“Apakah kepatuhan dan konsistensi justru membuatnya bosan? Apabila
banyak orang yang menjadikan kebosanan sebagai antiklimaks yang mengawali
rangkaian sikap atau perilaku buruk, lantas dimanakah nilai sebuah
pengabdian?” - Barbitch.
Aku berusaha menepis pemikiran itu. Semua pemikiran buruk yang selalu
tertanam kuat-kuat dalam helaan nafasku setiap detiknya. Kau yang selalu
memikirkannya. Kau yang selalu merindukannya. Kau yang selalu berkontak
dengannya. Menanti pertemuan kalian dari hari ke hari. Mencintai tanpa henti...
Aku berusaha menepis itu semua. Tapi gagal. Sekalipun aku mengelak
fakta mengatakan sebaliknya. Kenyataan telah membelot dan aku kalah. Mulai dari
status hubungan di jejaring sosial itu (antara kau dan dia) yang terbit di saat
kita sedang ada dalam satu hubungan. Ditambah lagi postingan-postingan di
jejaring sosial itu dari si perempuan. Sekarang semua hal itu jadi masuk akal.
***
“Bodoh. Aku perempuan paling bodoh di dunia. Jatuh cinta kepada yang
tidak boleh dicintai. Tahu bahwa harus berhenti mencintai. Mampu untuk berhenti
mencintai. Namun tak mau. Semata karena hatiku mengatakan demikian.” – After
The Rain.
Izinkan aku mencintaimu, sayang. Walaupun aku tahu hatimu miliknya.
Ini jeritan bukan rengekan. Jeritan si gadis patah hati yang terpekur
di sudut kantin sekolah. Tangisnya memilukan seperti darah segar yang dikucur
air garam. Seperti luka menganga yang kembali ditusuk oleh taring drakula.
Hisap darahnya! Hisap darahnya! Jangan sia-siakan apapun yang dapat kau renggut
dari gadis ini. Setelah itu baru kau boleh pergi.
Kau telah mengambil apa yang paling berharga, sayang. Kau tahu?
Hatiku. Hatiku yang malang. Aku miris melihatnya setiap hari tergores
tanpa henti, karenamu!
Aku memberikannya kepadamu karena ku kira di kesempatan kedua kau akan
menjaganya, walaupun aku tahu hal itu tetap saja hanyalah sebuah harapan
kosong. Kau mengecewakanku, sayang. Kau tahu?
***
“Boleh aku bertanya terbuat dari apakah hati itu? Tak peduli seberapa
rindu menghantamnya, seberapa duka menggerusnya, hati masih tetap bersikeras
berdenyut. Memanggil-manggil nama yang kucinta.” – After The Rain.
Sejak dahulu memang hanya kau. Yang paling keji dan paling kusayang.
Hanya kau yang tahu bagaimana caranya membuatku mabuk kepayang hanya dalam satu
poros mata ke mata. Mata yang indah. Tidak akan pernah kulupakan bagaimana
rasanya menatap mata itu sepuasnya saat kita bersama. Memang hanya kau yang
tahu bagaimana cara membelaiku dengan lembut di tempat yang tepat. Bagaimana
menarikku jatuh ke dalam pelukan dan mengecup telingaku dengan lembut.
Aku suka caramu menginginkanku. Liar. Tanpa keraguan sedetikpun.
Caramu memandangku dengan buas seperti singa kelaparan. Aku menyukai semua
caramu, sayang. Aku merindukannya..
Apakah kau masih ingat bagaimana kau memelukku diantara rak-rak buku
di toko buku dekat sekolah? setiap sudutnya kini menggoreskan kenangan di
otakku. Bagaimana dengan tempat baru yang kau perlihatkan kepadaku? Di salah
satu mall lantai 5 itu. Kau tunjukan pemandangan kota yang membuatku menganga
dan rasanya aku tidak ingin berlalu dari sana secepat itu. Kau ingat? Dulu saat
hujan, di sekolah, kita bersama, kau ada dalam pelukanku. Aku ingin
menikmatinya lebih dari itu sekarang. Dan aku benar-benar menyesal menolak
keinginanmu untuk melakukannya di lantai dua. Kau masih ingat? Dulu di Fakultas
Teknik Lingkungan di salah satu Universitas tempat aku akan mengikuti tes, kau
mengecup bibir ini untuk pertama kali. Aku hanya tersenyum pahit mengingatnya
sekarang. Hanya berharap bisa mengulang semuanya kembali.
Jika kau tahu, rasa rindu ini bukan hanya karenamu. Tapi karena caramu
memperlakukanku. Tertawa karena candamu dan jatuh ke pelukanmu secara
bersamaan. Bisakah kita mengulangnya? Aku merindukan bagaimana rasanya
menatapmu secara langsung dengan jarak dekat tanpa pemisah.
Aku bahkan merindukan pertengkaran kita. Saat kita pulang dari mall
itu, dan kau memancing emosiku keluar. Semua tumpah. Ditengah banyak orang. Dan
kau terdiam, menyadari kesalahan yang kau buat. Hatiku kembali pahit, sayang. Kau
tahu?
***
“Tapi kau memang benar, kau lelaki tertampan yang pernah membuatku
ingin membunuh berjuta perempuan yang menggilaimu.” – I Love You, Bodoh.
Tampan? Jangan bermimpi, ferret. Bahkan semua orang mengatakan aku
sudah buta memilihmu. Tapi mereka orang lain. Aku jatuh cinta kepadamu, bukan
mereka. Tapi entah kenapa aku tidak pernah puas memandang wajahmu setiap kali
kita bertemu. Aku tidak pernah puas merasakan genggaman tanganmu yang terjalin
di jariku dengan kuat. Aku masih ingat betul genggaman itu akan mengeras ketika
emosi menderamu seketika.
Aku tidak akan pernah puas. Dan ini semua cukup sampai disini. Tidak
akan ada lagi kata kedua atau seterusnya. Tidak akan ada lagi belaian lembut di
pinggang yang menyapa setiap kali kita bertemu. Tidak akan ada lagi mata yang
menatapku tajam ketika aku melakukan kesalahan. Mata yang menatapku nanar
ketika kau memohon untuk kembali ke dalam hidupku dulu, di teras rumahku.
Apakah dulu kau serius untuk memintaku, sayang? Apa itu semua benar?
Ataukah itu juga satu dari sejuta kebohonganmu? Yang akhirnya terkuak satu
persatu. Menyakitkan jika aku memikirkan alasan dibalik semua kebohongan ini,
sayang. Kau tahu?
***
“Tak bisa kuhindari lagi, perkataannya melumpuhkanku. Aku tak pernah
menyadari sebelumnya, bahwa satu-satunya hal yang membuatku bahagia adalah
keberadaannya.” – Dear Bodoh.
Dan dia pergi. Tanpa alasan yang pasti, dia membuangku. Seperti kuman
tidak terpakai yang akan menularkan virus kematian kepada semua orang yang
mendekatiku. Seperti onggokan sampah si gadis patah hati yang tidak terpakai
lagi.
Aku akui kami jarang berkontak. Bahkan komunikasi kami jauh lebih
langka dibandingkan panda cina. Tapi setidaknya kami memiliki satu sama lain.
Aku merasa memiliki satu sama lain.
Tapi semua berubah ketika kau mengatakan ini semua sudah berakhir.
Semua ini hanya permainan yang tidak perlu ditamatkan dan kau langsung menekan
tombol exit karena permainan yang terlalu sulit untuk dilalui. Kau membuangku.
Hidupku. Hatiku. Semuanya. Kenangan kita, apakah kau simpan? 30% hatimu yang
kau bilang masih tetap tersimpan disana untukku meskipun telah setahun kita
berpisah, apakah sekarang masih ada? Gelang dariku, berwarna biru berbentuk
resliting, apakah benar kau masih menyimpannya di kamarmu, sayang? Ataukah kau
membuangnya karena dia telah
mengetahui hubungan kita dan kau lebih memilihnya?
Kau memang Lucifer. Kau selalu tahu bagaimana cara bertindak untuk
mencapai tujuanmu. Kau membuatku terbang setiap kali kita bertemu dan membuatku
kembali jatuh cinta kepadamu setelah hampir 2 tahun bahkan kita tidak bicara
secara intens. Kau tahu benar bagaimana caranya menutupi kebohongan dengan
musik yang indah dan membuai. Membuatku terlena dan terlelap. Tanpa sadar kau
telah memainkan peran yang sangat luar biasa di banyak panggung sandiwara. Kau
paling tahu bagaimana membuat seluruh pertahananku goyah. Pertahanan yang telah
aku bangun selama hampir 2 tahun untuk menutup luka yang bahkan tidak bisa aku
hilangkan. Semua karenamu. Dan kau kembali menghancurkan semua perban yang
kubalutkan. Hingga tidak ada yang tersisa selain lubang hitam tanpa dasar yang
mengerikan disana.
Hanya kau, Lucifer, yang tahu bagaimana cara mengiris batinku. Belum
ada orang yang berani selancang ini kepadaku. Menyakitiku tanpa ampun. Menutup
mata dari rengekanku. Menutup telinga dari jeritanku. Aku mengiba. Aku memohon.
Hentikan semua! Tapi kau justru kembali.. perlahan lahan.. membuatku kembali
terbuai.. kembali percaya.. dan kembali menghempaskan segalanya!
Salahkah jika aku ingin memutar waktu kembali dan menolakmu ketika kau
memohon untuk kembali masuk ke dalam hidupku? Aku hanya berharap memiliki hidup
yang normal tanpa ada bekas luka yang berusaha aku sembunyikan. Luka yang
membuatku melindungi diriku dari segala bentuk ancaman luka yang baru. Membuat
hidupku menjadi tidak sebebas dulu.
Tapi ini semua sudah terlanjur. Yang aku inginkan sekarang hanyalah
kau yang selalu disini. Menggelikan ketika aku mendapati kenyataan bahwa luka
yang kau sebabkan membutuhkan obat yang ternyata adalah dirimu sendiri. Kau.
Hanya kau yang aku butuhkan.
Salahkah jika aku menginginkan kau setia, sayang? Ya. Aku tahu aku
salah menginginkannya.
Aku tahu sejak awal aku mengatakan “Ya” ketika aku meminta untuk
kembali kepadaku yang kesekian kalinya, hatimu akan tetap menjadi miliknya,
selamanya. Tidak akan ada kesempatan untukku merebut ataupun menggesernya dari
dalam hatimu. Hanya dia yang kau cinta. Aku menyadarinya, tapi aku hanya diam.
Aku egois, sayang. Aku tahu. aku hanya berharap ada sedikit kesempatan untukku
merubah kenyataan. Tapi apa yang aku dapatkan? Hey ada luka baru disana! Dan disana!
Ah, disana juga ada!
Kau memang Lucifer. Iblis yang mampu memikat sang Ratu surgawi dengan
kelembutan belaiannya pada harpa nirwana.
“Hari demi hari pecut yang kau cambukkan kepadaku semakin terasa
menyakitkan. Membuatku semakin buta dan liar untuk terus berlari tanpa tujuan.
Berlari. Terus. Tanpa henti. Sama seperti dulu. Menutup mata, hati dan
pikiranku dari apapun yang mungkin bisa membuat luka itu kembali berdarah.” –
Tanpa Dirimu, Aku Bukan Diriku Yang Sekarang Chapter 8.
Hingga akhirnya, kini aku tahu. kau membuangku karena dia. Dia telah
kembali. Atau mungkin telah datang. Entah itu ratu yang lama, yang mencari
singgasananya yang telah kurenggut. Ataukah dia sang ratu baru yang telah kau
incar selama ini namun baru bisa kau takhlukkan. Dialah ratumu sekarang. Dan
aku telah tersingkir. Bahkan tidak cukup pantas walau hanya menjadi selir.
Semua berakhir hanya karena satu pesan singkat. Semua sosial media
diputus-hubungan. Sms yang tidak kau balas. Telepon yang dijawab dengan
hujatan. Inikah caramu membuangku, sayang? Sebegitu hinanya aku sekarang di
matamu?
Tapi ketika telah ada ratu baru yang memanjakanmu, apa yang dapat aku
perbuat? Aku tidak berkutik. Dialah bahagiamu.
Dan aku kembali disini untuk berlari dan menutup semua celah seperti
dulu. Memulai dari awal lagi. Kembali merangkak keluar dari jurang yang dalam.
Tempatmu membuangku. Sendiri.
“Udahan aja” 10.25; 26 Oktober 2014.