yang tidak terkira.

Semua hal itu membuatku mengerti bahwa hidup tidak hanya lurus dan monoton. Tapi hidup memiliki belokan dan tanjakan serta turunan yang bahkan jika kau hitung rasanya seperti tidak ada habisnya.

Seperti hubunganku denganmu.

Siapa yang menyangka di tahun terakhirku berada di tingkat senior high school aku justru terasa seperti kembali ke awal aku bersekolah?

Adi Widya Nurrohman. Siapa takut untuk menyebutkan namamu di dalam artikel ini? Jangan kaget seperti itu, ferret. Aku tidak ingin ada kekagetan dan keterkejutan lain lagi.

Tentu saja dia bukan orang yang aku maksud di beberapa kalimat sebelum ini. Dia adalah orang yang menjadi ruh dalam semua ceritaku yang berjudul “Tanpa Dirimu, Aku Bukan Diriku Yang Sekarang”. Ya, dia adalah bajingan tengil yang telah mengubah pandangan hidupku tentang cinta.

Jangan protes, buddy. Kau sedang mendengarkan mommy bercerita, okay?

Dulu (ya, dulu disini berarti saat aku berusia 0 sampai 14 tahun. Sekarang usiaku 17 tahun) aku selalu berpikir dan bertanya-tanya kenapa orang yang telah memutuskan untuk berpacaran atau untuk menikah bisa memutuskan untuk putus atau bercerai? Bukankah jika mereka telah memutuskan untuk menjalin suatu hubungan berarti mereka telah diikat oleh perasaan terkuat yang kita sebut ‘cinta’? Bagaimana bisa dua orang yang telah terikat perasaan sekuat itu bisa memutuskan untuk berpisah bahkan terkadang bermusuhan?

Tapi setelah aku menjalani hubungan dengannya aku jadi mengerti. Ada banyak hal yang mempengaruhi suatu hubungan. Pertama kali aku mengenalnya lewat jejaring sosial, aku tidak pernah menyangka kalau postingan dinding darinya akan merubah hidupku untuk selamanya.

Aku belajar segalanya dari dia.

Rasanya benar-benar mencintai secara tulus. Rasanya didekati dengan serius. Well, aku tidak pernah dekat dengan pria seserius itu sebelumnya. Semua pria yang mendekatiku selalu berasal dari apa yang biasa kita sebut dengan ‘teman’. Rasanya melihat dia berpacaran dengan perempuan lain (aku harus berpura-pura tegar pada saat itu). Rasanya memiliki tanggal jadian dengan serius (sebelum dengannya aku selalu lupa dengan tanggal jadianku). Rasanya berusaha setia meskipun banyak godaan yang selalu aku terima. Hingga sedikit demi sedikit aku belajar tentang suatu hubungan.

Dan tanpa sadar aku telah jatuh terlalu dalam. Pertahanan yang aku bangun luruh sedikit demi sedikit karena perasaanku yang terlalu mencintainya tanpa ada rasa ragu sedikitpun saat itu. Meskipun hubungan yang kami jalani semakin lama semakin hampa. Dan dia semakin menjadi dengan predikat “RPL 3” yang disandangnya. Telah aku jelaskan di chapter sebelum ini, jangan paksa aku menjelaskannya lagi. Yang aku ingat dengan pasti, pesan singkatnya di tanggal 25 April 2012 benar-benar membuatku muak. Aku hanya diam. Rasanya ada harga diri yang tertoreh saat itu. Aku tidak melebih-lebihkan.

Hingga akhirnya di tanggal 26 April 2012, dengan jam di ponselku menunjukan pukul 9.13, hubungan kami resmi putus dengan dia yang mengajukan gugatan.

Saat itu aku belajar bagaimana hubungan dapat berakhir. Saat itu juga, untuk pertama kalinya dalam hidupku aku benar-benar menangis tanpa aku minta. Tangisan yang pecah di ruang 7, meja ketiga dari depan, baris paling kanan. Semua temanku mendekat dan menenangkanku. Tapi yang aku dapati adalah tangisku yang makin kencang. Ini konyol! Sejak kapan seorang Illia menangis karena makhluk brengsek yang menamai diri mereka pria?

Aku belajar rasanya sakit hati untuk pertama kalinya. Tangisku semakin dalam dan aku akui itu adalah tangis pertamaku untuk seorang pria. Pria yang telah memenangkan hatiku dan menggugurkan ideologiku tentang suatu hubungan dalam waktu yang hampir bersamaan. 4 bulan kebersamaan kami harus segera dihilangkan dari memoriku. Aku segera membasuh mukaku dan menuju hotel. Bosku melihatku dan justru memarahiku karena wajahku yang tidak karuan.

“Kamu kira ini hari apa? Ini hari yang penting dalam hidupmu, Il! Jangan menangis sekarang! 3 jam lagi Technical Meeting akan dilaksanakan dan aku tidak peduli bagaimanapun caranya wajahmu harus fresh seperti biasanya!” aku hanya duduk dan terdiam mendengarkan bosku marah-marah. Tidak ada respon. “Illia, please! Abaikan dulu masalah hatimu yang aku tidak tahu sedang seperti apa! Tapi disini masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan.” Respon yang aku berikan hanya melihat kearahnya dan diam. Kau tidak pernah merasakan rasanya ada lubang hitam besar tak berdasar dihatimu, bos. Percayalah rasanya benar-benar asing dan kosong. Wajahnya yang semula keras dengan emosi mulai meluluh melihat sorot mataku yang nanar saat itu. Kakak kelasku yang lain melangkah ke sampingku dan memelukku. Aku kembali sesenggukan dan airmataku kembali meleleh.

Tuhan. Jika memang dua insan tidak ditakdirkan untuk bersama, kenapa kau berikan anugrah seperti rasa cinta kepada salah satu diantara mereka? Apa yang akan terjadi dengan hidup mereka ketika mereka berpisah?

Tanggal 27 aku terbangun dengan rasa asing dalam dadaku. Lubang hitam yang semula dihuni oleh pria itu sekarang terasa begitu mengganggu. Ada pikiran seperti "he's not yours anymore" yang menohokku secara tiba-tiba saat aku bangun di pagi itu. Membuatku merasa benar-benar telah kehilangan sesuatu yang sangat berharga dalam hidupku.

Berhari-hari hidupku terasa seperti mayat hidup. Sorot mataku sering kosong tanpa diminta. Aku sering melamun dan hatiku masih terasa getir setiap kali mendapati sekelebat bayangannya disekitarku. Beginikah rasanya sakit hati? Seperti yang selalu teman-temanku di tingkat junior high school keluhkan? Jika iya, aku bersumpah demi apapun bahwa bunuh diri adalah gagasan yang cukup menarik untuk dipertimbangkan.

Hingga akhirnya 5 hari kemudian aku mendapati kenyataan yang kembali membuatku berlutut tanpa daya. Air mataku kembali tumpah tanpa bisa aku tahan lagi. Hatiku yang masih terluka rasanya seperti sedang dilumuri garam saat aku tahu kalau ternyata dia dan sahabatku berpacaran! Ya! Dan tepat sehari sebelum hubungan kami berakhir. Dan jika aku boleh bercerita, sekitar bulan Agustus 2012 sahabatku sendiri yang mengatakannya kepadaku. Ironis.

Hidup ini sinetron, ingat?

"Kamu jangan salah paham dulu. Yang aku panggil ndut kan bukan cuman kamu. Semua cewek yang gendut ya tak panggil ndut." sekarang hatiku terasa seperti dicelup-celupkan ke dalam air laut.

Jadi itu bukan panggilan sayang? Jadi itu bukan panggilan yang khusus ditujukan untukku? Okay aku terima. Ini cukup adil. Cukup. Adil. Kini aku belajar bahwa hubungan juga bisa dibumbui perselingkuhan.

2 bulan tepat dan aku menemukan orang lain. Orang yang aku deskripsikan di awal cerita tadi.

Tapi sejak mereka pergi dari hidupku, aku merasa jengah dengan rasa sakit. Aku bosan menjadi orang baik yang selalu berada di pihak yang tersakiti oleh pihak jahat. Aku bosan selalu dipermainkan tanpa mendapatkan kesempatan bermain. Aku bosan menjadi anak kecil yang berebut mainan dengan anak lain dan akhirnya aku yang terpaksa mengalah.

Aku juga ingin bersenang-senang. Hello?

Jika sekarang aku sebutkan sudah berapa banyak pria yang aku habiskan selama dua tahun terakhir sejak aku berpisah dengannya, kau hanya akan mengatakan "Astaga!" dan dalam batinmu akan tertancap berbagai kata hinaan untukku.

Silahkan saja lakukan sesukamu. Aku sudah sering mendapatkannya. Hanya saja aku terlalu tidak peduli dengan hujatan lingkungan di sekitarku tentang betapa murahannya aku dalam hal mengumbar kata sayang. Tapi selama aku senang dan tidak merugikan kalian, apa hak kalian dalam berbicara?

Hingga akhirnya aku sampai di waktu dimana tahun terakhir telah tiba. Sudah sekitar satu setengah tahun kami tidak berkomunikasi secara intens.

Saat itu aku sedang OJT (On Job Training) untuk periode kedua. Aku sedang terbelit dalam 3 hubungan percintaan yang belum berakhir. Satu dengan adik kelas di sekolahku yang sekarang. Satu dengan adik kelasku di tingkat junior dulu, sekarang dia bersekolah di salah satu SMA favorit di kota semarang. Dan satu dengan mantan yang bahkan aku lupa pernah aku miliki. Lupakan.

Dan aku mendapati, ditengah kesibukanku untuk membereskan segala pekerjaanku, sebuah pesan masuk dari dia. Yang tanpa dosa mengatakan bahwa dia merindukanku dan semacam tetek bengek lainnya. Yang tentu saja hanya aku tanggapi dengan putaran bola mata.

Mana mungkin?

Dia telah bahagia dengan pacarnya (yang dengan berat hati aku akui sebagai sahabat terhebat) selama sekitar 16 bulan terakhir ini tanpa pernah ada usaha mengontakku kembali. Tapi kenapa ketika aku baru saja putus dari pacar pertamaku setelah dia (ya, dengan berat hati lagi aku akui bahwa selama sekitar 14 bulan aku melajang. Meskipun begitu aku telah berhasil menciptakan daftar yang jika disejajarkan dengan kedua sahabatku, mereka hanya dapat setengah!) justru reaksi seperti ini yang diberikannya?

Dia kembali mendekatiku. Padahal aku tahu pasti dia masih berpacaran dengan temanku. Kata-kata dari salah seorang sahabatku menggema. Cepat atau lambat dia bakal balik ke kamu kok. Memang lama. Tapi aku bisa jamin dia bakal balik. Dan pas waktu itu tiba, aku harap kamu udah cukup kuat untuk bilang TIDAK. Inikah saat itu?

Melihat dia di teras rumahku, memohon untuk kembali ke dalam kehidupanku. Melihat sorot matanya yang berubah ketika aku mengatakan tidak. Kenapa hatiku terasa seperti diremas ketika melihat perasaannya tersakiti seperti itu? Bukankah dulu dia yang membuangku? Bukankah dulu lukaku bahkan mungkin jauh lebih besar dibanding itu? Bukankah balas dendam jika ada kesempatan adalah hal yang selalu aku tunggu? Membuat dia merasakan sakit yang sama seperti yang aku rasakan.

Tapi kenapa baru melihat dia memohon seperti ini saja hatiku sudah kembali terluka? Ini konyol. Siapa yang harusnya terluka disini?

Berbulan-bulan aku menjalani hubungan dengan beberapa pria. Selalu 3in1. Ketika yang satu pergi, selalu ada dua orang yang menggantikan. Ketika dari dua orang itu ada yang pergi, aku tidak segan-segan untuk menunjukan pintu keluar dari kehidupanku. Sayonara, bastard.

Tapi kau benar-benar menyusahkan, kau tahu? Mengusirmu sekuat apapun terasa sama saja. Tidak pernah berhasil dan bertahta angka nol besar. Sampai akhirnya kau kembali mendepakku dari hidupmu dengan satu pesan singkat di facebook. Airmataku kembali mengalir. Setelah aku mulai bisa percaya kembali kepadamu...
Brengsek.

Aku sudah memutuskan ini berakhir. AKU lah yang memegang kendali dan AKU memutuskan bahwa ini semua SUDAH berakhir. Aku benar-benar memusatkan fokusku kepada dua orang yang tersisa. Persetan denganmu yang selalu dengan seenaknya datang dan pergi. Kau kira aku apa? Taman bermain?

Beberapa minggu aku mulai hidup dengan tenang sampai akhirnya dia kembali datang. Itu artinya sejuta masalah juga datang. Aku tidak peduli. Aku sudah memutuskan ini semua sudah berakhir. You and Me will be in the past. I will save all of our memories in the pleasure box. But out of that, get outta my life, ferret!

Semakin lama hubunganku dengan kedua orang yang lain tidak berjalan lancar. Terlalu banyak masalah yang membuatku semakin jengah dengan makhluk bernama pria. Ini hati brotha! Bukan tempat bermain untuk anak-anak yang bahkan belum tahu cara menjaga mainan!

Dan kau tetap menungguku. Seberaka seringpun aku mengacuhkanmu, kau tetap disana. Aku bahkan sampai sekarang belum percaya bahwa setelah 2 tahun berlalu kau masih mencintaiku seperti dulu saat kita masih dalam satu hubungan. Salahkah itu?

Tapi ketika aku mulai percaya, percayaku kembali dihancurkan. Aku harus bagaimana? Menyerah?

Tuhan, jika memang dia bukan untukku, untuk apa kau kembalikan dia ke dalam hidupku? Hidupku sudah cukup pahit tanpa ditambah dengan empedu kehidupan semacam dia!

"Eh eh siapa tuh! Eh berangkat bareng, Mi! Sini deh! Ituuuuuu!" teman-temanku yang menyaksikan kau berangkat ke sekolah dengan temanku-sekaligus-mantanmu (atau mungkin sekarang kembali pacar?) heboh dan menunjuk-nunjuk ke bawah. Aku hanya memandang mereka malas. Is that important for me?

"Siapa sih?"

"Adi!" mataku langsung membulat. Oh shit. Jangan lagi, Tuhan...

"Mami sehat?" mami adalah panggilanku di sekolah.

"Imma fine. Why?" aku berpura-pura cuek. Dalam hati aku ingin memenggal kepalamu.

"Aaaah masak? Sepertinya tidak." teman-temanku mulai meledekku.

"Diamlaaaah!" dan aku ikut tertawa.

Pikiranku kembali ke beberapa minggu belakangan ini. Minggu-minggu istimewa bagiku. Dimana aku tidak dekat dengan siapapun lagi. Aku bebas. Dan ada dia yang kembali mewarnai segalanya ketika semua terasa memudar.

Dimulai sejak kami belajar kimia bersama dirumahku. For God Shake! Sudah menjadi rahasia umum bahwa aku paling suka melihat seorang laki-laki mengenakan kaos oblong polos dan memamerkan bentuk tubuhnya. Selama satu malam itu aku tidak berani memandangnya. Mataku yang malang.

Dilanjut dengan hari dimana dia memberitahuku bahwa dia akan pergi dalam waktu dekat untuk bekerja di luar pulau. Aku hanya melongo sebelum akhirnya benar-benar percaya akan apa yang dia katakan. Ketika waktu pulang tiba, rasanya aku ingin kembali ke pukul 2 siang. Merasakan dia ada disampingku, hanya untukku. Sejak kapan kita jadi seintim ini dalam beberapa waktu? I think I used to grow up right now.
Merasakan jemari kami bertautan. Tangannya memeluk pinggangku dengan mesra. Caranya menatap mataku, sejak dulu tidak pernah berubah. Caranya membuatku nyaman dengan apa yang dia lakukan. Caranya memainkan bibirku dengan jarinya.
Abaikan.
Yang aku ingat saat itu, saat pulang, kami kembali bertengkar di perjalanan karena dia yang terus-menerus berkicau tentang mantanku yang terakhir. Teman sekelasnya.

Beberapa hari kemudian. Kami ada di ruangan pojok sekolah, baru saja menuntaskan apa yang kami sebut dengan belajar kilat (meskipun aku yakin tidak ada satu ilmupun yang masuk ke dalam otak kami). Dia mengecup bibirku untuk pertama kali. Dan entah kenapa aku tidak marah.
I like the way he wanted me everytime. Really wild, without a doubt. Membuatku merasa diinginkan.
Jangan kau kira kami telah berbagi ciuman. Tidak. Tidak semudah itu untuk mendapatkanku. Biar saja aku dikatakan jual mahal. Kejar aku jika kau ingin. Jangan meminta sebelum kau berhasil mendapatkanku ada dalam dekapanmu.

Dua kali kami mengunjungi apa yang selalu menjadi alergi mendasar dari diri Adi. Toko Buku.

Tentu saja aku tidak bisa menyelesaikan satu bukupun meskipun kami telah ada disana selama hampir 5 jam. Tapi kami selalu mengobrolkan banyak hal. Mulai dari masalah kami sampai dengan hal-hal lain.

Dan kini aku mendapati dia berangkat ke sekolah dengan mantannya? Mereka kembali bersama?

Boleh aku melempari mereka dengan sapu di tanganku?

Beberapa hari kami tidak saling bertukar pesan. Hingga akhirnya dia mengirim pesan terlebih dahulu dan kami bertengkar.

Aku muak. Berapa kali kepercayaan yang aku bangun dihempaskan begitu saja? Masih harus aku percaya lagi? Masih harus aku menerimamu lagi?
Semua terasa semakin nyata ketika acara motivasi untuk tingkat akhir di aula itu berlangsung. Dia duduk bersama dengan mantannnya. Apa lagi yang bisa disangkal? Hatiku seperti diremas paksa. Sudah berapa guratan yang ada disana?

"Maafin aku ya." kalimatnya terdengar sayu di telingaku.

Sore harinya saat aku akan berangkat menuju Ambarawa untuk berdoa bersama ketiga temanku, aku mengiriminya pesan singkat. Kami mulai berbaikan dan hubungan kami entah bagaimana bisa kembali pulih. Meskipun di beberapa kesempatan aku merindukan keberadaannya, rasanya ada sesuatu yang mengatakan "Hold on, Illia. You have to be calm down. Untuk pembiasaan."
Ya. Untuk pembiasaan. Pembiasaan tanpa hadirnya disisiku. Tanpa sentuhannya yang menggelitik. Tanpa tatapannya yang tajam. Tanpa aroma tubuhnya yang selalu melekat di pakaianku seusai kami bertemu. Tanpa tawanya yang terdengar aneh di telingaku.

Beberapa minggu yang lalu kami bertemu. Saat itu hujan deras dan kami ada di dekat aula sekolah. Dia menyeretku untuk naik ke lantai dua, tapi aku menolak mentah-mentah. Aku masih ingin turun dengan utuh, ferret. Maafkan aku.

Ruangan yang tadi aku huni bersama dengan temanku dan beberapa anak OSIS yang sedang rapat kini senggang karena rapat sudah selesai. Kami berdua bersama dengan teman kami yang satu lagi masuk ke dalam ruangan itu. Satu ruangan. Empat anak. Satu wanita. Well, tidak bagus.

I like the way you wanted me everynight for so long babyI like the way you needed me everytime the thing's got rocky

Aku bersedia menukar apapun untuk kebersamaan ini, Tuhan. Could it be last forever?

I was believing in you. Was I mistaken?Do you mean? Do you mean what you say?When you say our love could last forever...

Ada dalam pelukanmu adalah yang terindah. Bisakah aku ada disana setiap pagi dan malam? Bisakah aku menjadi orang yang menyambutmu setiap kau pulang kerja dan menyiapkanmu makan malam? Bisakah aku menjadi ibu dari anak-anakmu nanti? Memilikimu setiap saat. Setiap hari. Bermanjaan denganmu di setiap detik yang terus berlalu tanpa ampun. Mengingat hari demi hari yang tersisa untuk kita lalui bersama. Aku hanya ingin semakin sering melihatmu. Sebelum akhirnya aku mendapati kenyataan aku kembali ditinggalkan.

Sebelum kenyataan mendorongku untuk mengakui bahwa aku telah kalah.

Apa ini benar-benar cinta, Tuhan? Tapi ketika bahkan kekuatan cinta tidak sanggup berbuat apapun untuk mengubah iman masing-masing, mengapa kau mempertemukan kami?

Ini kisah yang bahkan tidak bisa terlupakan begitu saja. Setelah dua tahun yang aku kira bisa menghapus semuanya. Tapi ternyata kami kembali disini. Menorehkan memori ke dalam pikiran dan jiwa satu sama lain. Setelah dia menjalin hubungan selama hampir dua tahun dengan wanita lain. Dan setelah dua tahun ini aku memuaskan rasa inginku untuk bermain bersama pria-pria bodoh itu. Kami kembali bertemnu.

Apa ini dapat dikatakan sebagai melepas rindu? Ketika kami bersama dan hanya menautkan kedua tangan kami. Saling menyadari keberadaan satu sama lain. Semakin lama kontak fisik yang aku rasakan semakin menyiksaku ketika pikiranku kembali memberi peringatan bahwa sebentar lagi aku tidak akan bisa merasakan keberadaanmu sedekat ini lagi.

Memilikimu adalah hal terindah, kau tahu? Bahkan sampai sekarang belum ada pria yang bisa membuatku tersanjung seperti yang kau lakukan. Kau yang telah mengajariku banyak hal. Kau yang telah menawarkan rasa nyaman. Kau yang selalu bertahan untukku sekuat apapun aku mencoba untuk melepaskan diri.
Terima kasih untuk semuanya.

Minggu, 16 Februari 2014

Since You've Been Gone




Dan bila semua tidak seperti pada awal mula kita berjumpa, biarlah
Dan bila kita memang tidak bisa lagi bertahan dalam asa, jangan memaksa

Apa memang waktu telah menjawab segala pertanyaan?
Menunggumu bukanlah sebuah pilihan, itu keputusan
Biarkan aku tetap bertahan sampai aku terjatuh dan mati

Jangan pedulikan semua orang yang mencaci
Hiraukan mereka dan mulut busuk mereka sampai mereka terdiam
Karena aku disini berdiri, bertahan, dengan hati yang lemah tak berdaya

Segala dariku telah kau serap tak tersisa
Hingga kini aku tetap berdiri melawan arus Sang Pencipta
Demi kau yang bahkan tidak menganggap aku ada

Dan jika ini telah tak berguna, hempaskan segalanya
Lupakan waktu yang berdetik. Abaikan deru nafas yang mengejar kita

Datanglah ke dalam pelukan, sambut bibirku yang selalu kau damba
Jangan pedulikan mereka yang melihat dengan sebelah mata
Karena hanya ada kita dan dunia

Malaikat menangiskan darahnya
Bisikan setan membelit bagai bunyi sangkakala
Segalanya berputar dalam poros
Dan aku tetap bertahan
Dalam asa, tanpamu

My Wish, All The Time, All The Thing I Could Think


Takdir

Satu kata. Jutaan makna. Satu tujuan yang dapat meremukkan segala sesuatu yang berusaha menentangnya. Satu hal yang hanya bisa dipatuhi. Mengikuti arus yang ada.


Ini kisah tentang anak manusia. Yang berusaha menciptakan takdirnya. Ini kisah tentang dia yang tidak pernah menerima segala sesuatu begitu saja. Ini kisah tentang bagaimana takdir menghancurkannya.




 Berkeping-keping? Bahkan debu masih dapat terlihat. It’s just like she can’t breathe anymore...

Ketika takdir mengatakan tidak dan ia menentang. Ketika ia meminta dengan tangisan serupa darah kepada yang mempunyai hidup. Sebelum. Saat. Dan sesudah ia meminta. Semua sama. Hanya tangis yang pecah. Teriakan putus asa terdengar bagai sangkakala yang menyeruak di semua sudut hatinya. Lutut yang letih untuk terus berlutut dan berdoa. Bersujud menyembah Sang Maha Kuasa. Apapun dilakukannya untuk merubah takdir.

Tapi? Takdir memang kejam. Ya. Semua tetaplah sedia kala. Sang anak manusia kalah.

Ini kisah tentang dua anak manusia yang saling mengaitkan hati dengan melawan takdir. Ketika takdir memisahkan dengan palung terdalam yang dimilikinya. Berusaha menyeberangi kegelapan untuk dapat merengkuh. Kematian terasa jauh lebih memikat.

Ini kisah tentang dua hati yang terjebak ego dan emosi. Ketika kebutuhan dan kebohongan melebur dan meminta tumbal sang anak manusia. Kemunafikan meraja dalam asa yang kelabu dan kelam.

Ini kisah tentang cinta semu. Yang kata semua orang hanyalah sebagai siksaan dunia. Sebagian menyebutnya surga sementara. Ketika seorang anak manusia menyerahkan hatinya untuk dimiliki. Dan yang dilakukan oleh anak yang lain hanya menusuknya dengan belati dan membuangnya.

Tangis pecah seperti darah yang mengalir dengan segar dari lubang belati yang tertinggal. Drakula bangkit dari tidurnya dan menghampiri. Segala penjuru dipenuhi keturunan adam yang siap menggantikan hati sang anak.

Tapi hati sang anak tetaplah tidak tergantikan. Telah berbekas. Lubang besar yang tidak akan menutup sempurna. Belati telah tertancapkan. Takdir berkuasa. Sang anak kembali bersujud kepada Sang Maha Rahim. Tidak melawan takdir. Bukan.

Permohonan konyol yang tidak akan pernah diucapkan orang berotak. Apa karena dia telah tidak berhati? Apa karena dia dihancurkan oleh takdir? Bahkan sang anak tidak mengerti. Hingga kini hati itu masih terus menyala, berdenyut memanggil nama yang dicintainya. Tenaga yang terkuras membuatnya terkulai tanpa daya. Menunggu seseorang dengan kuda putih menjemputnya.

Dalam kegelapan malam. Seorang diri. Dalam sebuah bangunan tua. Sang anak menghadap salib yang agung. Pipinya berkilau terkena cahaya lilin yang terpantul oleh air mata. Bibirnya terbuka selayaknya orang berdoa. Pandangannya menerawang, berusaha mengingat doa lain. Tapi yang dia dapati hanya satu harapan. Harapan yang selalu terngiang di setiap rongga tengkoraknya. Di setiap detik yang dia lalui. Hanya ada satu nama.


“Tuhan, jika memang dia hanya untukku, dekatkanlah. Tapi jika tidak, buat ini semua mudah Tuhan. Aku tidak meminta banyak. Melihatnya tersenyum, melihatnya sehat dengan tawa mengembang di wajahnya. Itu yang ingin aku lihat. Di setiap hariku. Beri dia kesehatan yang cukup. Jangan biarkan dia jatuh sakit. Buat hidupnya bahagia. Beri kesabaran terhadap keluarganya. Jangan biarkan seorangpun menyakitinya. Karena aku mencintainya, Tuhan...”


“Aku tidak meminta aku dapat memilikinya. Karena aku tahu bahagianya bukanlah disisiku. Yang aku ingin hanyalah senyumnya yang tidak henti mengembang. Melihatnya bahagia adalah yang terindah, Tuhan... Beri dia kesehatan yang melimpah.”

Hanya orang bodoh yang mendoakan hal yang dia tahu adalah awal kesakitan luar biasa dalam rongga dadanya sendiri. Tapi sang anak tetaplah berdoa. Dan akhirnya (sepertinya) doa sang anak dikabulkan.

Tetesan air mata pertama berbaur dengan embun malam gulita. Lidah yang terasa asin. Hidung tertusuk dinginnya malam dan terasa pedih. Sang anak berdiri sendiri menatap langit. Minuman setan dalam genggaman. Sedih. Tapi dia bahagia membayangkan yang dia cinta sekarang dapat tertawa.


“Tuhan, tugasku untuk menjaganya sekarang sudah selesai. Kuserahkan dia kepada wanita lain.”

Di malam sunyi. Segala keheningan memekakan telinga. Isak tangis tertahan oleh tegukan minuman setan. Air mata yang leleh bersamaan dengan tertelannya cairan kuning emas ke dalam rongga tenggorokan. Sang anak tersenyum. Sungai kecil di pipinya berkilau tertimpa cahaya lampu jalanan.

Dingin menyergap. Segala persendiannya menjerit minta beristirahat. Tapi yang dia lakukan hanyalah membuka botol kedua. Dan melanjutkan semuanya. Sendiri.

Minggu, 13 Oktober 2013

When It Was You *ch 2


"Mbak Olga !:D"
"Dalem Ijaaal :p"
"I love you !:*"
"Alah gambus :p"
"Loh beneraaaan:*"
"Udah ah tidur sanaaa, udah malem. Cium cium mulu :p"
"Lha gemes o hihi:* maunya ditemenin mbakolgaa u,u"
"Yaudah bobok yok {} selamat tidur boskecil :)"
"Selamat tidur juga bos besar :D mimpi indah yaa ({})"

Ketika aku menangis karenamu, berjanjilah bahwa kau akan berpura-pura tidak mengetahuinya.
Ketika aku termenung memikirkan tentang kondisimu, berjanjilah kau akan memikirkan kondisimu juga.
Tapi ketika aku tersenyum kepadamu, berjanjilah jangan pernah membalas senyum itu.

Karena semakin banyak aku menangkap senyumanmu, aku akan terjatuh semakin dalam. Terperosok ke dalam jurang yang aku gali sendiri. Masuk ke dalam kehidupanmu semakin dalam dan dalam. Dan itu hanya akan membuatku hidup dalam asa yang tidak kunjung padam. Seperti bara api yang menyala. Tidak mengeluarkan api yang menjilat-jilat ke segala arah, tapi tidak pernah padam secepat perkiraanmu.

Pertemuan kedua kami berawal dari diriku sendiri. Ketika seluruh beban dunia seakan aku tanggung seorang diri, aku membutuhkan penghiburan. Apa ini namanya pelampiasan? Sepertinya begitu. Mungkin memang begitu.

Sangat sederhana. Aku bertemu seseorang yang istimewa, tepatnya di tanggal 27 Juni 2012, gedung Pandanaran lt 5 Sekretariatan KPU Kota Semarang (jangan tanya kenapa aku masih ingat sampai sekarang). Bahkan tidak dapat dipungkiri aku telah terpikat sejak pertama kali melihat matanya yang teduh. Sorot matanya menenangkan, tidak tajam seperti beberapa laki-laki yang sempat aku kenal. Tapi entah mengapa aku menyukainya.

Aku sempat bertemu dengannya di tanggal 25 Februari 2012 di aula sekolah. Well, baru beberapa detik dia menginjakkan kakinya disana saja dia sudah tersandung dan akan jatuh, aku tidak akan pernah melupakan hal konyol itu. Tapi semua orang mengejarnya, meminta nomor ponselnya secara blak-blakan atau sembunyi-sembunyi mencatatnya dari buku absensi. Bahkan beberapa temanku perempuan ada yang berani menggodanya. Aku hanya diam. Toh juga aku sudah memiliki pacar, kenapa mesti bertindak bodoh seperti mereka? Pertemuan kedua (aku lupa tepatnya kapan) terjadi sekitar bulan April minggu pertama. Dia datang bersama temannya untuk menemui salah satu temanku di sekolah. Saat pulang kami berjabat tangan, hanya itu dan selesai. Rasa tertarikku belum timbul, mungkin karena aku masih memiliki pacar yang sama seperti saat kami pertama bertemu. Tapi pertemuan ketiga saat pertengahan tahun 2012 itu merubah segalanya.

Tapi setelah melewati hari-hari yang bahkan terasa seperti hanya mengedipkan mata itu, aku kembali kehilangan arah. Dia pergi. Tanpa pamit, tanpa ucapan selamat tinggal, tanpa satupun lambaian tangan. I mean, dia masih disini, memang. Tapi dirinya bukan orang yang aku kenal dulu. Tidak ada lagi sosok laki-laki yang bahkan bisa membuatku melupakan segala masa laluku. Tidak ada sosok seorang kakak yang selalu menenangkanku ketika aku menangis. Tidak ada lagi sosok sahabat yang selalu menjadi tempat berdebat dan diakhiri dengan sentuhan manis di dahiku dengan gemas. Tidak ada lagi dia yang dulu.

Dan situasi yang membingungkan itulah yang membuatku terpaksa mengambil pilihan yang belum pernah aku coba. Segala pelampiasan aku coba. Mulai dari pertama kalinya aku mencoba minuman berakohol (jangan kira aku mabuk-mabukan dengan minuman kelas terbawah, dude) sampai mempermainkan semua orang yang mengejarku. Benarkah mereka mengejarku? Hah, aku tidak peduli. Aku sedang stress dan mereka datang, sesimple itu.

Dalam satu malam aku mendapatkan 4 orang dalam genggamanku. Salah satunya adalah kau, yang secara sengaja aku kirimi pesan singkat terlebih dulu. Tidak seperti yang lain yang datang dengan sendirinya, kau berbeda. Kau selalu berbeda. Dan aku mendapati di hari yang sama saat aku ingin memejamkan mata, 4 kata sayang dari 4 orang yang berbeda telah aku dapatkan.

Jahat? Ya. Aku akui aku jahat, bejat, bitch wannabe or whatever you want to yell me at. Tapi untuk sementara ini, biarkan aku menjadi egois. Aku lelah selalu menjadi orang yang ditinggalkan, yang selalu memendam perasaan sakit dan membebatnya dengan senyum palsu setiap harinya. Aku lelah menjadi pihak yang selalu mengalah, yang selalu membiarkan orang yang aku cintai memilih antara aku atau orang lain. Aku lelah menjadi orang yang terus merasa kehilangan dan bangkit sendirian. Ketika kau telah merasakan keseriusan membuncah dalam hatimu dan tiba-tiba orang yang kau anggap segalanya dalam hidupmu pergi begitu saja, bagaimana rasanya? Jangan bohongi dirimu sendiri. Jika kau benar-benar mencintainya, kau tidak akan baik-baik saja.

"Embeeb?"
"Dalem beb? {}"
"Kangen  :("
"Haha sabar yaa, kan sekolah masih libur :)"
"Pengen ketemu terus meluk kamu beb :*"
Oh shit, is he know that it's killing me inside?

Aku merasakan seperti hidup mulai menyapaku disetiap pagi datang. Beberapa pesan singkat datang untuk sekedar mengucapkan 'selamat pagi' dan 'semoga harimu menyenangkan' atau semacamnya, aku selalu tersenyum melihat semua pesan itu. Di setiap saat ponselku selalu ramai dengan mereka, setiap kali aku bersama dengan teman-teman atau di saat aku sedang mengantri di kantin, aku tidak pernah mengalami yang orang-orang sebut sebagai 'mati kutu'. Well, apa ini yang aku harapkan? Ketika malam datang dan satu per satu dari mereka mengucapkan selamat tidur, aku hanya mengatakan bahwa aku mengantuk dan mereka tidak akan menggangu lagi.

Di setiap malam aku tercenung. Memikirkan perasaan mereka satu persatu. Mereka semua sudah memiliki pacar, demi Tuhan! Ada apa dengan diriku sampai aku jadi manusia yang setega ini? Aku senang, tidak dapat dipungkiri. Tapi tidak dapat dihindari aku merasa seperti tetap ada yang hilang dari dalam diriku. Seperti sebuah lubang besar yang tidak dapat tertutup rapat dan tetap menganga. Seperti ada yang belum lengkap meskipun sudah ada mereka semua yang selalu mengisi hariku. Dan aku masih mencari penutupnya.

Aku terus menjalani hari-hariku tanpa mempedulikan perasaan mereka semua. Beberapa sudah aku tinggalkan karena bosan atau karena mereka sendiri yang pergi karena kesadaran mereka. Beberapa lagi baru saja masuk daftar antrian. Hah, sial. Hidupku sudah seperti tempat persinggahan.

Sampai akhirnya malam itu datang. Ketika percakapan singkat itu mengubah segalanya. Aku seperti dihantam bola beton ketika aku terbangun di pagi harinya. Kau sudah pergi.

Sejak saat itu aku merasa seperti lubang itu makin besar. Semakin aku cari penutupnya dan berhasil menemukan penutup itu, wajahmu selalu terlintas di sekitarku. Ini membuatku gila. Tidak mungkin seseorang sepertimu bisa membuatku merasakan ini semua. Kita bahkan tidak pernah mengobrol sesering itu. Hanya pada saat pertama kali kita berkenalan, beberapa hari setelahnya, dan setelah itu kau dan aku berpura-pura seperti kita tidak saling mengenal. Bahkan tidak ada yang mengetahui hubungan kedua kita ini selain sahabat terdekat kita masing-masing. Ini berarti jika kita berpisah bukankah rasanya akan jauh lebih mudah untuk melepaskan satu sama lain? Tapi kenapa jika aku melihatmu rasanya seperti ada yang menonjok hatiku? Rasanya tidak karuan. Padahal dua hubungan ini terhitung singkat dan tidak bermakna penuh. Ini konyol. Bahkan ketika aku bertemu dengan orang yang pernah menjadi bagian dari hidupku pun aku tidak pernah seperti ini sebelumnya. Menghindar, menolak memandang matamu, bahkan berusaha tidak berpapasan denganmu.

Sejak malam itu aku merasa ada yang berbeda. Kenapa ini? Bukankah semua masih baik-baik saja? Bukankah hari-hariku masih dihiasi warna yang sama? Tapi kenapa warnanya terasa memudar? Perlahan-lahan aku menghilangkan mereka semua dari kehidupanku. Dan yang tersisa hanya aku. Kembali sendiri.

Tapi paling tidak, ini pilihanku. Aku tidak mengalah, aku tidak dibuang. Aku yang membuang mereka semua. Aku yang memilih untuk sendiri sekarang. Aku yang berkuasa dalam hidupku sendiri waktu itu.

Tapi hampa selalu ada dalam dadaku kemanapun aku melangkah.

"..."
"Aku mau tanya boleh beb?" aku memulai. Here we go~
"Kenapa beb?"
"Kamu kenapa sih blakangan ini? Cuek bgt :("
"Engga yo beb, biasa aja"
"Kamu ki napa? Males sama aku?"
"Yo bukane gituuu"
"Oooh ceritanya bosen"
End.

When It Was You *ch 1


Pernah merasakan rasanya mencintai? Atau mungkin ketika kau berada di dalam pelukan erat seseorang yang sangat kau cintai? Yang selalu mengisi relung hatimu siang dan malam, yang selalu mengisi pikiranmu tentang dia, yang selalu mengisi harimu dengan senyuman...

Tapi pernahkah kalian merasakan rasanya mencintai orang yang mencintai orang lain? Ketika kau ingin memeluknya meskipun hanya sedetik dalam hidupmu. Atau mungkin merasakan dia berada disisimu, menggenggam tanganmu dengan erat seolah mengatakan "Everything's will be alright. I'm here." dan tersenyum penuh makna. Ketika kau menangis di pojok kamar, lalu tiba-tiba dia meneleponmu dan mengatakan "Jangan menangis. Aku disini." atau bahkan ketika air matamu membanjir, tiba-tiba dia ada di depan pintu rumahmu, menghapus air matamu dari pipimu dan memelukmu, menenangkanmu. Atau ketika di sekolah dia berpapasan denganmu dan menyapamu dengan senyumnya. Tapi tiba-tiba ketika kau mengkhayalkan itu semua, kenyataan membuat semua impianmu luluh lantah. Menjadi puing-puing kepahitan yang tidak akan bisa terlihat indah dari sisi manapun. Ketika kau ingin merasakan sebuah kecupan hangat di keningmu, tapi yang kau temui dalam kenyataan adalah dia meninggalkanmu bersama orang lain.

Pernah?

Sakit? Entah. Hatiku seperti mati rasa. Sungguh. Di detik pertama aku merasakan kesakitan yang luar biasa. Seperti jantungku seolah dicabut dari tempatnya. Tapi di detik berikutnya aku merasakan seperti mayat hidup. Aku menjalani kehidupanku, tapi aku tidak merasakannya.

Di detik pertama dia menyapaku, di aula sekolah ketika ada acara buka bersama tahun 2012 lalu. Aku bahkan tidak bisa melupakannya sedikitpun, moment dimana semua hidupku berputar. Dia menggodaku dan aku hanya tertawa kecil, berusaha menutupi wajahku yang terasa memanas. Setelah itu hari-hariku diisi dengan dirinya. Rasanya berbeda. Tidak seperti dekat dengan laki-laki pada umumnya. Dia membuat segalanya terasa berbeda.

Tapi beberapa hari semenjak kami dekat, kenyataan tetap menunjukan sisi kejamnya kepadaku. Aku melihat dia di parkiran sekolah, duduk di atas motor saat pulang sekolah. Posisinya membelakangiku, tapi di depannya ada seorang gadis, cantik, batinku. Aku melihat badge-nya. Berwarna orange dan bercawang tiga. Aku terdiam. Di dalam hati yang paling dalam aku berharap laki-laki itu bukan orang yang aku kenal. Tapi tiba-tiba laki-laki itu menoleh, dan hatiku terkoyak. Aku hanya tersenyum dan pergi dari situ secepatnya. Berusaha positive thinking, itu sifat alamiku sejak dulu.

Aku tidak tahu harus bagaimana saat itu, tapi aku putuskan untuk tidak membalas pesannya seharian.

"Mbak Olga marah sama aku?"
"Enggak."
"Lah itu dari kemarin smsku gak dibales -.-"
"Lagi males."
"Cemburu yaa? Cieeh :v"
Aku hanya diam. Apa benar ini namanya cemburu?

Yang semula aku sudah mulai tenang, aku telah melupakan kejadian itu, dan aku kembali dekat dengannya, aku kembali menyadari keadaan yang memojokkanku. Semua orang yang mengatakan padaku bahwa memang dia pacarmu. And then, you said that you loved me when you've had a girlfriend? Apalagi setelah ini, Tuhan? Pacarnya ada tiga? Atau aku ternyata hanya dijadikan bahan taruhan? Atau apa? Damn.

Sisi nakalku mulai bangkit. Okay, dear... if you want to play, let's play. But I want to be a player here.

Hanya sedikit bermain, dan beberapa hari lagi aku akan pergi. Menurutku itu cukup adil. Dan rencanaku terlaksana.

Dan segalanya berakhir.

Itulah pertemuan pertamaku dengannya. Orang yang kini benar-benar tidak bisa aku tinggalkan. Orang yang membuat hari-hariku kelabu, tapi tetap bergantung pada setitik cahaya. Cahaya yang aku harapkan dapat dibiaskan menjadi warna-warna kehidupan. Aku harap kau dapat melakukannya lagi seperti dulu. Ketika hatimu masih menjadi milikku. Ketika aku masih bersamamu. Ketika yang ada hanya canda tawa dan senyuman. Ketika yang ada hanya rasa nyaman dan saling percaya, saling meyakinkan. Ketika belum ada air mata...

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More