About Me

Thesalonika Olga Valitha Briliane | 23 y.o | Indonesian | Swiftie | @__tukangmaido | Love Green, Like Mango | Jesus Christ

Selasa, 29 April 2014

Tanpa Dirimu, Aku Bukan Diriku Yang Sekarang *chapter 4



Pernah merasakan hidup yang seperti sinetron?

Pertengkaran keluarga besar. Permusuhan dalam selimut diantara kakak dan adik yang saling menikam secara diam-diam maupun terang-terangan. Membuat semua keturunan ketiga (yang notabenenya masih waras) hanya memutar bola matanya. Perebutan warisan ternyata bisa menjadi benar-benar buruk. Beberapa orang hamil diluar nikah. Generasi kedua hanya bisa mengomel, sementara generasi ketiga memilih untuk menutup telinga dan pergi dari rumah.

Keluarga kecilmu sendiri yang sudah hampir retak. Dengan seorang ibu yang over protective kepadamu karena traumatic masalalunya dan seorang ayah yang bahkan pernah dengan tega meninggalkan keluarganya selama seperempatpuluh abad. Satu hembusan dan segalanya sirna.

Pertemanan yang berubah menjadi kisah cinta penuh malapetaka. Sahabat yang saling tusuk dengan cara menggunjingkanmu dibelakang punggungmu. Sahabat yang bahkan dengan tega membuka semua kedokmu tanpa rasa bersalah didepan laki-laki yang sedang dekat denganmu.

Kisah cinta yang gagal berkali-kali dalam hidup. Mencintai yang dilarang. Cinta yang tak terbalaskan. Dipuja dengan sepenuh hati oleh para pria yang bahkan tidak kau inginkan untuk ada. Menjadi selingkuhan beberapa orang dan ketahuan. Pacaran diam-diam di kantin sekolah. Menjadikan dan dijadikan pelampiasan.

Tapi ketika kau telah menemukan orang yang tepat, yang bisa benar-benar menjagamu dan melindungimu, yang bisa memanjakanmu seperti seorang anak kecil, yang bisa menjadi kakakmu, sahabatmu, orang yang mengajarkan kepadamu arti hidup. Kau kehilangan dia hanya karena perbedaan iman yang mendasari segalanya.

Banyak keajaiban dalam hidupku, Tuhan. Dan aku bersyukur karenanya meskipun semua kejadian yang ada dalam hidupku benar-benar seperti sinetron yang tidak terkira.

Semua hal itu membuatku mengerti bahwa hidup tidak hanya lurus dan monoton. Tapi hidup memiliki belokan dan tanjakan serta turunan yang bahkan jika kau hitung rasanya seperti tidak ada habisnya.

Seperti hubunganku denganmu.

Siapa yang menyangka di tahun terakhirku berada di tingkat senior high school aku justru terasa seperti kembali ke awal aku bersekolah?

Adi Widya Nurrohman. Siapa takut untuk menyebutkan namamu di dalam artikel ini? Jangan kaget seperti itu, ferret. Aku tidak ingin ada kekagetan dan keterkejutan lain lagi.

Tentu saja dia bukan orang yang aku maksud di beberapa kalimat sebelum ini. Dia adalah orang yang menjadi ruh dalam semua ceritaku yang berjudul “Tanpa Dirimu, Aku Bukan Diriku Yang Sekarang”. Ya, dia adalah bajingan tengil yang telah mengubah pandangan hidupku tentang cinta.

Jangan protes, buddy. Kau sedang mendengarkan mommy bercerita, okay?

Dulu (ya, dulu disini berarti saat aku berusia 0 sampai 14 tahun. Sekarang usiaku 17 tahun) aku selalu berpikir dan bertanya-tanya kenapa orang yang telah memutuskan untuk berpacaran atau untuk menikah bisa memutuskan untuk putus atau bercerai? Bukankah jika mereka telah memutuskan untuk menjalin suatu hubungan berarti mereka telah diikat oleh perasaan terkuat yang kita sebut ‘cinta’? Bagaimana bisa dua orang yang telah terikat perasaan sekuat itu bisa memutuskan untuk berpisah bahkan terkadang bermusuhan?

Tapi setelah aku menjalani hubungan dengannya aku jadi mengerti. Ada banyak hal yang mempengaruhi suatu hubungan. Pertama kali aku mengenalnya lewat jejaring sosial, aku tidak pernah menyangka kalau postingan dinding darinya akan merubah hidupku untuk selamanya.

Aku belajar segalanya dari dia.

Rasanya benar-benar mencintai secara tulus. Rasanya didekati dengan serius. Well, aku tidak pernah dekat dengan pria seserius itu sebelumnya. Semua pria yang mendekatiku selalu berasal dari apa yang biasa kita sebut dengan ‘teman’. Rasanya melihat dia berpacaran dengan perempuan lain (aku harus berpura-pura tegar pada saat itu). Rasanya memiliki tanggal jadian dengan serius (sebelum dengannya aku selalu lupa dengan tanggal jadianku). Rasanya berusaha setia meskipun banyak godaan yang selalu aku terima. Hingga sedikit demi sedikit aku belajar tentang suatu hubungan.

Dan tanpa sadar aku telah jatuh terlalu dalam. Pertahanan yang aku bangun luruh sedikit demi sedikit karena perasaanku yang terlalu mencintainya tanpa ada rasa ragu sedikitpun saat itu. Meskipun hubungan yang kami jalani semakin lama semakin hampa. Dan dia semakin menjadi dengan predikat “RPL 3” yang disandangnya. Telah aku jelaskan di chapter sebelum ini, jangan paksa aku menjelaskannya lagi. Yang aku ingat dengan pasti, pesan singkatnya di tanggal 25 April 2012 benar-benar membuatku muak. Aku hanya diam. Rasanya ada harga diri yang tertoreh saat itu. Aku tidak melebih-lebihkan.

Hingga akhirnya di tanggal 26 April 2012, dengan jam di ponselku menunjukan pukul 9.13, hubungan kami resmi putus dengan dia yang mengajukan gugatan.

Saat itu aku belajar bagaimana hubungan dapat berakhir. Saat itu juga, untuk pertama kalinya dalam hidupku aku benar-benar menangis tanpa aku minta. Tangisan yang pecah di ruang 7, meja ketiga dari depan, baris paling kanan. Semua temanku mendekat dan menenangkanku. Tapi yang aku dapati adalah tangisku yang makin kencang. Ini konyol! Sejak kapan seorang Illia menangis karena makhluk brengsek yang menamai diri mereka pria?

Aku belajar rasanya sakit hati untuk pertama kalinya. Tangisku semakin dalam dan aku akui itu adalah tangis pertamaku untuk seorang pria. Pria yang telah memenangkan hatiku dan menggugurkan ideologiku tentang suatu hubungan dalam waktu yang hampir bersamaan. 4 bulan kebersamaan kami harus segera dihilangkan dari memoriku. Aku segera membasuh mukaku dan menuju hotel. Bosku melihatku dan justru memarahiku karena wajahku yang tidak karuan.

“Kamu kira ini hari apa? Ini hari yang penting dalam hidupmu, Il! Jangan menangis sekarang! 3 jam lagi Technical Meeting akan dilaksanakan dan aku tidak peduli bagaimanapun caranya wajahmu harus fresh seperti biasanya!” aku hanya duduk dan terdiam mendengarkan bosku marah-marah. Tidak ada respon. “Illia, please! Abaikan dulu masalah hatimu yang aku tidak tahu sedang seperti apa! Tapi disini masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan.” Respon yang aku berikan hanya melihat kearahnya dan diam. Kau tidak pernah merasakan rasanya ada lubang hitam besar tak berdasar dihatimu, bos. Percayalah rasanya benar-benar asing dan kosong. Wajahnya yang semula keras dengan emosi mulai meluluh melihat sorot mataku yang nanar saat itu. Kakak kelasku yang lain melangkah ke sampingku dan memelukku. Aku kembali sesenggukan dan airmataku kembali meleleh.

Tuhan. Jika memang dua insan tidak ditakdirkan untuk bersama, kenapa kau berikan anugrah seperti rasa cinta kepada salah satu diantara mereka? Apa yang akan terjadi dengan hidup mereka ketika mereka berpisah?

Tanggal 27 aku terbangun dengan rasa asing dalam dadaku. Lubang hitam yang semula dihuni oleh pria itu sekarang terasa begitu mengganggu. Ada pikiran seperti "he's not yours anymore" yang menohokku secara tiba-tiba saat aku bangun di pagi itu. Membuatku merasa benar-benar telah kehilangan sesuatu yang sangat berharga dalam hidupku.

Berhari-hari hidupku terasa seperti mayat hidup. Sorot mataku sering kosong tanpa diminta. Aku sering melamun dan hatiku masih terasa getir setiap kali mendapati sekelebat bayangannya disekitarku. Beginikah rasanya sakit hati? Seperti yang selalu teman-temanku di tingkat junior high school keluhkan? Jika iya, aku bersumpah demi apapun bahwa bunuh diri adalah gagasan yang cukup menarik untuk dipertimbangkan.

Hingga akhirnya 5 hari kemudian aku mendapati kenyataan yang kembali membuatku berlutut tanpa daya. Air mataku kembali tumpah tanpa bisa aku tahan lagi. Hatiku yang masih terluka rasanya seperti sedang dilumuri garam saat aku tahu kalau ternyata dia dan sahabatku berpacaran! Ya! Dan tepat sehari sebelum hubungan kami berakhir. Dan jika aku boleh bercerita, sekitar bulan Agustus 2012 sahabatku sendiri yang mengatakannya kepadaku. Ironis.

Hidup ini sinetron, ingat?

"Kamu jangan salah paham dulu. Yang aku panggil ndut kan bukan cuman kamu. Semua cewek yang gendut ya tak panggil ndut." sekarang hatiku terasa seperti dicelup-celupkan ke dalam air laut.

Jadi itu bukan panggilan sayang? Jadi itu bukan panggilan yang khusus ditujukan untukku? Okay aku terima. Ini cukup adil. Cukup. Adil. Kini aku belajar bahwa hubungan juga bisa dibumbui perselingkuhan.

2 bulan tepat dan aku menemukan orang lain. Orang yang aku deskripsikan di awal cerita tadi.

Tapi sejak mereka pergi dari hidupku, aku merasa jengah dengan rasa sakit. Aku bosan menjadi orang baik yang selalu berada di pihak yang tersakiti oleh pihak jahat. Aku bosan selalu dipermainkan tanpa mendapatkan kesempatan bermain. Aku bosan menjadi anak kecil yang berebut mainan dengan anak lain dan akhirnya aku yang terpaksa mengalah.

Aku juga ingin bersenang-senang. Hello?

Jika sekarang aku sebutkan sudah berapa banyak pria yang aku habiskan selama dua tahun terakhir sejak aku berpisah dengannya, kau hanya akan mengatakan "Astaga!" dan dalam batinmu akan tertancap berbagai kata hinaan untukku.

Silahkan saja lakukan sesukamu. Aku sudah sering mendapatkannya. Hanya saja aku terlalu tidak peduli dengan hujatan lingkungan di sekitarku tentang betapa murahannya aku dalam hal mengumbar kata sayang. Tapi selama aku senang dan tidak merugikan kalian, apa hak kalian dalam berbicara?

Hingga akhirnya aku sampai di waktu dimana tahun terakhir telah tiba. Sudah sekitar satu setengah tahun kami tidak berkomunikasi secara intens.

Saat itu aku sedang OJT (On Job Training) untuk periode kedua. Aku sedang terbelit dalam 3 hubungan percintaan yang belum berakhir. Satu dengan adik kelas di sekolahku yang sekarang. Satu dengan adik kelasku di tingkat junior dulu, sekarang dia bersekolah di salah satu SMA favorit di kota semarang. Dan satu dengan mantan yang bahkan aku lupa pernah aku miliki. Lupakan.

Dan aku mendapati, ditengah kesibukanku untuk membereskan segala pekerjaanku, sebuah pesan masuk dari dia. Yang tanpa dosa mengatakan bahwa dia merindukanku dan semacam tetek bengek lainnya. Yang tentu saja hanya aku tanggapi dengan putaran bola mata.

Mana mungkin?

Dia telah bahagia dengan pacarnya (yang dengan berat hati aku akui sebagai sahabat terhebat) selama sekitar 16 bulan terakhir ini tanpa pernah ada usaha mengontakku kembali. Tapi kenapa ketika aku baru saja putus dari pacar pertamaku setelah dia (ya, dengan berat hati lagi aku akui bahwa selama sekitar 14 bulan aku melajang. Meskipun begitu aku telah berhasil menciptakan daftar yang jika disejajarkan dengan kedua sahabatku, mereka hanya dapat setengah!) justru reaksi seperti ini yang diberikannya?

Dia kembali mendekatiku. Padahal aku tahu pasti dia masih berpacaran dengan temanku. Kata-kata dari salah seorang sahabatku menggema. Cepat atau lambat dia bakal balik ke kamu kok. Memang lama. Tapi aku bisa jamin dia bakal balik. Dan pas waktu itu tiba, aku harap kamu udah cukup kuat untuk bilang TIDAK. Inikah saat itu?

Melihat dia di teras rumahku, memohon untuk kembali ke dalam kehidupanku. Melihat sorot matanya yang berubah ketika aku mengatakan tidak. Kenapa hatiku terasa seperti diremas ketika melihat perasaannya tersakiti seperti itu? Bukankah dulu dia yang membuangku? Bukankah dulu lukaku bahkan mungkin jauh lebih besar dibanding itu? Bukankah balas dendam jika ada kesempatan adalah hal yang selalu aku tunggu? Membuat dia merasakan sakit yang sama seperti yang aku rasakan.

Tapi kenapa baru melihat dia memohon seperti ini saja hatiku sudah kembali terluka? Ini konyol. Siapa yang harusnya terluka disini?

Berbulan-bulan aku menjalani hubungan dengan beberapa pria. Selalu 3in1. Ketika yang satu pergi, selalu ada dua orang yang menggantikan. Ketika dari dua orang itu ada yang pergi, aku tidak segan-segan untuk menunjukan pintu keluar dari kehidupanku. Sayonara, bastard.

Tapi kau benar-benar menyusahkan, kau tahu? Mengusirmu sekuat apapun terasa sama saja. Tidak pernah berhasil dan bertahta angka nol besar. Sampai akhirnya kau kembali mendepakku dari hidupmu dengan satu pesan singkat di facebook. Airmataku kembali mengalir. Setelah aku mulai bisa percaya kembali kepadamu...
Brengsek.

Aku sudah memutuskan ini berakhir. AKU lah yang memegang kendali dan AKU memutuskan bahwa ini semua SUDAH berakhir. Aku benar-benar memusatkan fokusku kepada dua orang yang tersisa. Persetan denganmu yang selalu dengan seenaknya datang dan pergi. Kau kira aku apa? Taman bermain?

Beberapa minggu aku mulai hidup dengan tenang sampai akhirnya dia kembali datang. Itu artinya sejuta masalah juga datang. Aku tidak peduli. Aku sudah memutuskan ini semua sudah berakhir. You and Me will be in the past. I will save all of our memories in the pleasure box. But out of that, get outta my life, ferret!

Semakin lama hubunganku dengan kedua orang yang lain tidak berjalan lancar. Terlalu banyak masalah yang membuatku semakin jengah dengan makhluk bernama pria. Ini hati brotha! Bukan tempat bermain untuk anak-anak yang bahkan belum tahu cara menjaga mainan!

Dan kau tetap menungguku. Seberaka seringpun aku mengacuhkanmu, kau tetap disana. Aku bahkan sampai sekarang belum percaya bahwa setelah 2 tahun berlalu kau masih mencintaiku seperti dulu saat kita masih dalam satu hubungan. Salahkah itu?

Tapi ketika aku mulai percaya, percayaku kembali dihancurkan. Aku harus bagaimana? Menyerah?

Tuhan, jika memang dia bukan untukku, untuk apa kau kembalikan dia ke dalam hidupku? Hidupku sudah cukup pahit tanpa ditambah dengan empedu kehidupan semacam dia!

"Eh eh siapa tuh! Eh berangkat bareng, Mi! Sini deh! Ituuuuuu!" teman-temanku yang menyaksikan kau berangkat ke sekolah dengan temanku-sekaligus-mantanmu (atau mungkin sekarang kembali pacar?) heboh dan menunjuk-nunjuk ke bawah. Aku hanya memandang mereka malas. Is that important for me?

"Siapa sih?"

"Adi!" mataku langsung membulat. Oh shit. Jangan lagi, Tuhan...

"Mami sehat?" mami adalah panggilanku di sekolah.

"Imma fine. Why?" aku berpura-pura cuek. Dalam hati aku ingin memenggal kepalamu.

"Aaaah masak? Sepertinya tidak." teman-temanku mulai meledekku.

"Diamlaaaah!" dan aku ikut tertawa.

Pikiranku kembali ke beberapa minggu belakangan ini. Minggu-minggu istimewa bagiku. Dimana aku tidak dekat dengan siapapun lagi. Aku bebas. Dan ada dia yang kembali mewarnai segalanya ketika semua terasa memudar.

Dimulai sejak kami belajar kimia bersama dirumahku. For God Shake! Sudah menjadi rahasia umum bahwa aku paling suka melihat seorang laki-laki mengenakan kaos oblong polos dan memamerkan bentuk tubuhnya. Selama satu malam itu aku tidak berani memandangnya. Mataku yang malang.

Dilanjut dengan hari dimana dia memberitahuku bahwa dia akan pergi dalam waktu dekat untuk bekerja di luar pulau. Aku hanya melongo sebelum akhirnya benar-benar percaya akan apa yang dia katakan. Ketika waktu pulang tiba, rasanya aku ingin kembali ke pukul 2 siang. Merasakan dia ada disampingku, hanya untukku. Sejak kapan kita jadi seintim ini dalam beberapa waktu? I think I used to grow up right now.
Merasakan jemari kami bertautan. Tangannya memeluk pinggangku dengan mesra. Caranya menatap mataku, sejak dulu tidak pernah berubah. Caranya membuatku nyaman dengan apa yang dia lakukan. Caranya memainkan bibirku dengan jarinya.
Abaikan.
Yang aku ingat saat itu, saat pulang, kami kembali bertengkar di perjalanan karena dia yang terus-menerus berkicau tentang mantanku yang terakhir. Teman sekelasnya.

Beberapa hari kemudian. Kami ada di ruangan pojok sekolah, baru saja menuntaskan apa yang kami sebut dengan belajar kilat (meskipun aku yakin tidak ada satu ilmupun yang masuk ke dalam otak kami). Dia mengecup bibirku untuk pertama kali. Dan entah kenapa aku tidak marah.
I like the way he wanted me everytime. Really wild, without a doubt. Membuatku merasa diinginkan.
Jangan kau kira kami telah berbagi ciuman. Tidak. Tidak semudah itu untuk mendapatkanku. Biar saja aku dikatakan jual mahal. Kejar aku jika kau ingin. Jangan meminta sebelum kau berhasil mendapatkanku ada dalam dekapanmu.

Dua kali kami mengunjungi apa yang selalu menjadi alergi mendasar dari diri Adi. Toko Buku.

Tentu saja aku tidak bisa menyelesaikan satu bukupun meskipun kami telah ada disana selama hampir 5 jam. Tapi kami selalu mengobrolkan banyak hal. Mulai dari masalah kami sampai dengan hal-hal lain.

Dan kini aku mendapati dia berangkat ke sekolah dengan mantannya? Mereka kembali bersama?

Boleh aku melempari mereka dengan sapu di tanganku?

Beberapa hari kami tidak saling bertukar pesan. Hingga akhirnya dia mengirim pesan terlebih dahulu dan kami bertengkar.

Aku muak. Berapa kali kepercayaan yang aku bangun dihempaskan begitu saja? Masih harus aku percaya lagi? Masih harus aku menerimamu lagi?
Semua terasa semakin nyata ketika acara motivasi untuk tingkat akhir di aula itu berlangsung. Dia duduk bersama dengan mantannnya. Apa lagi yang bisa disangkal? Hatiku seperti diremas paksa. Sudah berapa guratan yang ada disana?

"Maafin aku ya." kalimatnya terdengar sayu di telingaku.

Sore harinya saat aku akan berangkat menuju Ambarawa untuk berdoa bersama ketiga temanku, aku mengiriminya pesan singkat. Kami mulai berbaikan dan hubungan kami entah bagaimana bisa kembali pulih. Meskipun di beberapa kesempatan aku merindukan keberadaannya, rasanya ada sesuatu yang mengatakan "Hold on, Illia. You have to be calm down. Untuk pembiasaan."
Ya. Untuk pembiasaan. Pembiasaan tanpa hadirnya disisiku. Tanpa sentuhannya yang menggelitik. Tanpa tatapannya yang tajam. Tanpa aroma tubuhnya yang selalu melekat di pakaianku seusai kami bertemu. Tanpa tawanya yang terdengar aneh di telingaku.

Beberapa minggu yang lalu kami bertemu. Saat itu hujan deras dan kami ada di dekat aula sekolah. Dia menyeretku untuk naik ke lantai dua, tapi aku menolak mentah-mentah. Aku masih ingin turun dengan utuh, ferret. Maafkan aku.

Ruangan yang tadi aku huni bersama dengan temanku dan beberapa anak OSIS yang sedang rapat kini senggang karena rapat sudah selesai. Kami berdua bersama dengan teman kami yang satu lagi masuk ke dalam ruangan itu. Satu ruangan. Empat anak. Satu wanita. Well, tidak bagus.

I like the way you wanted me everynight for so long babyI like the way you needed me everytime the thing's got rocky

Aku bersedia menukar apapun untuk kebersamaan ini, Tuhan. Could it be last forever?

I was believing in you. Was I mistaken?Do you mean? Do you mean what you say?When you say our love could last forever...

Ada dalam pelukanmu adalah yang terindah. Bisakah aku ada disana setiap pagi dan malam? Bisakah aku menjadi orang yang menyambutmu setiap kau pulang kerja dan menyiapkanmu makan malam? Bisakah aku menjadi ibu dari anak-anakmu nanti? Memilikimu setiap saat. Setiap hari. Bermanjaan denganmu di setiap detik yang terus berlalu tanpa ampun. Mengingat hari demi hari yang tersisa untuk kita lalui bersama. Aku hanya ingin semakin sering melihatmu. Sebelum akhirnya aku mendapati kenyataan aku kembali ditinggalkan.

Sebelum kenyataan mendorongku untuk mengakui bahwa aku telah kalah.

Apa ini benar-benar cinta, Tuhan? Tapi ketika bahkan kekuatan cinta tidak sanggup berbuat apapun untuk mengubah iman masing-masing, mengapa kau mempertemukan kami?

Ini kisah yang bahkan tidak bisa terlupakan begitu saja. Setelah dua tahun yang aku kira bisa menghapus semuanya. Tapi ternyata kami kembali disini. Menorehkan memori ke dalam pikiran dan jiwa satu sama lain. Setelah dia menjalin hubungan selama hampir dua tahun dengan wanita lain. Dan setelah dua tahun ini aku memuaskan rasa inginku untuk bermain bersama pria-pria bodoh itu. Kami kembali bertemnu.

Apa ini dapat dikatakan sebagai melepas rindu? Ketika kami bersama dan hanya menautkan kedua tangan kami. Saling menyadari keberadaan satu sama lain. Semakin lama kontak fisik yang aku rasakan semakin menyiksaku ketika pikiranku kembali memberi peringatan bahwa sebentar lagi aku tidak akan bisa merasakan keberadaanmu sedekat ini lagi.

Memilikimu adalah hal terindah, kau tahu? Bahkan sampai sekarang belum ada pria yang bisa membuatku tersanjung seperti yang kau lakukan. Kau yang telah mengajariku banyak hal. Kau yang telah menawarkan rasa nyaman. Kau yang selalu bertahan untukku sekuat apapun aku mencoba untuk melepaskan diri.
Terima kasih untuk semuanya.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More