About Me

Thesalonika Olga Valitha Briliane | 23 y.o | Indonesian | Swiftie | @__tukangmaido | Love Green, Like Mango | Jesus Christ

Kamis, 16 Agustus 2012

Taylor's NEW Album titled RED


TAYLOR'S NEW ALBUM, RED, SET FOR RELEASE ON OCTOBER 22ND

Taylor Swift’s highly-anticipated fourth studio album will be released worldwide on October 22nd, Taylor herself announced this evening during a live YouTube web chat with her fans.
Entitled Red, the album will be released on Big Machine Records and contains 16 tracks. After writing her last album (Speak Now) entirely by herself, for this record Taylor collaborated with several artists, producers, and songwriters she had always wanted to work with.
 
“For the last two years, I've been working on an album called Red,” Taylor says. “I called it Red because of the tumultuous, crazy adventures in love and loss that it chronicles. In my mind, when you experience love that's fast paced and out of control and mixes infatuation, jealousy, frustration, miscommunication, and all of those lovely emotions…in retrospect, it all looks red.”
 
The first single from Red, “We Are Never Ever Getting Back Together,” (written by Taylor Swift, Max Martin, Shellback) has already arrived at radio and will be available today at iTunes and Google Play, and beginning tomorrow worldwide at all digital retail outlets.
 
Album pre-sale dates will be announced in the coming weeks.

Dia dan Aku *sekuel dari chapter 1*


Daniel’s POV

Ya. Aku tolol karena hanya dapat mendekatimu sebagai teman. Aku tolol karena tidak dapat menyatakan perasaanku kepadamu. Aku tolol karena tidak dapat menjaga perasaanku kepadamu. Aku tolol karena aku melakukan itu semua.
“Well, okay Miss Clev, aku memang orang yang tolol.” Sahutku, membuat gerakan memasukkan tangan ke dalam saku.
“Mmh hmm.” Dua suku kata keluar darinya tanpa membuka mulut. Kepalanya mengangguk.
Aku mendengus kecil bersamaan dengan menunduknya kepalaku. Satu sudut mulutku membuat senyuman hampa. Senyuman kekalahan.
Hening.
Kelas sudah di depan kami. Aku mengambil tempat di pojok seperti biasa. Tempat yang sangat strategis untuk memperhatikannya setiap saat yang selalu duduk di tengah kelas.
Aku duduk dan memperhatikannya. Mungkinkah aku bermimpi untuk memiliki dia? Apa aku bisa memiliki hatinya yang sangat teramat susah untuk didapatkan? Apa aku bisa menjadi orang yang istimewa untuknya?
Ya. Aku memiliki dia sebagai seorang sahabat yang sejati.
Ya. Aku telah memiliki hatinya yang sangat susah untuk didapatkan walau hanya sebagai sahabat. Aku sangat beruntung dapat menjadi sahabatnya yang paling dekat.
Dan, once again. Ya. Aku sudah menjadi orang yang istimewa untuknya. Yaitu sahabat terbaik yang pernah dia miliki, aku harap.
Apa akan terus seperti ini? Melihat dia menderita, tapi tidak dapat memeluknya sebagai seorang kekasih dan hanya dapat menggenggam tangannya sebagai seorang teman?
Gadis manis, putih, dengan rambut sedikit bergelombang di beberapa tempat yang selalu membingkai wajahnya yang agak pucat, gadis idamanku yang tidak akan dapat aku miliki. Hey kau yang saat ini sedang kuperhatikan, apakah kau akan menjadi gadisku? Apa aku akan sempat mengatakan perasaanku kepadamu? Apa aku akan sempat memilikimu?
Sepertinya tidak.
“Hoy!” pundakku yang terasa seperti ditepuk oleh seseorang membuat segala lamunan harianku buyar dan kabur entah kemana. “Melamunkan hal yang sama lagi?” Chris terlihat mengikuti arah pandanganku tadi.
“Mmh hmm.” Aku hanya bergumam tidak jelas. Kepalaku mengangguk otomatis. “Mungkinkah...?”
“...aku dapat memilikinya?” Chris melanjutkan kalimatku dan mendesah. “Aku sudah lebih dari hafal dengan kalimatmu yang itu, Dan.” Dia memutar bola matanya.
Aku mendengus. Hah. Seputus-asa itukah aku?

Dia dan Aku *chapter 1*


FIRST CHAPTER

My POV

“Hey!” sapaan yang familiar datang dari belakangku. Sapaan yang tidak pernah mengejutkanku. Sapaan yang sudah biasa kudengar setiap pagi saat aku sampai di gerbang sekolah dan berjalan setelah sepuluh langkah. Selalu seperti ini.
Aku hanya menoleh dan tersenyum. Daniel. Orang yang selalu berada di sampingku apapun yang terjadi padaku. Sahabat setiaku sejak pertama kali kami bertemu bertahun-tahun yang lalu. Semua orang mengatakan kami adalah pasangan yang serasi, tapi aku tidak menggubrisnya. Aku menyayanginya, tapi hanya sebatas teman. Mungkin sahabat.
“Aku pikir kau tidak akan menyapaku pagi ini.” Aku memulai pembicaraan.
Alisnya langsung terangkat dengan tinggi seperti akan tertelan ke dalam lautan rambut hitam cepak itu. “Jangan pernah berpikir begitu. Aku akan selalu menyapamu setiap pagi untuk memberimu semangat.” Dia tersenyum. Senyum yang dapat meluluhkan hati semua perempuan, sebenarnya. Kecuali aku. Aku sudah biasa menghadapi senyumnya setiap pagi dan setiap saat dia didekatku. Senyum itulah salah satu alasanku untuk tetap bertahan berjuang melawan penyakit ini. Agar aku dapat selalu melihat sahabatku tersenyum untukku. “Kenapa kau memandangiku seperti itu? Ada yang salah dengan wajahku?” tanyanya sambil membuat gerakan membersihkan pipi.
Aku menggeleng. “Aku pikir kau marah karena kejadian kemarin malam. Aku minta—”
“Jangan katakan kata maaf lagi kepadaku. Kau tidak salah, aku tahu itu. Hanya saja kebiasaanmu mimisan kambuh di saat yang tidak tepat. Aku dapat mengerti.”
“Terima kasih.” Aku hanya dapat mengatakan itu.
“Juga jangan katakan kata itu lagi. Aku bosan mendengarnya darimu.” Dia menyentuh ujung hidungku pelan sambil tetap berjalan. Aku tertawa kecil.
“Ah ya. Terima kasih, terima kasih, terima kasih...”
“Aku tidak dengar... aku tidak dengar...” dia menutup kedua telinganya dengan jari sambil menutup matanya.
Aku tertawa lagi melihatnya bertingkah konyol seperti itu. Entah kenapa Daniel selalu bisa membuatku tertawa lepas dan lupa akan segala beban yang ada di pundakku.
Kami tertawa dan tersenyum selama perjalanan ke kelas. Dingin mulai merasuki tangan dan tengkukku karena salju yang bertambah lebat.
“Aku benar-benar tidak menyangka ada orang tolol yang mau menunggu di bawah salju selama empat jam lebih dan tidak marah meskipun tidak mendapatkan hasil apapun. Setolol itukah dirimu?” aku menatapnya penuh sekarang.
“Aku bukan tolol. Aku hanya terlalu baik kepada dirimu sehingga aku tidak dapat marah kepadamu hanya karena kau tidak dapat menepati janji kita untuk bertemu di taman.” Dia bersin.
“Kau flu?” dahiku berkerut dalam. Alis kiriku terangkat. “Dan kau tidak memakai syal? Astaga! Sekarang aku benar-benar yakin kau orang yang tolol.”

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More