Prolog:
P/P : yapp ini adalah chapter pertama di dalam cerita, bisa dibilang chapter ini yang menentukan kalian akan tertarik atau tidak membaca cerita ini sampai berlanjut dan sampai akhir. Aku berani bertaruh kalian menggerutu tentang cerita ini, karena cerita ini terlalu biasa dan tata bahasanya hancur leburrr. Maklumilah aku =.=v ini novel pertamaku :) langsung aja cekidott! (FOV=Focus On View)
Have fun and read please.
Rinta FOV
‘Teriyaki 2, milk shake chocolate 1, sama yang vannila 1.’
‘Tunggu sebentar ya, mas?’ waitress itu tersenyum bosan dan undur diri.
Andika hanya mengangguk sebagai jawaban.
‘Tau aja gue sukanya vannila?’
‘Taulah! Emang kita makan bareng baru satu dua kali apa?’
‘Hmm emang kita makan bareng sesering itu ya, Ka?’ Rinta menerawang, berusaha mengingat saat pertama kali dia makan bersama Andika, hanya berdua.
‘Yah, paling nggak kita makan barengnya gak sesering kita bernapas.’ Andika menjawab asal. Rinta hanya melirik sebal, dan Andika menjawab lirikan tersebut dengan mengangkat alisnya sekaligus kedua tangannya, tangan kanannya menggenggam ponsel, nyengir.
‘Jayus tau gak sih lo!’ Rinta hanya menghela nafas lalu melanjutkan terawangannya.
Mereka duduk dalam diam. Bahkan keramaian café tidak dapat memecahkan kediaman mereka. Rinta mulai mencari pusat perhatiannya. Dia mengedarkan pandangannya. Dan dia mulai tertarik memperhatikan segerombolan laki-laki keren yang baru saja lewat. Sepertinya mereka anak SMA, terlihat dari celana abu-abu mereka. Sementara Andika sudah mengeluarkan ponselnya sejak tadi. Siap membalas semua sms. Langsung saja bola matanya memutar terang-terangan saat membuka SMS pertama. Rinta menyadarinya, dan mulai menggodanya.
‘Fans lo yang mana lagi nih?’ Rinta nyengir jail.
‘Tau nih, anak kelas 7 deh kayaknya. Nomernya gak dikenal. Abaikan. Terus yang ini, bahasa smsnya alay, ogah ah. Abaikan. Yang satunya sms, iiih jijay gue!’ Andika memberi ekspresi konyol bercampur jijik. Terlihat langsung dia menghapus sms itu ‘Hm, yang ini lumayan, tapi…’ Andika terus mengeluh tentang sms yang dia dapat, Rinta hanya mendengarkan Andika sambil melihat ekspresinya. Ekspresi Andika selalu lucu jika membaca sms-gak-penting-dari-perempuan-perempuan-gak-dikenal yang membuatnya risih. Tapi setidaknya ponsel miliknya tidak pernah sepi. Rinta hanya melihat wajah Andika. Dia tersenyum geli. Baru dia sadari mata Andika berwarna coklat cerah. Seakan ditakdirkan yang empunya mata harus membuat orang disekelilingnya terhibur. Dan baru dia sadari, dia selalu bisa tersenyum jika ada di sekitar lelaki jangkung seberangnya ini. (kemana saja dia selama ini?).
‘Woy!’ Rinta tersadar dari lamunannya. Tulang punggungnya refleks menegakkannya.
‘Yee bocah! Diajakin ngomong juga!’ Andika menekuk wajahnya. Melihat Rinta sebal. Meskipun begitu bibirnya tidak bisa berbohong. Sudut bibirnya melengkung kecil ke atas menyadari Rinta melihat ke arahnya sejak tadi.
‘Bocah? Sembarangan aja! Yang kakak kelas gue napa yang manggil bocah elo? Dasar bocah!’ Rinta memeletkan lidahnya jahil seperti anak kecil, dan menghempaskan punggungnya ke senderan kursi. Andika hanya menggeleng geli, nyengir lebar dan ikut bersender di kursinya sendiri. Makanan datang.
‘Eh kalo boleh tahu tadi lo kok pertamanya nolak pergi bareng gue ke sini emang napa sih, Rin?’ Andika menengadah dari hotplatenya dan menatap Rinta. Sementara Rinta sibuk tersedak.
‘Lo gak apapa, Rin?’ Andika panik dan menyodorkan minuman Rinta secepat mungkin. Terlalu cepat sebenarnya, dibuktikan dengan beberapa tetes minuman Rinta yang melompat dari gelasnya.
Rinta menepuk-nepuk dadanya. Tapi matanya tidak bergerak dari tempatnya berpusat. Seluruh perhatiannya tersedot ke satu arah. Seorang lelaki sekarang sedang menggandeng, ralat: memeluk bahu, seorang perempuan, dan berjalan ke meja kosong dekat situ. Mereka duduk bersebelahan, menghadap ke arah Rinta dan punggung Andika. Membuat Rinta tidak susah payah mengintip mereka. Setelah memesan, laki-laki tersebut mengalungkan kembali lengannya ke leher perempuan tersebut, persis seperti apa yang sering dia lakukan kepada Rinta saat pelajaran kosong di kelas. Biasanya saat mereka berdua melakukan itu, pasti terdengar bunyi ‘oww’ ‘ciee’ atau suitan dari daerah kawan sekitar. Tapi di sini, tidak ada yang memerhatikan mereka, kecuali Rinta, mungkin, dan mata Rinta membelalak, ketika dengan tiba-tiba laki-laki itu mendekatkan wajahnya ke perempuan tersebut, dan menciumnya dengan kilat.
Laki-laki itu, tentu saja Rinta mengenalnya! Laki-laki berambut coklat dengan kulit putih mendekati pucat. Matanya sipit. Darah Chinesse mengalir di tubuhnya. Tingginya semampai, menyaingi tinggi Andika. Tubuhnya kurus, tapi setidaknya terlihat berisi. Rambut bermodel cepak dan parfumnya yang selalu melekat itulah yang selalu memikat Rinta. Dan laki-laki itulah alasan kenapa Rinta tidak ingin pergi dengan Andika hari ini ke sini! Ternyata mengikuti bunyi perut adalah hal yang bagus tadi. Sangat teramat bagus untuk mendapati Fano sedang... apa istilahnya? Otak Rinta kekurangan kosakata. Setan di dalam hatinya membisikkan “selingkuh?”
Ya! Selingkuh!
EXCELLENT!
Rinta benar-benar tenggelam di dalam pikirannya, dia hanya menatap ke arah itu, lalu begitu Andika menyadari siapa yang dilihatnya sejak tadi, Rinta memilih menunduk, tidak kuat melihat pemandangan panas itu lebih lama lagi. Bukan ‘apa’ yang tidak kuat, tapi rasa panas makin merayap di matanya. Dan dia menunduk. Memilih untuk memperhatikan minumannya. Es batu yang ada di situ mengambang, lalu secara tiba-tiba terjatuh ke dasar. Seperti ingin mencerminkan hati Rinta yang sedang ‘down’ juga. Entah kenapa dia ingin bersembunyi di dalam gelas itu agar Fano tidak perlu melihatnya berada di sana. Fano…
Dia kembali sadar, sekarang dia melihat ke arah Andika berjalan.
Andika and Rinta FOV
Andika menyadari tatapan itu. Mata Rinta sudah mulai berlapis. Tetapi tidak ada apapun yang menetes keluar. Andika melihat ke arah dimana Rinta memaku matanya sejak tadi. Sementara Andika masih sibuk membelalak dan membuka mulutnya, lapisan di mata Rinta makin tebal. Masih bisa dibendung oleh Rinta, untunglah.
Otot di pelipisnya berkedut, dan Andika berdiri, tapi tangannya dipegang erat oleh Rinta ‘Jangan sampe Fano tahu gue di sini!’ Rinta berbisik. Fano tidak boleh tahu kalau Rinta melihat ini semua. Tidak boleh!
Rinta, entah kenapa, butuh beberapa waktu untuk mencerna segala sesuatu yang sedang terjadi sekarang.
Akhirnya Rinta berdiri. Lututnya menimbulkan bunyi “klotak” yang lumayan keras pada meja dan seluruh penghuninya. Setidaknya cukup keras untuk mengundang perhatian semua yang ada di situ.
‘Cabut yuk, Ka!’ Rinta merasakan hawa panas di matanya semakin parah. Dia tidak ingin memecah bendungan matanya di sini, di depan Fano. Halooo? Itu memalukan!
Rinta berjalan cepat keluar. Fano melihat Rinta di sana, terpaku beberapa detik ke arahnya sebelum akhirnya pergi. Fano berusaha mengejarnya, tapi dihempaskan oleh Andika ke lantai ketika sampai di meja Rinta.
‘Heh bocah! Ikut campur aja lo! Minggir!’ Fano menendang perut Andika. Tepat sasaran! Tapi Andika tidak langsung mundur, tidak setelah dia melihat Rinta ingin menangis karena cowok brengsek ini. Ditariknya kerah kemeja Fano,
‘Ini karena bilang gue bocah’ satu pukulan di perut,
‘Ini karena bikin Rinta nangis’ satu pukulan lagi di sekitar diafragma,
‘Ini karena lo udah selingkuh’ one more~ tepat di perut bawah sebelah kiri.
‘Ini buat bonus’ satu pukulan mendarat di hidung Fano. Darah perlahan tapi pasti mengalir dari lubang hidung sebelah kirinya.
Andika mendorong Fano ke lantai. Lalu berlari ke mejanya. Dia menyambar tasnya, mengambil dompetnya dan meninggalkan lima puluh ribu di meja, lalu pergi menyusul Rinta.
Rinta FOV
Rinta berjalan keluar café. Kakinya sangat menuntut untuk berlari dari situ secepatnya. Tapi otaknya berpikir keras dalam sepersekian detik untuk berlari atau berjalan. Dan hatinya menuntun ke pilihan kedua. Walaupun dengan kecepatan pelari. Sangat tidak menyenangkan –bagi Rinta- untuk berlari meninggalkan tempat itu dan membuat Fano melihat dia terpukul hanya karena insiden ini. Hanya insiden kecil, batinnya menguatkan. Secepat yang kakinya bisa dia mengarah ke jalan raya. Tanpa menoleh, tanpa memantau keadaan sekeliling, dia berjalan secepat mungkin. Dan yang Rinta tahu dia sekarang tersungkur jatuh di jalan yang sepi. Darah terciprat beberapa tetes ke punggung tangan kanannya, tangan yang paling dekat dari sumber darah. Andika.
Andika FOV
Dia melihatnya, rambut hitam yang terjepit asal-asalan ke belakang. Dia membayangkan wajah di balik rambut tersebut sekarang sedang sedih dan menahan air mata. Dari sebelah kanan dia melihat ada mobil melaju kencang ke arah gadis itu. Namun gadis itu tetap berjalan, seakan-akan gadis itu berpikir dia pasti terlindungi dari segala bahaya. Dia tidak perlu melihat sekeliling ketika menyeberang. Apa dia ingin mati?!
Andika sebisanya berlari ke sana. Ucapkan terima kasih kepada kakinya yang panjang. Selama setengah detik dia ingin menarik Rinta, tapi terlambat, tangan Rinta sudah berayun ke depan. Seperempat detik lagi dia ingin menarik tas Rinta, tasnya pun menjauh dari tangan Andika, seakan ada 2 kutub magnet yang jenisnya sama di tangan Andika dan tas itu. Seperdelapan detik dia melihat ke arah mobil, jarak tinggal 2 meter. Seperenambelas detik dia berpikir keras. Semuanya bagai gerak matrix di kepalanya. Dan yang dia tahu dia sudah melompat, mendorong Rinta menjauh, sementara dia sendiri terbentur benda padat yang sangat amat keras dari sebelah kanannya. Gelap.
Jam digital dengan LCD retak ditangan Andika sudah menunjukan angka 02.38 p.m. saat mereka melangkahkan kaki keluar café. 5 menit kemudian mereka melangkahkan kaki masuk ke dalam ambulans. 10 menit dan mereka sudah sampai di rumah sakit yang untungnya tidak jauh dari café itu.
P/P : yapp ini adalah chapter pertama di dalam cerita, bisa dibilang chapter ini yang menentukan kalian akan tertarik atau tidak membaca cerita ini sampai berlanjut dan sampai akhir. Aku berani bertaruh kalian menggerutu tentang cerita ini, karena cerita ini terlalu biasa dan tata bahasanya hancur leburrr. Maklumilah aku =.=v ini novel pertamaku :) langsung aja cekidott! (FOV=Focus On View)
Have fun and read please.
Rinta FOV
‘Teriyaki 2, milk shake chocolate 1, sama yang vannila 1.’
‘Tunggu sebentar ya, mas?’ waitress itu tersenyum bosan dan undur diri.
Andika hanya mengangguk sebagai jawaban.
‘Tau aja gue sukanya vannila?’
‘Taulah! Emang kita makan bareng baru satu dua kali apa?’
‘Hmm emang kita makan bareng sesering itu ya, Ka?’ Rinta menerawang, berusaha mengingat saat pertama kali dia makan bersama Andika, hanya berdua.
‘Yah, paling nggak kita makan barengnya gak sesering kita bernapas.’ Andika menjawab asal. Rinta hanya melirik sebal, dan Andika menjawab lirikan tersebut dengan mengangkat alisnya sekaligus kedua tangannya, tangan kanannya menggenggam ponsel, nyengir.
‘Jayus tau gak sih lo!’ Rinta hanya menghela nafas lalu melanjutkan terawangannya.
Mereka duduk dalam diam. Bahkan keramaian café tidak dapat memecahkan kediaman mereka. Rinta mulai mencari pusat perhatiannya. Dia mengedarkan pandangannya. Dan dia mulai tertarik memperhatikan segerombolan laki-laki keren yang baru saja lewat. Sepertinya mereka anak SMA, terlihat dari celana abu-abu mereka. Sementara Andika sudah mengeluarkan ponselnya sejak tadi. Siap membalas semua sms. Langsung saja bola matanya memutar terang-terangan saat membuka SMS pertama. Rinta menyadarinya, dan mulai menggodanya.
‘Fans lo yang mana lagi nih?’ Rinta nyengir jail.
‘Tau nih, anak kelas 7 deh kayaknya. Nomernya gak dikenal. Abaikan. Terus yang ini, bahasa smsnya alay, ogah ah. Abaikan. Yang satunya sms, iiih jijay gue!’ Andika memberi ekspresi konyol bercampur jijik. Terlihat langsung dia menghapus sms itu ‘Hm, yang ini lumayan, tapi…’ Andika terus mengeluh tentang sms yang dia dapat, Rinta hanya mendengarkan Andika sambil melihat ekspresinya. Ekspresi Andika selalu lucu jika membaca sms-gak-penting-dari-perempuan-perempuan-gak-dikenal yang membuatnya risih. Tapi setidaknya ponsel miliknya tidak pernah sepi. Rinta hanya melihat wajah Andika. Dia tersenyum geli. Baru dia sadari mata Andika berwarna coklat cerah. Seakan ditakdirkan yang empunya mata harus membuat orang disekelilingnya terhibur. Dan baru dia sadari, dia selalu bisa tersenyum jika ada di sekitar lelaki jangkung seberangnya ini. (kemana saja dia selama ini?).
‘Woy!’ Rinta tersadar dari lamunannya. Tulang punggungnya refleks menegakkannya.
‘Yee bocah! Diajakin ngomong juga!’ Andika menekuk wajahnya. Melihat Rinta sebal. Meskipun begitu bibirnya tidak bisa berbohong. Sudut bibirnya melengkung kecil ke atas menyadari Rinta melihat ke arahnya sejak tadi.
‘Bocah? Sembarangan aja! Yang kakak kelas gue napa yang manggil bocah elo? Dasar bocah!’ Rinta memeletkan lidahnya jahil seperti anak kecil, dan menghempaskan punggungnya ke senderan kursi. Andika hanya menggeleng geli, nyengir lebar dan ikut bersender di kursinya sendiri. Makanan datang.
‘Eh kalo boleh tahu tadi lo kok pertamanya nolak pergi bareng gue ke sini emang napa sih, Rin?’ Andika menengadah dari hotplatenya dan menatap Rinta. Sementara Rinta sibuk tersedak.
‘Lo gak apapa, Rin?’ Andika panik dan menyodorkan minuman Rinta secepat mungkin. Terlalu cepat sebenarnya, dibuktikan dengan beberapa tetes minuman Rinta yang melompat dari gelasnya.
Rinta menepuk-nepuk dadanya. Tapi matanya tidak bergerak dari tempatnya berpusat. Seluruh perhatiannya tersedot ke satu arah. Seorang lelaki sekarang sedang menggandeng, ralat: memeluk bahu, seorang perempuan, dan berjalan ke meja kosong dekat situ. Mereka duduk bersebelahan, menghadap ke arah Rinta dan punggung Andika. Membuat Rinta tidak susah payah mengintip mereka. Setelah memesan, laki-laki tersebut mengalungkan kembali lengannya ke leher perempuan tersebut, persis seperti apa yang sering dia lakukan kepada Rinta saat pelajaran kosong di kelas. Biasanya saat mereka berdua melakukan itu, pasti terdengar bunyi ‘oww’ ‘ciee’ atau suitan dari daerah kawan sekitar. Tapi di sini, tidak ada yang memerhatikan mereka, kecuali Rinta, mungkin, dan mata Rinta membelalak, ketika dengan tiba-tiba laki-laki itu mendekatkan wajahnya ke perempuan tersebut, dan menciumnya dengan kilat.
Laki-laki itu, tentu saja Rinta mengenalnya! Laki-laki berambut coklat dengan kulit putih mendekati pucat. Matanya sipit. Darah Chinesse mengalir di tubuhnya. Tingginya semampai, menyaingi tinggi Andika. Tubuhnya kurus, tapi setidaknya terlihat berisi. Rambut bermodel cepak dan parfumnya yang selalu melekat itulah yang selalu memikat Rinta. Dan laki-laki itulah alasan kenapa Rinta tidak ingin pergi dengan Andika hari ini ke sini! Ternyata mengikuti bunyi perut adalah hal yang bagus tadi. Sangat teramat bagus untuk mendapati Fano sedang... apa istilahnya? Otak Rinta kekurangan kosakata. Setan di dalam hatinya membisikkan “selingkuh?”
Ya! Selingkuh!
EXCELLENT!
Rinta benar-benar tenggelam di dalam pikirannya, dia hanya menatap ke arah itu, lalu begitu Andika menyadari siapa yang dilihatnya sejak tadi, Rinta memilih menunduk, tidak kuat melihat pemandangan panas itu lebih lama lagi. Bukan ‘apa’ yang tidak kuat, tapi rasa panas makin merayap di matanya. Dan dia menunduk. Memilih untuk memperhatikan minumannya. Es batu yang ada di situ mengambang, lalu secara tiba-tiba terjatuh ke dasar. Seperti ingin mencerminkan hati Rinta yang sedang ‘down’ juga. Entah kenapa dia ingin bersembunyi di dalam gelas itu agar Fano tidak perlu melihatnya berada di sana. Fano…
Dia kembali sadar, sekarang dia melihat ke arah Andika berjalan.
Andika and Rinta FOV
Andika menyadari tatapan itu. Mata Rinta sudah mulai berlapis. Tetapi tidak ada apapun yang menetes keluar. Andika melihat ke arah dimana Rinta memaku matanya sejak tadi. Sementara Andika masih sibuk membelalak dan membuka mulutnya, lapisan di mata Rinta makin tebal. Masih bisa dibendung oleh Rinta, untunglah.
Otot di pelipisnya berkedut, dan Andika berdiri, tapi tangannya dipegang erat oleh Rinta ‘Jangan sampe Fano tahu gue di sini!’ Rinta berbisik. Fano tidak boleh tahu kalau Rinta melihat ini semua. Tidak boleh!
Rinta, entah kenapa, butuh beberapa waktu untuk mencerna segala sesuatu yang sedang terjadi sekarang.
Akhirnya Rinta berdiri. Lututnya menimbulkan bunyi “klotak” yang lumayan keras pada meja dan seluruh penghuninya. Setidaknya cukup keras untuk mengundang perhatian semua yang ada di situ.
‘Cabut yuk, Ka!’ Rinta merasakan hawa panas di matanya semakin parah. Dia tidak ingin memecah bendungan matanya di sini, di depan Fano. Halooo? Itu memalukan!
Rinta berjalan cepat keluar. Fano melihat Rinta di sana, terpaku beberapa detik ke arahnya sebelum akhirnya pergi. Fano berusaha mengejarnya, tapi dihempaskan oleh Andika ke lantai ketika sampai di meja Rinta.
‘Heh bocah! Ikut campur aja lo! Minggir!’ Fano menendang perut Andika. Tepat sasaran! Tapi Andika tidak langsung mundur, tidak setelah dia melihat Rinta ingin menangis karena cowok brengsek ini. Ditariknya kerah kemeja Fano,
‘Ini karena bilang gue bocah’ satu pukulan di perut,
‘Ini karena bikin Rinta nangis’ satu pukulan lagi di sekitar diafragma,
‘Ini karena lo udah selingkuh’ one more~ tepat di perut bawah sebelah kiri.
‘Ini buat bonus’ satu pukulan mendarat di hidung Fano. Darah perlahan tapi pasti mengalir dari lubang hidung sebelah kirinya.
Andika mendorong Fano ke lantai. Lalu berlari ke mejanya. Dia menyambar tasnya, mengambil dompetnya dan meninggalkan lima puluh ribu di meja, lalu pergi menyusul Rinta.
Rinta FOV
Rinta berjalan keluar café. Kakinya sangat menuntut untuk berlari dari situ secepatnya. Tapi otaknya berpikir keras dalam sepersekian detik untuk berlari atau berjalan. Dan hatinya menuntun ke pilihan kedua. Walaupun dengan kecepatan pelari. Sangat tidak menyenangkan –bagi Rinta- untuk berlari meninggalkan tempat itu dan membuat Fano melihat dia terpukul hanya karena insiden ini. Hanya insiden kecil, batinnya menguatkan. Secepat yang kakinya bisa dia mengarah ke jalan raya. Tanpa menoleh, tanpa memantau keadaan sekeliling, dia berjalan secepat mungkin. Dan yang Rinta tahu dia sekarang tersungkur jatuh di jalan yang sepi. Darah terciprat beberapa tetes ke punggung tangan kanannya, tangan yang paling dekat dari sumber darah. Andika.
Andika FOV
Dia melihatnya, rambut hitam yang terjepit asal-asalan ke belakang. Dia membayangkan wajah di balik rambut tersebut sekarang sedang sedih dan menahan air mata. Dari sebelah kanan dia melihat ada mobil melaju kencang ke arah gadis itu. Namun gadis itu tetap berjalan, seakan-akan gadis itu berpikir dia pasti terlindungi dari segala bahaya. Dia tidak perlu melihat sekeliling ketika menyeberang. Apa dia ingin mati?!
Andika sebisanya berlari ke sana. Ucapkan terima kasih kepada kakinya yang panjang. Selama setengah detik dia ingin menarik Rinta, tapi terlambat, tangan Rinta sudah berayun ke depan. Seperempat detik lagi dia ingin menarik tas Rinta, tasnya pun menjauh dari tangan Andika, seakan ada 2 kutub magnet yang jenisnya sama di tangan Andika dan tas itu. Seperdelapan detik dia melihat ke arah mobil, jarak tinggal 2 meter. Seperenambelas detik dia berpikir keras. Semuanya bagai gerak matrix di kepalanya. Dan yang dia tahu dia sudah melompat, mendorong Rinta menjauh, sementara dia sendiri terbentur benda padat yang sangat amat keras dari sebelah kanannya. Gelap.
Jam digital dengan LCD retak ditangan Andika sudah menunjukan angka 02.38 p.m. saat mereka melangkahkan kaki keluar café. 5 menit kemudian mereka melangkahkan kaki masuk ke dalam ambulans. 10 menit dan mereka sudah sampai di rumah sakit yang untungnya tidak jauh dari café itu.