FIRST
CHAPTER
My POV
“Hey!” sapaan yang familiar datang dari
belakangku. Sapaan yang tidak pernah mengejutkanku. Sapaan yang sudah biasa
kudengar setiap pagi saat aku sampai di gerbang sekolah dan berjalan setelah
sepuluh langkah. Selalu seperti ini.
Aku hanya menoleh dan tersenyum. Daniel. Orang
yang selalu berada di sampingku apapun yang terjadi padaku. Sahabat setiaku
sejak pertama kali kami bertemu bertahun-tahun yang lalu. Semua orang
mengatakan kami adalah pasangan yang serasi, tapi aku tidak menggubrisnya. Aku
menyayanginya, tapi hanya sebatas teman. Mungkin sahabat.
“Aku pikir kau tidak akan menyapaku pagi ini.”
Aku memulai pembicaraan.
Alisnya langsung terangkat dengan tinggi
seperti akan tertelan ke dalam lautan rambut hitam cepak itu. “Jangan pernah
berpikir begitu. Aku akan selalu menyapamu setiap pagi untuk memberimu
semangat.” Dia tersenyum. Senyum yang dapat meluluhkan hati semua perempuan,
sebenarnya. Kecuali aku. Aku sudah biasa menghadapi senyumnya setiap pagi dan
setiap saat dia didekatku. Senyum itulah salah satu alasanku untuk tetap
bertahan berjuang melawan penyakit ini. Agar aku dapat selalu melihat sahabatku
tersenyum untukku. “Kenapa kau memandangiku seperti itu? Ada yang salah dengan
wajahku?” tanyanya sambil membuat gerakan membersihkan pipi.
Aku menggeleng. “Aku pikir kau marah karena
kejadian kemarin malam. Aku minta—”
“Jangan katakan kata maaf lagi kepadaku. Kau
tidak salah, aku tahu itu. Hanya saja kebiasaanmu mimisan kambuh di saat yang
tidak tepat. Aku dapat mengerti.”
“Terima kasih.” Aku hanya dapat mengatakan itu.
“Juga jangan katakan kata itu lagi. Aku bosan
mendengarnya darimu.” Dia menyentuh ujung hidungku pelan sambil tetap berjalan.
Aku tertawa kecil.
“Ah ya. Terima kasih, terima kasih, terima
kasih...”
“Aku tidak dengar... aku tidak dengar...” dia
menutup kedua telinganya dengan jari sambil menutup matanya.
Aku tertawa lagi melihatnya bertingkah konyol
seperti itu. Entah kenapa Daniel selalu bisa membuatku tertawa lepas dan lupa
akan segala beban yang ada di pundakku.
Kami tertawa dan tersenyum selama perjalanan ke
kelas. Dingin mulai merasuki tangan dan tengkukku karena salju yang bertambah
lebat.
“Aku benar-benar tidak menyangka ada orang
tolol yang mau menunggu di bawah salju selama empat jam lebih dan tidak marah
meskipun tidak mendapatkan hasil apapun. Setolol itukah dirimu?” aku menatapnya
penuh sekarang.
“Aku bukan tolol. Aku hanya terlalu baik kepada
dirimu sehingga aku tidak dapat marah kepadamu hanya karena kau tidak dapat
menepati janji kita untuk bertemu di taman.” Dia bersin.
“Kau flu?” dahiku berkerut dalam. Alis kiriku
terangkat. “Dan kau tidak memakai syal? Astaga! Sekarang aku benar-benar yakin
kau orang yang tolol.”
0 suara netizen:
Posting Komentar