Hey! What’s up?
Aku tahu harusnya aku tidak bersedih seperti ini sekarang. Tapi apa boleh buat? Hatiku memerintahkan sebaliknya.
Berkali-kali aku melirik jam di layar ponselku. 23 sekian. 23 sekian. 23 sekian...
Jam brengsek! Kapan kau menunjukan angka 12?!
23.54, ucapan pertamaku datang. Sahabatku menjadi orang pertama. Di satu sisi aku senang, tidak bisa kupungkiri. Mengingat dengan datangnya ucapan ini, itu menandakan hari baru telah datang bagiku. Aku sempat tertawa saat menyadari masih 6 menit lagi sebelum pergantian hari dan dia sudah mencuri start. Itu hal pertama yang membuat aku tertawa, dan yang kedua karena isi ucapannya. “HBD mami jeyek :D sampai bertemu besuk di Taman KB (Y)” ohh, God. Gimme a break!
Yang kedua adalah kakak perempuanku yang paling cantik (well, dia kakak kandungku satu-satunya. Jadi sudah pasti dia yang paling cantik)
Yang ketiga adalah sahabat perempuanku. Dia mengucapkan via pesan singkat di ponselku.
Okay, 3 ucapan pertama telah hadir dalam hidupku.
3 ucapan, yang sejujurnya datang bukan dari orang yang aku inginkan.
Sisanya, semua ucapan yang lain mengalir tanpa terlalu aku hiraukan.
“Ucapan dari seribu orangpun tidak akan berarti tanpa ucapan darimu.” Aku membatin sepanjang hari, setiap kali ada yang memberiku ucapan Selamat Ulang Tahun atau apalah terserah.
Bahkan belum ada 5 menit aku menginjakkan kakiku di Sekolah, dan sudah ada 3 ucapan yang aku terima dari adik-adik kelasku yang dengan baik hatinya mengucapkan secara langsung kepadaku.
Sepanjang hari ponselku berbunyi, bergetar dan berkedip tiada henti.
Hanya satu alasan yang membuat aku terus-menerus masih mau menengok ponselku (yang notabenenya sudah seperti diteror): aku menunggu namamu yang terpampang disana.
Bahkan sampai pulang pun aku tetap melirik berkali-kali ke LCD ponselku yang membuatku seperti pecundang kehilangan arah dan tidak mempunyai teman. Membuatku seperti orang kesepian yang tidak punya kerjaan, salah tingkah, dan melampiaskannya dengan cara berkali-kali membuka dan menutup ponselnya. Ini gila! Sejak kapan aku, seorang Illia, menurunkan harga diriku demi satu ucapan ulang tahun? Hah. Dunia sepertinya sudah membuat otakku gila.
Saat pulang, sahabat kelasku mengajakku ke kantin untuk menemaninya makan.
Aa aa aaa... no, dear. I know what’s your plan. I’ve known.
Saat sampai di bawah tangga, sahabatku dari OSIS juga melakukan hal yang sama.
“Ada pesan dari Mas Munir...” dia menoleh ke kanan dan ke kiri. Well, pertamanya aku tidak curiga, tapi tidak lagi setelah dia mengatakan kalimat kedua, ketiga, keempat, etc.
Aku mulai merasa tidak aman. Aku segera keluar dari gerbang dan memutuskan menunggu sahabatku SMP di sana bersama dengan orang yang aku tahu pasti tidak akan setega itu untuk menjahiliku dengan barang-barang seperti tepung, telur dan lain-lain –adik kelasku.
Teman-temanku datang.
Salah satu berusaha mengamankan ponselku dengan cara berpura-pura meminjamnya untuk mencatat nomor ponsel.
“Biar aku bantu hafalkan saja. Tidak usah dicatat.” Aku menjawab polos. Sok pintar? Biar saja! Aku memang bisa menghafalkan nomor ponsel dengan mudah, kok.
Jangan kira aku bodoh, dear. Meminjam ponselku, lalu tepung akan melayang dari sekitarku ke arahku dengan spontan? No way.
Aku tidak menyangka di saat digit ke-9 diucapkan oleh sahabatku, ada gula halus yang dengan tanpa dosanya ditaburkan ke puncak kepalaku. Dan aku lebih merasa konyol saat aku ingat tadi aku ikut menyumbangkan gula halus ke temanku yang beralasan “nanti buat aku makan, mami. Bukan buat kamu kok tenang aja.” I feel so damn stupid right now!
Aku memutuskan pergi setelah beberapa detik sempat di tahan tanpa ampun di dalam gerbang. Astaga, aku tidak mungkin pergi ke restaurant fastfood dengan rupa seperti adonan-_-
Dan aku kembali percaya saat sahabatku yang lain menarikku, aku diminta untuk menemani dia menyeberang untuk membeli minum di seberang jalan. Okay, well, aku rasa itu bukan ide yang buruk. Jadi aku menurut saja.
Sebagai imbalan atas kepolosanku itu, satu bungkus minuman sukses membasahi badanku sebelah kiri.
Entah bagaimana, tapi yang aku ketahui saat aku sudah sampai di depan tulisan “SMK NEGERI 8 SEMARANG” bersama dengan temanku 11 RPL 3, aku sudah menjadi satu dengan tepung, air kran (atau mungkin comberan, entahlah), telur, dan es sirup. Dan lebih parah lagi, semua tersangka dalam perkara ini pergi entah kemana, meninggalkan si korban sendirian, menggigil, malu, bingung dan tidak memiliki baju ganti. Good job, guys!
Saat aku berada dalam perjalanan pulang, aku bersama dengan sahabat SMPku yang dengan setia menungguku dieksekusi oleh teman-teman sekelasku dan dengan polosnya berdiam diri sambil melihat ke arahku di sisi lain sekolahku tanpa melakukan apapun untuk membelaku.
Dengan keadaan seperti inipun aku masih memikirkanmu.
Andai saja saat semua orang berbuat iseng kepadaku tadi aku dapat melihat senyummu disana, tawaku pasti akan lebih lepas dari tadi...
Di restaurant fastfood, aku kembali menemukan surprizeku.
“Dia memang ganteng, manis kok. Tapi aku mau tanya deh, dia lagi deket sama cewek gak?”
“Yeah, sudah agak lama ini dia dekat sama satu perempuan. Tapi dia bilang mereka berdua gak ada hubungan lebih.”
“Kamu percaya dia gak pernah pacaran sama perempuan itu?”
Dan jantungku terasa seperti diberi alat pengejut. “Aku... percaya, karena apapun yang dia katakan selalu aku telan dan selalu aku percaya.”
“Aku sarankan kamu mulai sekarang jangan telan mentah-mentah semua omongannya dia. Masak baik-baik, baru kamu makan. Jangan langsung kamu telan. Karena dia hanya manis di omongan. Dia pintar berbicara sama lawan jenis.”
Bolehkah aku menangis sekarang? Kata-kata itu... entah mengapa... seperti menohok keras hatiku. Aku mencelos. Apakah... ini harapan palsu? Atau aku yang terlalu berharap? Entah. Aku tidak bisa berpikir detik itu juga. Rasanya seperti baru saja jatuh dari puncak menara Eiffle. Setelah memanjat dan melihat berjuta keindahan, kau harus jatuh dan merasakan sakitnya untuk merelakan keindahan itu pergi menjauh darimu.
Well, anggap saja ini kado terindahku untuk hari ini. Romantis, bukan? Menemukan kenyataan yang sejak dahulu aku cari di hari ulang tahunku. What a big surprize! :’)
Sampai malam aku tetap menunggu ucapan darinya. Nothing. Mama sudah memarahiku agar tidak tidur terlalu malam. Ngototpun percuma, aku memang sedang tidak enak badan malam ini.
Esok pagi aku membuka situs jejaring sosial, mencari siapa tahu ada ucapan yang aku tunggu. Dan sekali lagi aku menemukan kenyataanku.
Aku menulis catatan kecil di buku tulisku. Singkat, memang. Hanya berisi beberapa kalimat yang pernah kauucapkan padaku. Tapi membuat pelupukku seolah sedang mengalami badai parah.
“Aku tidak mengerti, kenapa semua orang selalu menangis karena cinta? Apa sih yang membuat mereka lemah? Hanya karena masalah laki-laki, hubungan, atau hal-hal sepele lainnya saja derai air mata tidak dapat dilawan? So weak.”
Itu yang aku katakan setahun lalu. Tapi sekarang, aku mengerti sebabnya.
Bahkan sampai saat inipun aku masih menunggu ucapan darimu. Tidak. Aku menunggumu.
Bolehkah hal itu aku lakukan?
Hah. Terkadang aku berpikir, siapa aku berani-beraninya menunggu seperti ini? Tapi aku sendiri tidak bisa lepas dari ini semua semudah itu. Semakin aku berusaha, semakin aku terjerat. Bahkan segala memory tentangmu masih terpampang jelas dalam otakku. Hari demi hari yang aku lalui denganmu. Setiap tempat terasa seperti memiliki kenangan tersendiri.
Aku tidak bisa memungkiri, aku merindukanmu. Aku tidak akan pernah lupa rasanya, bagaimana bisa benar-benar move on dari orang yang aku sayangi karena kau.
Dan kini, jujur aku takut. Saat kau mulai menghilang dari kehidupanku, aku takut perasaanku kepada dia kembali seperti dulu. Aku benar-benar ketakutan sekarang. Bisakah kau tetap berada disini, dear? Meskipun hanya ada, duduk manis terdiam, bersenda gurau, dan tidak menganggapku. Itu sudah lebih dari cukup. Melihat senyummu saja sudah lebih dari cukup.
::--------------------------::
“Kamu penasaran gak sih, Il? Lima tahun lagi kita jadi kayak gimana, ya?” kau menerawang.
Aku hanya membatinkan impianku. Membatin, sambil menatapmu, lalu tersenyum. Yah. Simpan impian itu baik-baik, Illia. Kau akan mengerti betapa besar kemungkinan tidak terwujudnya impian konyolmu itu saat lima tahun lagi datang.
::--------------------------::
“Hidup indah itu kayak Peter. :)” “Enak gimana coba? Ditusuk dari belakang sama temennya gitu-.-” “Indah tau! Terasa banget melankolisnya.” “Bukannya melankolis malah nyesek mulu ya bawaannya?” “Kenyesekanmu dihari ini akan membawa sebuah senyuman indah di esok hari.”
Dan kini aku hanya mengingat kalimat itu. Kalimat yang akan selalu aku ingat. Setiap kali aku menangis karenamu. Setiap kali aku merasa ada lubang besar dalam hatiku. Setiap kali aku tersadar akan ketiadaannya hadirmu disini. Setiap kali aku membutuhkanmu...
Aku percaya semua air mata ini akan membawa senyuman indah untukku diesok hari. Walaupun di kenyataan aku tidak pernah tersenyum diesok harinya.
::--------------------------::
“Saat kamu bertemu kegelapan, yakinlah kalau cahaya yang kau cari ada di dalam dirimu sendiri.”
Tengah malam. Sekitar satu dini hari. Aku mendengar kau mengatakannya, sambil melihat langsung kedalam mataku. Bagi orang mungkin ini konyol, yeah. Ini terdengar konyol, aku akui itu. Tapi aku selalu mengingat kata-kata itu saat aku merasa sendiri. Dengan mengubah beberapa kata didalamnya. Saat kamu merasa sendiri, yakinlah kalau orang yang kau cari dan kau inginkan ada didalam hatimu sendiri. Dan aku membayangkan kau ada disana, tersenyum padaku penuh arti. Dengan mata kirimu yang memiliki garis putih diagonal karena tersobek, membuatmu terlihat awesome.
::--------------------------::
I like the way you make me smile and laugh, baby. But now, I miss it so damn!
Aku suka caramu membuatku tertawa, membuatku tersenyum. Aku suka caramu mengacak rambutku dengan halus setiap kali kita bertemu. Aku suka caramu mengobrol denganku. Aku suka caramu mengendarai motor setiap kali bersamaku. Aku suka caramu melihat kedalam mataku. Lebih dari itu semua, aku menyukaimu.
Dan semakin lama aku memikirkan perkataan temanku, semakin aku tersadar. Yeah, sepertinya lebih baik setelah ini aku memikirkan kata-katamu sebelum aku mempercayainya. Mempercayai kata-katamu hanya membuatku semakin bangkit dengan harapan kosong sebagai pondasinya.
I look like a fool.
::--------------------------::
“Kamu penasaran gak sih, Il? Lima tahun lagi kita jadi kayak gimana, ya?” kau menerawang. Aku hanya membatinkan impianku. Aku sudah menjadi istrimu... Membatin, sambil menatapmu, lalu tersenyum.
-----
How? I hope you like this one :D well, saya memang sengaja membuat ini seakan-akan seperti mengenang hari ulang tahun saya saja. Karena saya juga menerbitkannya di Facebook, tapi hanya sampai di kalimat “itu yang aku katakan setahun lalu, tapi sekarang aku mengerti sebabnya”. Sisanya hanya saya terbitkan di sini. Saya tidak mungkin membuka perasaan secara blak-blakan. Apalagi ini perasaan abal-abal #siletmanasilet? >.<
Hanya sekedar info, saya menyelesaikan cerita ini dengan backsound “Saranghamnida” milik Astrid dan “Thinking of You” milik Katy Perry, mengingat saya sendiri sedang menjalin hubungan tanpa status dengan seorang laki-laki lain, tapi saya selalu memikirkan orang lain #slapped
Read and review, thanks :)
0 suara netizen:
Posting Komentar