Rasanya masih sakit. Dan nafasnya masih memburu liar. Bibirku masih tanpa daya. Kakiku lunglai berayun lemah. Sekian lama waktu berlalu dan rasanya masih sama saat kutatap mata itu. Seperti saat terakhir kita saling berteriak dan memaki. Dan tatapmu masih sama seperti dulu. Atau imajinasiku yang terberai? Terjatuh dalam lamunan sang ibu peri tanpa ingat bahwa ada tanah yang harusnya aku pijak? Semua masih sama. Aku masih sama. Sekeras apapun aku mencoba akan tetap sama.
FLASHBACK
Tiba tiba semua menjadi kembali dekat. Bukan hanya di dalam semua chatting kami. Tapi juga di dalam kehidupan nyata kami. Tuhan kembali mendekatkan kami berdua.
Sadarkah Kau, Tuhan? Hal hal semacam ini hanya akan membuatku terluka. Jatuh semakin dalam ke palung tanpa dasar. Rasanya seperti berjalan dengan mata tertutup kafan hitam. Terus melangkah tanpa tahu apa yang menantiku di depan sana.
Semua permasalahan konyol selalu teratasi. Kecil sampai besar. Kau selalu ada. Setiap aku membisu kau selalu disana. Dan dengan caramu kau membuatku bisa berbicara. Dengan caramu pula lah kau membuatku bisa meluapkan segala emosi yang kupendam.
Kau memang yang paling mengerti. Topeng macam apa yang selalu kupasang. Bagian mana yang harus disentuh agar topeng itu terbuka. Seperti apa diriku yang sebenarnya ketika topeng itu terbuka sepenuhnya. Dan bagaimana caranya untuk menghadapi aku yang tak bertopeng. Kau seakan memahami segalanya.
Bagaimana bisa aku bersembunyi dan berpura-pura segalanya baik baik saja jika KAU yang harus aku lawan? Harus dimana lagi aku bersembunyi sehingga dunia hanya tahu aku baik baik saja? Jika kau bahkan tahu dimana letak tombol kunci untuk membuka kotak Pandora itu.
Mulai dari aku yang selalu diam dan enggan menceritakan segalanya. Sampai akhirnya perlahan aku berubah menjadi orang yang sepenuhnya bergantung padamu bahkan hanya karena masalah sepele. Dari aku yang selalu berusaha melewati segalanya sendiri. Sampai akhirnya kau menjadi patokan dari segala penjuru tatapku. Kau tempatku mencari ketenangan dan penyelesaian. Semua seketika berubah.
Persetan dengan apa yang akan terjadi jika semua terungkap ke permukaan. Bagaimana aku dan kau akan di cap sebagai manusia tidak berakal hanya karena rasa saling ketergantungan. Salahkah jika rasa itu tumbuh tanpa diminta? Meskipun rasa itu bahkan datang kepada orang yang salah? Memang apa dayaku untuk memilih ketika Tuhan yang menjatuhkan pilihan?
Dari diam seribu bahasa. Sampai akhirnya semua kata kata yang mengalir dari mulutmu berhasil membuka kotak pandora yang aku simpan di pojok ruang. Perlahan kata kataku ikut mengalir keluar. Sedikit demi sedikit. Sampai akhirnya segala emosi kita selalu bertalu. Berlomba ingin sampai ke puncak tanpa mau satupun kalah. Bibirku bahkan masih membentuk seulas senyuman ketika mengingat semua kejadian konyol setiap kali kita saling memaki di hadapan banyak orang.
Tapi memang hanya kau, yang tahu bagaimana caranya membangkitkan emosi itu lalu meredamnya kembali. Membuatku lega karena telah meluapkan segala rasa kesetanan itu padamu lalu kembali merasa damai setelahnya. Sadarkah kau semakin hari caramu itu semakin membuatku terus mencari cari keberadaanmu?
END
"Cari apa?..." seketika aku terdiam saat kepalaku menengadah.
Dan kini dia disini. Ada di hadapanku. Setelah entah sekian waktu tak terdengar kabar. Tak ada lagi kontak yang terjadi.
Segala tangis yang aku tumpahkan di setiap malamku ketika aku mencari dan tak menemukan bayangmu seakan kembali menyerbu ke dalam otakku. Membuat semua neuron di dalam badanku bergerak dan tanganku terasa seperti ingin menampar wajahmu seketika.
Tapi yang aku dapati hanya bibirku membentuk gua. Kedua tanganku erat memegang ponsel. Dan aku tidak bergerak. Tidak berkata selama sepersekian detik. Otakku memproses. Dan di dalam waktu yang bersamaan ada pertahanan untuk menahan tanganku agar tidak segera melayang.
Rasanya aneh kembali melihatmu dalam wujud nyata. Ada. Hadir. Tersenyum konyol seperti dulu. Meskipun kau hanya duduk dan menghisap rokokmu di hadapanku.
Hah. Ini konyol. Bedebah.
Dulu kami saling menyayangi dan saling mencari. Tapi yang aku dapati kini kami saling diam dan kehabisan topik untuk bertukar sapa?
Apa yang salah denganmu, Buddy? Bukankah dulu kau yang selalu mengawali pembicaraan? Jika kau kemari hanya untuk melihat bagaimana reaksiku ketika bertemu denganmu, sebaiknya kau segera pergi.
Tidak dapat dipungkiri reaksiku pasti kentara. Rasa luka itu masih ada. Ketika dulu aku selalu punya poros dan kini aku mengambang seorang diri tanpa mercusuar. Sadarkah dia aku selalu mencarinya? Dan sadarkah dia bahwa rasa bingung itu perlahan beralih menjadi sedih dan dendam? Rasa marahku luar biasa. Tapi aku bahkan tidak bisa mengeluarkannya di hadapan sembarang orang. Sadarkah dia bahwa ada masa dimana setiap malam namanya selalu kusebut dalam setiap doa? Sadarkah namanya yang selalu aku panggil setiap aku menangis di pojok kamar?
Tapi kenapa kini setelah semua masa itu berlalu dan aku paksa untuk menemukan akhir dari cerita dia justru kembali? Membuka cerita baru?
Kami mengobrol. Berusaha mengobrol. Sekian detik kami berbicara dan sekian menit hening berkuasa. Aku memejamkan mata, mengambil nafas dan menenangkan pikiran. Aku berusaha terlihat baik baik saja. Aku HARUS terlihat baik baik saja. Tak perlu waktu lama untuk itu semua. Diriku terlatih untuk memakai topeng di setiap hariku.
Kami mampir ke salah satu cafe di kota kecil itu. Bertiga. Dengan teman lain di sana. Aku lebih banyak diam. Rasanya konyol. Dan ini semua membuatku tersentak lebih dari perkiraan. Memangnya apa yang terjadi di masalalu antara kami? Kenapa dampaknya jadi begitu besar? Bukankah konyol, ketika tidak ada sesuatu yang terlalu serius yang terjadi sampai bisa menjadi alasan untuk merasa terganggu?
Pukul 10 malam. Aku tidak memberitahu siapapun bahwa aku sedang tidak di kost. Yang orang orang tahu aku sudah terlelap.
Ya. Sepertinya aku memang sedang terlelap. Rasanya seperti mimpi, kau tahu? Bisa melihatmu. Menyentuhmu lagi. Berjalan di sisimu. Berbicara denganmu. Aku kira semua ini tidak akan pernah terjadi. Melihat senyummu dan mendengar tawamu. Rasanya seperti si pelacur telah diperbolehkan menginjak surga. Seperti fantasiku sendiri. Seperti dulu di setiap malam kau hadir dalam anganku dan menghiburku di semua mimpiku. Mungkin ini adalah hal semacam itu.
Aku melihat meja. Tidak ada yang menarik perhatianku. Aku merana dan kembali diam. Melihat mereka berdua bercanda satu sama lain. Lalu tiba tiba temanku pamit untuk ke minimarket. Aku menitip sesuatu kepadanya dan dia pergi.
Tinggal aku dan kau.
Keheningan kembali meraja.
Aku menghela nafas.
Kau hanya tertunduk menatap kopimu.
Dan aku berusaha menyibukkan diri dengan ponselku.
Sampai temanku datang.
"Kau bawa apa yang aku pesan?" Dan akhirnya dia melempar LA Ice satu kotak kepadaku. Aku langsung membukanya tanpa basa basi. Tubuhku sudah butuh ditenangkan sejak tadi.
Aku mengambil sebatang dan menyelipkannya diantara bibirku. Tangan dan mataku berlomba mencari korek di meja. "Korek dong." Aku menarik perhatianmu dan aku melihat sekilas rasa kaget disana bertengger. Kau memberiku korek dan perlahan berkata saat temanku berbicara di telepon. "Siapa yang ngajarin?" Senyum itu langsung muncul. Senyum kecewa yang sejak dulu sering kau berikan untukku. Dan kau tahu rasanya seperti apa? Rasanya seperti tiba tiba aku menjadi sekecil tikus. Menciut. Mencicit. Merasa takut terhadap apapun. Hanya karena satu senyuman kecewa darimu.
Tapi itu dulu. Kini semua berbeda. Aku hanya mengangkat satu alisku dan mengambil korek itu. Tangan kiriku reflek menutupi ujung rokok dan tangan kananku membakar ujung rokoknya. Kepalaku reflek miring ke sisi kanan dan menghisap tembakau itu. Rasa lega itu perlahan muncul.
Semua berbeda. Kecuali aku. Semua kebiasaan, semangat, perhatian, attitude, sifat. Semua sudah berbeda. Hanya aku yang masih tetap sama. Hatiku memang telah beku. Tidak bisa disentuh dan dihangatkan kembali. Mungkin karena itulah seluruh rasa untukmu tetap ada disana. Membeku dan tak bisa dilepaskan.
Aku berusaha baik baik saja mendapatkan senyum itu. Hembusan asap pertama disusul dengan seringai lebar dariku. Kau hanya memandang batang berasap itu dan mendengus lalu menunduk sambil menenggak kopimu. Aku mengambil coklat panasku dan menyendoknya.
Tahukah kau, Buddy? Seringaiku pun mengandung luka. Sama seperti senyummu barusan yang mengandung kecewa ketika melihatku mengambil batang demi batang dari kotaknya. Bukan hanya kau yang bisa menyiratkan sesuatu. Tapi tidak semua orang bisa menyembunyikan segalanya seperti kita berdua.
FLASHBACK
Tangisku kembali pecah. Jam satu pagi. Rosario ada dalam genggamanku. Segalanya terasa semakin berat saat aku menjalaninya hanya seorang diri. Dimana kau, Buddy? Apa kau tidak merasakan sesuatu disana semacam rasa rindu yang menonjokmu seperti yang aku rasakan setiap malam disini? Kemana kau pergi? Kenapa kau tiba tiba menghilang ketika bahkan aku sedang berada di masa masa tersulit? Kenapa kau justru meninggalkan aku sendiri tanpa petunjuk arah? Aku menangis. Hanya itu yang bisa kulakukan. Sambil memeluk lutut. Dan berusaha menenangkan diri. Tapi bahkan menangis tetap mengingatkanku kepadamu. Pernah ada satu waktu ketika aku menangis dan kau menenangkanku.
Apa kini ketika aku menangis kaupun akan datang dan kembali menenangkanku?
Berhari hari yang aku lakukan hanyalah berputar putar di sekitar kota setiap malam untuk mencari ketenangan. Terkadang aku tersenyum mengingat betapa konyolnya kita dulu. Dua manusia tolol yang ceroboh sampai bisa saling memiliki rasa cinta, cemburu, perhatian, khawatir dan peduli. Mungkin akan lebih mudah jika dulu kita hanya bersahabat tanpa ada kata sayang terucap sebagai panggilan.
Perlahan lahan segelas kopi selalu terasa kurang di setiap pagi dan malam. Dan aku mulai menjamah rokok. Hal yang sejak dulu paling aku hindari meskipun beer dan vodka adalah sahabatku. Aku butuh ketenangan. Dan nikotin bisa memberikannya. Perlahan aku mulai ketergantungan. Sampai akhirnya aku kecanduan berat. Pada asap yang mengepul wangi disekitarku. Hal yang dulu aku benci. Kini bahkan menjadi teman setia yang selalu aku cari sebagai pengganti kehadiranmu.
END
Dan kini kau melihatku menghembuskan asap untuk kesekian kalinya. Sejak itu kau menghindari tatapanku. Kenapa? Apa salah jika aku begini? Apa aku boleh menyalahkanmu atas ini semua? Rasanya lebih tepat jika aku melimpahkan semua sebab dari tabiat burukku kepadamu. KAU yang membuatku jadi begini, bolehkah aku berpikir demikian?
Waktu aku lalui hanya dengan diam dan menatapmu. Sudah berapa lama sejak aku dapat puas menatapmu seperti ini? Seperti dulu ketika kau berbaring disisiku dan terlelap.
Ada saat dimana tanganmu melingkar di tubuhku dan aku terlelap di pundakmu. Semua kita lakukan diam diam. Tanpa perlu seorangpun tahu. Tanpa boleh seorangpun mengerti. Tanpa kau sadari aku lebih sering terjaga. Memandangmu yang terlelap. Dengkuran halus selalu tercipta di sela nafasmu. Aku lebih suka menikmati pemandangan itu ketimbang ikut tertidur.
Dan sekarang pun semua seperti deja vu. Aku kembali diam. Memilih meletakkan ponselku. Tangan kananku mengepit rokok dan terkadang menyendok coklat panas. Tapi mataku tidak pernah melepaskanmu.
Sampai waktu berlalu dengan cepat. Jam menunjukan pukul setengah 2 pagi. Dan kita harus segera pergi karena cafe harus tutup.
Seketika hatiku mencelos.
Apa setelah ini kita masih bisa bertemu? Aku tidak yakin.
===================================================
Hell! Ini aku temukan di salah satu arsip hahaha
Kejadian ini sudah bertahun-tahun yang lalu terjadi, sekitar tahun 2016 pertengahan. Yang artinya itu sudah tiga tahun berlalu. Tapi sangat disayangkan jika hanya menjadi arsip. Jadi, aku putuskan untuk mempostingnya sekarang. Happy reading! <3