About Me

Thesalonika Olga Valitha Briliane | 23 y.o | Indonesian | Swiftie | @__tukangmaido | Love Green, Like Mango | Jesus Christ

Jumat, 19 Juli 2019

Not Only Mine #2

Rasanya masih sakit. Dan nafasnya masih memburu liar. Bibirku masih tanpa daya. Kakiku lunglai berayun lemah. Sekian lama waktu berlalu dan rasanya masih sama saat kutatap mata itu. Seperti saat terakhir kita saling berteriak dan memaki. Dan tatapmu masih sama seperti dulu. Atau imajinasiku yang terberai? Terjatuh dalam lamunan sang ibu peri tanpa ingat bahwa ada tanah yang harusnya aku pijak? Semua masih sama. Aku masih sama. Sekeras apapun aku mencoba akan tetap sama.

FLASHBACK

Tiba tiba semua menjadi kembali dekat. Bukan hanya di dalam semua chatting kami. Tapi juga di dalam kehidupan nyata kami. Tuhan kembali mendekatkan kami berdua.
Sadarkah Kau, Tuhan? Hal hal semacam ini hanya akan membuatku terluka. Jatuh semakin dalam ke palung tanpa dasar. Rasanya seperti berjalan dengan mata tertutup kafan hitam. Terus melangkah tanpa tahu apa yang menantiku di depan sana.

Semua permasalahan konyol selalu teratasi. Kecil sampai besar. Kau selalu ada. Setiap aku membisu kau selalu disana. Dan dengan caramu kau membuatku bisa berbicara. Dengan caramu pula lah kau membuatku bisa meluapkan segala emosi yang kupendam.

Kau memang yang paling mengerti. Topeng macam apa yang selalu kupasang. Bagian mana yang harus disentuh agar topeng itu terbuka. Seperti apa diriku yang sebenarnya ketika topeng itu terbuka sepenuhnya. Dan bagaimana caranya untuk menghadapi aku yang tak bertopeng. Kau seakan memahami segalanya.

Bagaimana bisa aku bersembunyi dan berpura-pura segalanya baik baik saja jika KAU yang harus aku lawan? Harus dimana lagi aku bersembunyi sehingga dunia hanya tahu aku baik baik saja? Jika kau bahkan tahu dimana letak tombol kunci untuk membuka kotak Pandora itu.

Mulai dari aku yang selalu diam dan enggan menceritakan segalanya. Sampai akhirnya perlahan aku berubah menjadi orang yang sepenuhnya bergantung padamu bahkan hanya karena masalah sepele. Dari aku yang selalu berusaha melewati segalanya sendiri. Sampai akhirnya kau menjadi patokan dari segala penjuru tatapku. Kau tempatku mencari ketenangan dan penyelesaian. Semua seketika berubah.

Persetan dengan apa yang akan terjadi jika semua terungkap ke permukaan. Bagaimana aku dan kau akan di cap sebagai manusia tidak berakal hanya karena rasa saling ketergantungan. Salahkah jika rasa itu tumbuh tanpa diminta? Meskipun rasa itu bahkan datang kepada orang yang salah? Memang apa dayaku untuk memilih ketika Tuhan yang menjatuhkan pilihan?

Dari diam seribu bahasa. Sampai akhirnya semua kata kata yang mengalir dari mulutmu berhasil membuka kotak pandora yang aku simpan di pojok ruang. Perlahan kata kataku ikut mengalir keluar. Sedikit demi sedikit. Sampai akhirnya segala emosi kita selalu bertalu. Berlomba ingin sampai ke puncak tanpa mau satupun kalah. Bibirku bahkan masih membentuk seulas senyuman ketika mengingat semua kejadian konyol setiap kali kita saling memaki di hadapan banyak orang.

Tapi memang hanya kau, yang tahu bagaimana caranya membangkitkan emosi itu lalu meredamnya kembali. Membuatku lega karena telah meluapkan segala rasa kesetanan itu padamu lalu kembali merasa damai setelahnya. Sadarkah kau semakin hari caramu itu semakin membuatku terus mencari cari keberadaanmu?

END

"Cari apa?..." seketika aku terdiam saat kepalaku menengadah.

Dan kini dia disini. Ada di hadapanku. Setelah entah sekian waktu tak terdengar kabar. Tak ada lagi kontak yang terjadi.

Segala tangis yang aku tumpahkan di setiap malamku ketika aku mencari dan tak menemukan bayangmu seakan kembali menyerbu ke dalam otakku. Membuat semua neuron di dalam badanku bergerak dan tanganku terasa seperti ingin menampar wajahmu seketika.

Tapi yang aku dapati hanya bibirku membentuk gua. Kedua tanganku erat memegang ponsel. Dan aku tidak bergerak. Tidak berkata selama sepersekian detik. Otakku memproses. Dan di dalam waktu yang bersamaan ada pertahanan untuk menahan tanganku agar tidak segera melayang.

Rasanya aneh kembali melihatmu dalam wujud nyata. Ada. Hadir. Tersenyum konyol seperti dulu. Meskipun kau hanya duduk dan menghisap rokokmu di hadapanku.

Hah. Ini konyol. Bedebah.

Dulu kami saling menyayangi dan saling mencari. Tapi yang aku dapati kini kami saling diam dan kehabisan topik untuk bertukar sapa?

Apa yang salah denganmu, Buddy? Bukankah dulu kau yang selalu mengawali pembicaraan? Jika kau kemari hanya untuk melihat bagaimana reaksiku ketika bertemu denganmu, sebaiknya kau segera pergi.

Tidak dapat dipungkiri reaksiku pasti kentara. Rasa luka itu masih ada. Ketika dulu aku selalu punya poros dan kini aku mengambang seorang diri tanpa mercusuar. Sadarkah dia aku selalu mencarinya? Dan sadarkah dia bahwa rasa bingung itu perlahan beralih menjadi sedih dan dendam? Rasa marahku luar biasa. Tapi aku bahkan tidak bisa mengeluarkannya di hadapan sembarang orang. Sadarkah dia bahwa ada masa dimana setiap malam namanya selalu kusebut dalam setiap doa? Sadarkah namanya yang selalu aku panggil setiap aku menangis di pojok kamar?

Tapi kenapa kini setelah semua masa itu berlalu dan aku paksa untuk menemukan akhir dari cerita dia justru kembali? Membuka cerita baru?

Kami mengobrol. Berusaha mengobrol. Sekian detik kami berbicara dan sekian menit hening berkuasa. Aku memejamkan mata, mengambil nafas dan menenangkan pikiran. Aku berusaha terlihat baik baik saja. Aku HARUS terlihat baik baik saja. Tak perlu waktu lama untuk itu semua. Diriku terlatih untuk memakai topeng di setiap hariku.

Kami mampir ke salah satu cafe di kota kecil itu. Bertiga. Dengan teman lain di sana. Aku lebih banyak diam. Rasanya konyol. Dan ini semua membuatku tersentak lebih dari perkiraan. Memangnya apa yang terjadi di masalalu antara kami? Kenapa dampaknya jadi begitu besar? Bukankah konyol, ketika tidak ada sesuatu yang terlalu serius yang terjadi sampai bisa menjadi alasan untuk merasa terganggu?

Pukul 10 malam. Aku tidak memberitahu siapapun bahwa aku sedang tidak di kost. Yang orang orang tahu aku sudah terlelap.

Ya. Sepertinya aku memang sedang terlelap. Rasanya seperti mimpi, kau tahu? Bisa melihatmu. Menyentuhmu lagi. Berjalan di sisimu. Berbicara denganmu. Aku kira semua ini tidak akan pernah terjadi. Melihat senyummu dan mendengar tawamu. Rasanya seperti si pelacur telah diperbolehkan menginjak surga. Seperti fantasiku sendiri. Seperti dulu di setiap malam kau hadir dalam anganku dan menghiburku di semua mimpiku. Mungkin ini adalah hal semacam itu.

Aku melihat meja. Tidak ada yang menarik perhatianku. Aku merana dan kembali diam. Melihat mereka berdua bercanda satu sama lain. Lalu tiba tiba temanku pamit untuk ke minimarket. Aku menitip sesuatu kepadanya dan dia pergi.

Tinggal aku dan kau.
Keheningan kembali meraja.
Aku menghela nafas.
Kau hanya tertunduk menatap kopimu.
Dan aku berusaha menyibukkan diri dengan ponselku.
Sampai temanku datang.

"Kau bawa apa yang aku pesan?" Dan akhirnya dia melempar LA Ice satu kotak kepadaku. Aku langsung membukanya tanpa basa basi. Tubuhku sudah butuh ditenangkan sejak tadi.

Aku mengambil sebatang dan menyelipkannya diantara bibirku. Tangan dan mataku berlomba mencari korek di meja. "Korek dong." Aku menarik perhatianmu dan aku melihat sekilas rasa kaget disana bertengger. Kau memberiku korek dan perlahan berkata saat temanku berbicara di telepon. "Siapa yang ngajarin?" Senyum itu langsung muncul. Senyum kecewa yang sejak dulu sering kau berikan untukku. Dan kau tahu rasanya seperti apa? Rasanya seperti tiba tiba aku menjadi sekecil tikus. Menciut. Mencicit. Merasa takut terhadap apapun. Hanya karena satu senyuman kecewa darimu.

Tapi itu dulu. Kini semua berbeda. Aku hanya mengangkat satu alisku dan mengambil korek itu. Tangan kiriku reflek menutupi ujung rokok dan tangan kananku membakar ujung rokoknya. Kepalaku reflek miring ke sisi kanan dan menghisap tembakau itu. Rasa lega itu perlahan muncul.
Semua berbeda. Kecuali aku. Semua kebiasaan, semangat, perhatian, attitude, sifat. Semua sudah berbeda. Hanya aku yang masih tetap sama. Hatiku memang telah beku. Tidak bisa disentuh dan dihangatkan kembali. Mungkin karena itulah seluruh rasa untukmu tetap ada disana. Membeku dan tak bisa dilepaskan.

Aku berusaha baik baik saja mendapatkan senyum itu. Hembusan asap pertama disusul dengan seringai lebar dariku. Kau hanya memandang batang berasap itu dan mendengus lalu menunduk sambil menenggak kopimu. Aku mengambil coklat panasku dan menyendoknya.

Tahukah kau, Buddy? Seringaiku pun mengandung luka. Sama seperti senyummu barusan yang mengandung kecewa ketika melihatku mengambil batang demi batang dari kotaknya. Bukan hanya kau yang bisa menyiratkan sesuatu. Tapi tidak semua orang bisa menyembunyikan segalanya seperti kita berdua.

FLASHBACK

Tangisku kembali pecah. Jam satu pagi. Rosario ada dalam genggamanku. Segalanya terasa semakin berat saat aku menjalaninya hanya seorang diri. Dimana kau, Buddy? Apa kau tidak merasakan sesuatu disana semacam rasa rindu yang menonjokmu seperti yang aku rasakan setiap malam disini? Kemana kau pergi? Kenapa kau tiba tiba menghilang ketika bahkan aku sedang berada di masa masa tersulit? Kenapa kau justru meninggalkan aku sendiri tanpa petunjuk arah? Aku menangis. Hanya itu yang bisa kulakukan. Sambil memeluk lutut. Dan berusaha menenangkan diri. Tapi bahkan menangis tetap mengingatkanku kepadamu. Pernah ada satu waktu ketika aku menangis dan kau menenangkanku.

Apa kini ketika aku menangis kaupun akan datang dan kembali menenangkanku?

Berhari hari yang aku lakukan hanyalah berputar putar di sekitar kota setiap malam untuk mencari ketenangan. Terkadang aku tersenyum mengingat betapa konyolnya kita dulu. Dua manusia tolol yang ceroboh sampai bisa saling memiliki rasa cinta, cemburu, perhatian, khawatir dan peduli. Mungkin akan lebih mudah jika dulu kita hanya bersahabat tanpa ada kata sayang terucap sebagai panggilan.

Perlahan lahan segelas kopi selalu terasa kurang di setiap pagi dan malam. Dan aku mulai menjamah rokok. Hal yang sejak dulu paling aku hindari meskipun beer dan vodka adalah sahabatku. Aku butuh ketenangan. Dan nikotin bisa memberikannya. Perlahan aku mulai ketergantungan. Sampai akhirnya aku kecanduan berat. Pada asap yang mengepul wangi disekitarku. Hal yang dulu aku benci. Kini bahkan menjadi teman setia yang selalu aku cari sebagai pengganti kehadiranmu.

END

Dan kini kau melihatku menghembuskan asap untuk kesekian kalinya. Sejak itu kau menghindari tatapanku. Kenapa? Apa salah jika aku begini? Apa aku boleh menyalahkanmu atas ini semua? Rasanya lebih tepat jika aku melimpahkan semua sebab dari tabiat burukku kepadamu. KAU yang membuatku jadi begini, bolehkah aku berpikir demikian?

Waktu aku lalui hanya dengan diam dan menatapmu. Sudah berapa lama sejak aku dapat puas menatapmu seperti ini? Seperti dulu ketika kau berbaring disisiku dan terlelap.

Ada saat dimana tanganmu melingkar di tubuhku dan aku terlelap di pundakmu. Semua kita lakukan diam diam. Tanpa perlu seorangpun tahu. Tanpa boleh seorangpun mengerti. Tanpa kau sadari aku lebih sering terjaga. Memandangmu yang terlelap. Dengkuran halus selalu tercipta di sela nafasmu. Aku lebih suka menikmati pemandangan itu ketimbang ikut tertidur.

Dan sekarang pun semua seperti deja vu. Aku kembali diam. Memilih meletakkan ponselku. Tangan kananku mengepit rokok dan terkadang menyendok coklat panas. Tapi mataku tidak pernah melepaskanmu.

Sampai waktu berlalu dengan cepat. Jam menunjukan pukul setengah 2 pagi. Dan kita harus segera pergi karena cafe harus tutup.

Seketika hatiku mencelos.

Apa setelah ini kita masih bisa bertemu? Aku tidak yakin.



===================================================

Hell! Ini aku temukan di salah satu arsip hahaha
Kejadian ini sudah bertahun-tahun yang lalu terjadi, sekitar tahun 2016 pertengahan. Yang artinya itu sudah tiga tahun berlalu. Tapi sangat disayangkan jika hanya menjadi arsip. Jadi, aku putuskan untuk mempostingnya sekarang. Happy reading! <3

Kamis, 24 November 2016

PREORDER VIVO V5 NOW!

vivo v5 20MP Softlight kamera perfect selfie
Resmi mulai preorder
------------------------------------
Kamera depan 20MP Softlight selfie
Kualitas audio Hi-Fi
Top spesifikasi Ram 4 + Rom 32
Layar besar 5.5
Smart Split, Eye protection dan experience yang baru
Harga New produk 3.499.000
PO v5 bisa mendapatkan gift box, anti gores original dan ditambah garansi service 2 tahun, segera dapatkan produk baru ini .
Tunggu apa lagi segera ke toko vivo terdekat untuk preorder, 20MP Softlight kamera perfect selfie
Toko : vivo Store Pati
Telp : 0295-4101580
Pin : D36B677C
Whatsapp : 081228117230
LINE : OlgaPetricifa

MENERIMA PENGIRIMAN SELURUH INDONESIA! GROSIR DAN ECERAN!

Sabtu, 01 Oktober 2016

vivo SMARTPHONE PROMO CASHBACK HINGGA 500 RIBUAN!!!

Zaman sekarang, gak usah lagi pusing² mikirin yang namanya LEMOT atau lg asik² selfie dibuat ribet. Apalagi mau dengerin musik atau liat medsos di gadgetmu malah pake acara buffering. Zaman dah canggih, dgn sekali CLICK semua sudah bisa.
Solusinya??? Ya vivo (Hi-fi & Smart)😍😍😍
CASH BACK Y31 & Y51😘😘😘

Lihat dulu nih kelebihan VIVO😍

1. vivo Y21 (Rp 1.499.000)
* Ram 1GB
* Super size 16GB up to 128GB
* Voice capture
* Smart wake & Smart Click
* Perfect Sound
* Support OTG

2. vivo Y31(Rp 1.799.000) CASH BACK Rp. 200.000 menjadi Rp.1.599.000
* Ram 1GB
* Super size 16GB up to 128GB
* Palm Capture
* Smart Click
* Smart Wake 2.0
* Android 5.1

3. vivo Y51 dari harga Rp 2.399.000 CASH BACK Rp.400.000 menjadi Rp.1.999.000
* 2GB RAM + 16GB ROM upto 128GB
* Smart wake & Smart Click
* Dazzling Glow
* Voice Capture
* Support OTG

4. Vivo V3 (Rp 2.999.000) CASH BACK 500.000 dari harga 3.499.000
* 3G RAM
* Faster Fingerprint Unlocking
* Metalic Body
* Faster Capture
* Split mode

🎉🎉🎉 DAPATKAN BANYAK BONUS MENARIK DI KONTER KAMI !!! 🎉🎉🎉
SEMI CELL PURWODADI JAWA TENGAH
Jl. R Suprapto No 21 Purwodadi, 58111

Kamis, 27 Agustus 2015

Not Only Mine #1

Jika memang empunya hati tak dapat memilih, izinkan aku terdiam tanpa menuntut.
Jika memang empunya hati terus mencabangkan diri, biarlah tetap begitu dan kuatkan cabangnya.
Hanya jika kau memintaku untuk memotongnya, aku akan memotongnya. Meskipun akhirnya akan ada darah disana. Akan ada pesakitan di salah satu semangnya. Tapi biarlah yang lain semakin membaik dan berbahagia, karena sang benalu telah tiada.

Bukan saja sebuah kisah biasa yang melibatkan dua insan manusia. Yang tersakiti dan saling menyembuhkan. Yang meninggalkan dan ditinggalkan. Yang saling mencinta dan bercinta bersama.
Tapi tentang dua belah pihak, yang sama sama tidak menginginkan ini semua terjadi. Tapi hati siapa yang tahu? Ini semua terjadi begitu saja. Tanpa diinginkan. Tanpa diminta.

Akukah yang salah? Ketika aku berdiam diri saat dia menggodaku. Bukankah seharusnya aku menghardik dia agar segera pergi kembali ke sarangnya dan tertidur lelap disana? Tapi kenapa justru aku beri dia makan dan membelainya lembut? Kenapa justru aku membuat dia seolah menemukan rumah baru untuk singgah?
Diakah yang salah? Ketika sang ratu tidak lagi memberikan kenyamanan kepadanya. Dan dia mencari kenyamanan di tempat lain. Seketika dia bertemu denganku. Dia tahu peduli macam apa yang aku tawarkan jika dia memilihku. Dan dia memilih untuk berdiam lebih lama. Pergi dari sarang dan bertemu tuan putri di kedalaman hutan.

Dosakah ini semua? Ketika anak manusia tidak berdosa ikut menanggung akibat dari pemberontakan. Dosakah jika aku benar benar membuatnya jatuh cinta dan bertekuk lutut kepadaku? Dosakah jika pada akhirnya hatinya sepenuhnya menjadi milikku?

Tapi untuk apa? Bahkan sekalipun dia jatuh ke dalam pelukan, dia tetap tidak akan menjadi milikku sepenuhnya. Dia akan tetap pulang kembali ke sarangnya. Bukan kemari.

Setiap hari percakapan terhenti di angka 21.00. Dan akan berlanjut di pagi hari pukul 10.00. Diluar itu? Kami seakan tidak saling mengenal.

Aku tidak mempermasalahkan itu semua. Aku menghargai usahanya untuk menjaga perasaanku dengan caranya sendiri.
Tapi ketakutan dari dalam diriku sendiri menelanku bulat bulat. Tidak akankah dia pergi? Tidak akankah ini akan berakhir dengan cepat? Tidak akankah dia menghilang tanpa jejak?

Aku mengatakan kepadanya bahwa aku takut untuk melangkah lebih jauh. Aku takut ketika aku melangkah lagi dan akhirnya dia pergi. Tapi dia mengatakan kepadaku agar aku tenang dan percaya kepadanya. Agar aku tidak takut dan terus melangkah ke dalam pelukannya. Dan aku percaya. Aku melangkah ke depan. Berkonsentrasi pada satu tujuan. Dia.
Tapi kemana dia pergi? Sedetik yang lalu dia masih disini tersenyum kepadaku dan membentangkan tangannya. Tapi kenapa dia menghilang bagaikan ditelan asap dan menyatu dalam kabut? Aku bingung. Tersesat. Aku mencari tapi tidak menemukan apapun. Aku terpuruk seorang diri. Dia pergi.

Mungkinkah dia pergi selamanya? Hanya datang ketika lapar dan pulang ketika kenyang? Hanya waktu yang bisa menjawab semuanya. Sambil menunggu, aku terus mencari jalan untuk pulang.

Senin, 03 November 2014

Tanpa Dirimu, Aku Bukan Diriku Yang Sekarang Chapter 9



“Apakah kepatuhan dan konsistensi justru membuatnya bosan? Apabila banyak orang yang menjadikan kebosanan sebagai antiklimaks yang mengawali rangkaian sikap atau perilaku buruk, lantas dimanakah nilai sebuah pengabdian?”  - Barbitch.

Aku berusaha menepis pemikiran itu. Semua pemikiran buruk yang selalu tertanam kuat-kuat dalam helaan nafasku setiap detiknya. Kau yang selalu memikirkannya. Kau yang selalu merindukannya. Kau yang selalu berkontak dengannya. Menanti pertemuan kalian dari hari ke hari. Mencintai tanpa henti...

Aku berusaha menepis itu semua. Tapi gagal. Sekalipun aku mengelak fakta mengatakan sebaliknya. Kenyataan telah membelot dan aku kalah. Mulai dari status hubungan di jejaring sosial itu (antara kau dan dia) yang terbit di saat kita sedang ada dalam satu hubungan. Ditambah lagi postingan-postingan di jejaring sosial itu dari si perempuan. Sekarang semua hal itu jadi masuk akal.

***

“Bodoh. Aku perempuan paling bodoh di dunia. Jatuh cinta kepada yang tidak boleh dicintai. Tahu bahwa harus berhenti mencintai. Mampu untuk berhenti mencintai. Namun tak mau. Semata karena hatiku mengatakan demikian.” – After The Rain.

Izinkan aku mencintaimu, sayang. Walaupun aku tahu hatimu miliknya.

Ini jeritan bukan rengekan. Jeritan si gadis patah hati yang terpekur di sudut kantin sekolah. Tangisnya memilukan seperti darah segar yang dikucur air garam. Seperti luka menganga yang kembali ditusuk oleh taring drakula. Hisap darahnya! Hisap darahnya! Jangan sia-siakan apapun yang dapat kau renggut dari gadis ini. Setelah itu baru kau boleh pergi.

Kau telah mengambil apa yang paling berharga, sayang. Kau tahu?

Hatiku. Hatiku yang malang. Aku miris melihatnya setiap hari tergores tanpa henti, karenamu!
Aku memberikannya kepadamu karena ku kira di kesempatan kedua kau akan menjaganya, walaupun aku tahu hal itu tetap saja hanyalah sebuah harapan kosong. Kau mengecewakanku, sayang. Kau tahu?

***

“Boleh aku bertanya terbuat dari apakah hati itu? Tak peduli seberapa rindu menghantamnya, seberapa duka menggerusnya, hati masih tetap bersikeras berdenyut. Memanggil-manggil nama yang kucinta.” – After The Rain.

Sejak dahulu memang hanya kau. Yang paling keji dan paling kusayang. Hanya kau yang tahu bagaimana caranya membuatku mabuk kepayang hanya dalam satu poros mata ke mata. Mata yang indah. Tidak akan pernah kulupakan bagaimana rasanya menatap mata itu sepuasnya saat kita bersama. Memang hanya kau yang tahu bagaimana cara membelaiku dengan lembut di tempat yang tepat. Bagaimana menarikku jatuh ke dalam pelukan dan mengecup telingaku dengan lembut.

Aku suka caramu menginginkanku. Liar. Tanpa keraguan sedetikpun. Caramu memandangku dengan buas seperti singa kelaparan. Aku menyukai semua caramu, sayang. Aku merindukannya..

Apakah kau masih ingat bagaimana kau memelukku diantara rak-rak buku di toko buku dekat sekolah? setiap sudutnya kini menggoreskan kenangan di otakku. Bagaimana dengan tempat baru yang kau perlihatkan kepadaku? Di salah satu mall lantai 5 itu. Kau tunjukan pemandangan kota yang membuatku menganga dan rasanya aku tidak ingin berlalu dari sana secepat itu. Kau ingat? Dulu saat hujan, di sekolah, kita bersama, kau ada dalam pelukanku. Aku ingin menikmatinya lebih dari itu sekarang. Dan aku benar-benar menyesal menolak keinginanmu untuk melakukannya di lantai dua. Kau masih ingat? Dulu di Fakultas Teknik Lingkungan di salah satu Universitas tempat aku akan mengikuti tes, kau mengecup bibir ini untuk pertama kali. Aku hanya tersenyum pahit mengingatnya sekarang. Hanya berharap bisa mengulang semuanya kembali.

Jika kau tahu, rasa rindu ini bukan hanya karenamu. Tapi karena caramu memperlakukanku. Tertawa karena candamu dan jatuh ke pelukanmu secara bersamaan. Bisakah kita mengulangnya? Aku merindukan bagaimana rasanya menatapmu secara langsung dengan jarak dekat tanpa pemisah.

Aku bahkan merindukan pertengkaran kita. Saat kita pulang dari mall itu, dan kau memancing emosiku keluar. Semua tumpah. Ditengah banyak orang. Dan kau terdiam, menyadari kesalahan yang kau buat. Hatiku kembali pahit, sayang. Kau tahu?

***

“Tapi kau memang benar, kau lelaki tertampan yang pernah membuatku ingin membunuh berjuta perempuan yang menggilaimu.” – I Love You, Bodoh.

Tampan? Jangan bermimpi, ferret. Bahkan semua orang mengatakan aku sudah buta memilihmu. Tapi mereka orang lain. Aku jatuh cinta kepadamu, bukan mereka. Tapi entah kenapa aku tidak pernah puas memandang wajahmu setiap kali kita bertemu. Aku tidak pernah puas merasakan genggaman tanganmu yang terjalin di jariku dengan kuat. Aku masih ingat betul genggaman itu akan mengeras ketika emosi menderamu seketika.

Aku tidak akan pernah puas. Dan ini semua cukup sampai disini. Tidak akan ada lagi kata kedua atau seterusnya. Tidak akan ada lagi belaian lembut di pinggang yang menyapa setiap kali kita bertemu. Tidak akan ada lagi mata yang menatapku tajam ketika aku melakukan kesalahan. Mata yang menatapku nanar ketika kau memohon untuk kembali ke dalam hidupku dulu, di teras rumahku.

Apakah dulu kau serius untuk memintaku, sayang? Apa itu semua benar? Ataukah itu juga satu dari sejuta kebohonganmu? Yang akhirnya terkuak satu persatu. Menyakitkan jika aku memikirkan alasan dibalik semua kebohongan ini, sayang. Kau tahu?

***

“Tak bisa kuhindari lagi, perkataannya melumpuhkanku. Aku tak pernah menyadari sebelumnya, bahwa satu-satunya hal yang membuatku bahagia adalah keberadaannya.” – Dear Bodoh.

Dan dia pergi. Tanpa alasan yang pasti, dia membuangku. Seperti kuman tidak terpakai yang akan menularkan virus kematian kepada semua orang yang mendekatiku. Seperti onggokan sampah si gadis patah hati yang tidak terpakai lagi.

Aku akui kami jarang berkontak. Bahkan komunikasi kami jauh lebih langka dibandingkan panda cina. Tapi setidaknya kami memiliki satu sama lain. Aku merasa memiliki satu sama lain.

Tapi semua berubah ketika kau mengatakan ini semua sudah berakhir. Semua ini hanya permainan yang tidak perlu ditamatkan dan kau langsung menekan tombol exit karena permainan yang terlalu sulit untuk dilalui. Kau membuangku. Hidupku. Hatiku. Semuanya. Kenangan kita, apakah kau simpan? 30% hatimu yang kau bilang masih tetap tersimpan disana untukku meskipun telah setahun kita berpisah, apakah sekarang masih ada? Gelang dariku, berwarna biru berbentuk resliting, apakah benar kau masih menyimpannya di kamarmu, sayang? Ataukah kau membuangnya karena dia telah mengetahui hubungan kita dan kau lebih memilihnya?

Kau memang Lucifer. Kau selalu tahu bagaimana cara bertindak untuk mencapai tujuanmu. Kau membuatku terbang setiap kali kita bertemu dan membuatku kembali jatuh cinta kepadamu setelah hampir 2 tahun bahkan kita tidak bicara secara intens. Kau tahu benar bagaimana caranya menutupi kebohongan dengan musik yang indah dan membuai. Membuatku terlena dan terlelap. Tanpa sadar kau telah memainkan peran yang sangat luar biasa di banyak panggung sandiwara. Kau paling tahu bagaimana membuat seluruh pertahananku goyah. Pertahanan yang telah aku bangun selama hampir 2 tahun untuk menutup luka yang bahkan tidak bisa aku hilangkan. Semua karenamu. Dan kau kembali menghancurkan semua perban yang kubalutkan. Hingga tidak ada yang tersisa selain lubang hitam tanpa dasar yang mengerikan disana.

Hanya kau, Lucifer, yang tahu bagaimana cara mengiris batinku. Belum ada orang yang berani selancang ini kepadaku. Menyakitiku tanpa ampun. Menutup mata dari rengekanku. Menutup telinga dari jeritanku. Aku mengiba. Aku memohon. Hentikan semua! Tapi kau justru kembali.. perlahan lahan.. membuatku kembali terbuai.. kembali percaya.. dan kembali menghempaskan segalanya!

Salahkah jika aku ingin memutar waktu kembali dan menolakmu ketika kau memohon untuk kembali masuk ke dalam hidupku? Aku hanya berharap memiliki hidup yang normal tanpa ada bekas luka yang berusaha aku sembunyikan. Luka yang membuatku melindungi diriku dari segala bentuk ancaman luka yang baru. Membuat hidupku menjadi tidak sebebas dulu.

Tapi ini semua sudah terlanjur. Yang aku inginkan sekarang hanyalah kau yang selalu disini. Menggelikan ketika aku mendapati kenyataan bahwa luka yang kau sebabkan membutuhkan obat yang ternyata adalah dirimu sendiri. Kau. Hanya kau yang aku butuhkan.

Salahkah jika aku menginginkan kau setia, sayang? Ya. Aku tahu aku salah menginginkannya.

Aku tahu sejak awal aku mengatakan “Ya” ketika aku meminta untuk kembali kepadaku yang kesekian kalinya, hatimu akan tetap menjadi miliknya, selamanya. Tidak akan ada kesempatan untukku merebut ataupun menggesernya dari dalam hatimu. Hanya dia yang kau cinta. Aku menyadarinya, tapi aku hanya diam. Aku egois, sayang. Aku tahu. aku hanya berharap ada sedikit kesempatan untukku merubah kenyataan. Tapi apa yang aku dapatkan? Hey ada luka baru disana! Dan disana! Ah, disana juga ada!

Kau memang Lucifer. Iblis yang mampu memikat sang Ratu surgawi dengan kelembutan belaiannya pada harpa nirwana.

“Hari demi hari pecut yang kau cambukkan kepadaku semakin terasa menyakitkan. Membuatku semakin buta dan liar untuk terus berlari tanpa tujuan. Berlari. Terus. Tanpa henti. Sama seperti dulu. Menutup mata, hati dan pikiranku dari apapun yang mungkin bisa membuat luka itu kembali berdarah.” – Tanpa Dirimu, Aku Bukan Diriku Yang Sekarang Chapter 8.

Hingga akhirnya, kini aku tahu. kau membuangku karena dia. Dia telah kembali. Atau mungkin telah datang. Entah itu ratu yang lama, yang mencari singgasananya yang telah kurenggut. Ataukah dia sang ratu baru yang telah kau incar selama ini namun baru bisa kau takhlukkan. Dialah ratumu sekarang. Dan aku telah tersingkir. Bahkan tidak cukup pantas walau hanya menjadi selir.

Semua berakhir hanya karena satu pesan singkat. Semua sosial media diputus-hubungan. Sms yang tidak kau balas. Telepon yang dijawab dengan hujatan. Inikah caramu membuangku, sayang? Sebegitu hinanya aku sekarang di matamu?

Tapi ketika telah ada ratu baru yang memanjakanmu, apa yang dapat aku perbuat? Aku tidak berkutik. Dialah bahagiamu.

Dan aku kembali disini untuk berlari dan menutup semua celah seperti dulu. Memulai dari awal lagi. Kembali merangkak keluar dari jurang yang dalam. Tempatmu membuangku. Sendiri.


“Udahan aja” 10.25; 26 Oktober 2014.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More