About Me

Thesalonika Olga Valitha Briliane | 23 y.o | Indonesian | Swiftie | @__tukangmaido | Love Green, Like Mango | Jesus Christ

Kamis, 16 Agustus 2012

Dia dan Aku *chapter 1*


FIRST CHAPTER

My POV

“Hey!” sapaan yang familiar datang dari belakangku. Sapaan yang tidak pernah mengejutkanku. Sapaan yang sudah biasa kudengar setiap pagi saat aku sampai di gerbang sekolah dan berjalan setelah sepuluh langkah. Selalu seperti ini.
Aku hanya menoleh dan tersenyum. Daniel. Orang yang selalu berada di sampingku apapun yang terjadi padaku. Sahabat setiaku sejak pertama kali kami bertemu bertahun-tahun yang lalu. Semua orang mengatakan kami adalah pasangan yang serasi, tapi aku tidak menggubrisnya. Aku menyayanginya, tapi hanya sebatas teman. Mungkin sahabat.
“Aku pikir kau tidak akan menyapaku pagi ini.” Aku memulai pembicaraan.
Alisnya langsung terangkat dengan tinggi seperti akan tertelan ke dalam lautan rambut hitam cepak itu. “Jangan pernah berpikir begitu. Aku akan selalu menyapamu setiap pagi untuk memberimu semangat.” Dia tersenyum. Senyum yang dapat meluluhkan hati semua perempuan, sebenarnya. Kecuali aku. Aku sudah biasa menghadapi senyumnya setiap pagi dan setiap saat dia didekatku. Senyum itulah salah satu alasanku untuk tetap bertahan berjuang melawan penyakit ini. Agar aku dapat selalu melihat sahabatku tersenyum untukku. “Kenapa kau memandangiku seperti itu? Ada yang salah dengan wajahku?” tanyanya sambil membuat gerakan membersihkan pipi.
Aku menggeleng. “Aku pikir kau marah karena kejadian kemarin malam. Aku minta—”
“Jangan katakan kata maaf lagi kepadaku. Kau tidak salah, aku tahu itu. Hanya saja kebiasaanmu mimisan kambuh di saat yang tidak tepat. Aku dapat mengerti.”
“Terima kasih.” Aku hanya dapat mengatakan itu.
“Juga jangan katakan kata itu lagi. Aku bosan mendengarnya darimu.” Dia menyentuh ujung hidungku pelan sambil tetap berjalan. Aku tertawa kecil.
“Ah ya. Terima kasih, terima kasih, terima kasih...”
“Aku tidak dengar... aku tidak dengar...” dia menutup kedua telinganya dengan jari sambil menutup matanya.
Aku tertawa lagi melihatnya bertingkah konyol seperti itu. Entah kenapa Daniel selalu bisa membuatku tertawa lepas dan lupa akan segala beban yang ada di pundakku.
Kami tertawa dan tersenyum selama perjalanan ke kelas. Dingin mulai merasuki tangan dan tengkukku karena salju yang bertambah lebat.
“Aku benar-benar tidak menyangka ada orang tolol yang mau menunggu di bawah salju selama empat jam lebih dan tidak marah meskipun tidak mendapatkan hasil apapun. Setolol itukah dirimu?” aku menatapnya penuh sekarang.
“Aku bukan tolol. Aku hanya terlalu baik kepada dirimu sehingga aku tidak dapat marah kepadamu hanya karena kau tidak dapat menepati janji kita untuk bertemu di taman.” Dia bersin.
“Kau flu?” dahiku berkerut dalam. Alis kiriku terangkat. “Dan kau tidak memakai syal? Astaga! Sekarang aku benar-benar yakin kau orang yang tolol.”

0 suara netizen:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More